Halaman

Jumat, 14 Oktober 2011

PRINCESS Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi

Catatan Penulis
Di akhir 1970-an, sebagai perempuan lajang aku
melakukan perjalanan ke Arab Saudi untuk mencari
pengalaman yang baru. Aku sampai di Kerajaan ini pada
tanggal 7 september 1978, dan menetap di sana hingga
musim semi 1991. Dari 1978 sampai 1982, aku bekerja di
Urusan Kesehatan Pemerintah di Rumah Sakit Khusus dan
Pusat Penelitian Raja Faisal. Selama empat tahun itu aku
bertemu dengan berbagai anggota keluarga Kerajaan
Saudi. Setelah keluar dari bekerja di rumah sakit kerajaan
(karena aku menikah dengan seorang warga negara
Inggris bernama Peter Sasson), aku tetap tinggal di
kerajaan ini selama sembilan tahun berikutnya, tinggal di
lingkungan tetangga-tetangga Saudi bersama dengan
suamiku.
Selama dua belas tahun, aku berada dalam posisi
yang sangat menguntungkan karena aku bisa mempelajari
banyak hal tentang negeri ini, sesuatu yang sangat sedikit
dipahami oleh dunia luar. Aku banyak dibantu oleh
masyarakat Arab kelas menengah, dan warga negara Arab
lain yang hidup di Arab Saudi. Selama masa ini aku
melakukan perjalanan ke banyak tempat, mengenal
banyak daerah di Arab. (Karena pemerintah Saudi
ii
melarang perjalanan ke Israel, aku tak bisa mengunjungi
Israel hingga setelah tahun 1991.)
Tahun 1983, aku bertemu dengan seorang
perempuan Saudi yang luar biasa, Putri Sultana Al Saud.
Aku dengan cepat menyukai keluarga kerajaan ini.
Menurutku, menjadi seperti dia adalah mimpi semua
perempuan. Bukan hanya muda dan cantik, Sultana juga
sangat menyenangkan dan cerdas, dan memiliki semangat
kemandirian yang jarang aku temui pada perempuan
Saudi lain.
Ketika persahabatan kami terus berkembang, aku
mulai tahu bahwa ia adalah perempuan yang sangat
terluka karena tidak mendapat kasih sayang ayah.
Walaupun ia lahir dalam keluarga yang sangat kaya,
memiliki empat rumah besar di tiga benua, memiliki
pesawat jet pribadi, dan perhiasan berharga jutaan, ketika
sampai pada kemerdekaan pribadi, Sultana tak
mendapatkannya. Dan, meskipun tampak riang dan
luwes, aku segera bisa melihat bahwa putri Sultana adalah
seorang perempuan yang mendidih hatinya karena
ketidakkuasaannya untuk mengendalikan hidupnya
sendirian. Sanak saudara laki-laki dalam keluarganya
memiliki kekuasaan hidup dan mati atas dirinya, dan juga
seluruh saudara perempuannya.
Waktu berlalu, persahabatan kami terus berjalan
dan Putri Sultana dengan perlahan menceritakan kisah
kehidupan pribadinya, dari masa kecilnya yang bergolak
sampai pengaturan pernikahannya. Begitu juga dengan
kisah-kisah kehidupan sembilan saudara perempuannya,
teman-temannya, dan pelayan-pelayannya. Dua atau tiga
tahun setelah pertemuan pertama dengan Sultana, dia
memintaku menuliskan kisahnya. Dia memutuskan bahwa
dunia harus tahu tentang penganiayaan perempuan di
negerinya. Aku kurang antusias, prihatin akan
iii
keselamatannya. Aku juga mempertimbangkan bahwa tak
ada seorang pun yang akan tertarik pada kehidupan
seorang putri yang tinggal di kerajaan yang begitu
mencurigai orang asing, bahkan turis pun tidak diizinkan
berkunjung.
Aku dan Peter bercerai setelah delapan tahun
perkawinan, tapi aku beruntung memiliki visa multi exit
dan re-entry, sehingga aku bisa tetap keluar masuk ke
Kerajaan Saudi. Aku baru benar-benar meninggalkan
Kerajaan pada musim semi 1991. Walaupun Sultana
sudah tidak sabar agar kisahnya segera dibukukan, aku
tetap menunggu sampai setiap orang yang aku anggap
sebagai teman dekat mendukungku menulis buku
semacam itu.
Ketika Princess dipublikasikan, dunia merangkul
kisah nyata Sultana, menyambut dengan kasih
perempuan yang membolehkan mereka mengintip ke balik
cadar dan dinding istana. Para pembaca mengetahui
meskipun sebagian besar kehidupan Sultana suram, ia
juga menikmati saat-saat yang menyenangkan. Kisah
nyata kehidupannya digambarkan dalam buku ini,
menebarkan persahabatan, humor, dan cinta di antara
ibu, saudari, dan pelayan perempuannya. Para pembaca
memperoleh saat-saat yang menyenangkan ketika
mengetahui rahasia Sultana dalam pembalasan
dendamnya kepada saudara laki-lakinya, Faruq.
Buku ini menyentuh perempuan dari segala umur
dan bangsa, dan mencapai penjualan terbaik di banyak
negara. Sekarang banyak guru yang menjadikan buku
Princess sebagai karya yang harus dibaca untuk literatur
kelas mereka. Dengan bangga aku juga menceritakan
bahwa buku ini dikatakan sebagai salah satu dari 500
buku yang ditulis perempuan yang dijadikan acuan untuk
studi perempuan (lihat websiteku www.jeansasson.com)
iv
semenjak tahun 1300.
Sudah lebih dari tiga belas tahun sejak kali pertama
aku menuliskan Princess, namun buku ini tetap relevan.
Mengapa? Karena kehidupan perempuan Arab Saudi tetap
dan hampir sama dengan ketika aku tinggal di Kerajaan
tersebut. Saat itu banyak perbincangan tentang keinginan
untuk mengubah kehidupan perempuan dalam Kerajaan,
dan beberapa perempuan di Arab Saudi mencoba
memutuskan rantai yang mengikat mereka, namun aku
dengan sangat menyesal melaporkan bahwa di tahun
2004, perempuan-perempuan Arab Saudi masih belum
bebas untuk mewujudkan mimpi mereka. Walaupun tidak
ada aturan dalam agama Islam yang melarang perempuan
mengendarai mobil, perempuan Saudi masih terikat dalam
hukum itu. Walaupun 58% lulusan universitas adalah
perempuan, hanya 6% yang terlibat dalam dunia kerja.
Mengapa? Karena perempuan Saudi tidak diizinkan
bekerja atau bercampur baur dengan laki laki yang bukan
keluarga mereka. Walaupun Islam memberikan hak pada
perempuan untuk berkata "tidak" pada pernikahan yang
tak diinginkannya, banyak gadis muda di Arab Saudi
masih harus menahan rasa takut karena perkawinan yang
sudah diatur dengan laki-laki yang berumur dua atau tiga
kali umurnya.
Masih banyak yang harus dilakukan bila berkaitan
dengan kehidupan yang dijalani oleh begitu banyak
perempuan tak beruntung. Semua itu terserah pada kita
perempuan yang bebas mengekspresikan pikiran, dan
bebas mengontrol tindakan kita sendiri bagaimana
membantu perempuan-perempuan tak beruntung ini
dengan cara apa pun.
Buku ini berisi tentang kebulatan tekad dan
keceriaan putri Saudi untuk mengubah kehidupan di
seluruh dunia. Banyak perempuan muda di seluruh dunia
v
sekarang bekerja untuk menciptakan kesadaran dan
perubahan. Para pelajar menulis padaku bahwa pelajaran
di universitas sudah berubah sehingga mereka bisa
berbicara mengenai persoalan yang berhubungan dengan
perempuan. Para ibu menulis padaku bahwa mereka
membesarkan anak laki-laki mereka agar menghargai
saudara perempuan mereka, dan perempuan lain sebagai
manusia yang setara dengan mereka.
Dengan bekerja sama, kita bisa menciptakan perubahan
besar pada peran perempuan di seluruh dunia. Aku
minta Anda bergabung dengan Putri Sultana dan aku
dalam tujuan yang berharga ini, untuk hidup di dunia, di
mana setiap perempuan memiliki hak untuk menjalani
hidup yang bermartabat.
Sebagai seorang penulis, dan sebagai seorang
teman, aku sangat bangga menjadi suara bagi Putri
Sultana.
Juli, 2004

vii
Surat dari
Putri Sultana
Yang saya cintai, para pembaca Princess
Ketika menulis kata-kata ini, saya tersenyum puas
karena Anda membaca cerita tentang masa kecil sampai
awal perkawinan saya. Semenjak saya masih seorang
gadis kecil yang tak dicintai ayah, dan menderita karena
kakak laki-laki yang jahat, saya sangat ingin menceritakan
kepada seluruh dunia betapa banyaknya gadis muda Saudi
yang hidup dirundung kesedihan atau marah karena
saudara laki-laki mereka sangat dicintai sementara
mereka, sebagai anak perempuan, diabaikan.
Saya hidup sebagai seorang Putri, meskipun begitu
saya tidak punya banyak pilihan. Ayah saya hanya
mencintai anak laki-lakinya. Saya sangat ingin dicintai
ayah, namun apa pun yang saya rasakan dan katakan
sama sekali tak mengubah ketakacuhannya kepada saya.
Meskipun tak terpelajar, orangtua saya adalah
keluarga kerajaan, sehingga semua kebuTuhan saya
terlengkapi, seperti pendidikan, makanan, pakaian, dan
perhiasan yang indah. Saya dikeliling oleh kakak
perempuan yang penuh kasih. Dan ibu yang sangat baik
selalu berusaha melindungiku dari laki-laki dalam keluarga
kami. Saya sangat beruntung dibanding kebanyakan gadis
kecil lain.
viii
Saya hampir tidak bisa membayangkan bagaimana
gadis-gadis muda Saudi lain bertahan dalam hidup
mereka. Saya mengenal gadis-gadis muda yang dipaksa
menjadi istri ketiga atau keempat seorang laki-laki tua.
Saya mengenal perempuan muda yang langsung dicerai
ketika didiagnosa memiliki penyakit serius. Beberapa dari
perempuan ini adalah para ibu, sementara anak-anak
mereka diambil dari pangkuannya dan dibesarkan oleh
perempuan lain. Saya mengenal gadis muda yang dibunuh
oleh anggota keluarganya tak lain hanya karena
merasakan adanya kelakuan yang tak senonoh.
Saya juga mengetahui begitu banyak cerita tragis.
Anda akan mengetahui cerita-cerita ini dalam ketiga buku
yang membahas tentang kehidupan saya, dan kehidupan
banyak perempuan yang saya kenal.
Anda mungkin bertanya: bagaimana kekejaman seperti
itu bisa terus terjadi di negara kaya minyak, di mana
setiap warga negara menjadi terpelajar dan tercerahkan?
Saya percaya bahwa sebagian besar laki-laki di negara
saya ingin mengatur semua orang di sekeliling mereka.
Tindakan-tindakan seperti itu didukung oleh orang yang
dengan sengaja membelokkan kata-kata Nabi tercinta
kami, Nabi Muhammad, (semoga Allah memberikan
rahmat dan keselamatan padanya) untuk satu-satunya
tujuan, membuat perempuan tetap tak berdaya dan
patuh.
Hanya sedikit kemungkinan bagi kami untuk dapat
melakukan perubahan. Kami, perempuan Saudi,
membutuhkan pertolongan Anda. Karena sebagian besar
dari kalian hidup di negara-negara di mana Anda bisa
meminta dengan tegas agar pemerintahan menuntut
perubahan pada salah satu patner politik dan ekonomi
negara kalian, Arab Saudi.
ix
Namun kami, perempuan Saudi, bukanlah satusatunya
masyarakat yang membutuhkan pertolongan
kalian. Ketika saya mengetahui tentang status perempuan
di seluruh dunia, saya terkejut mengetahui bahwa banyak
perempuan di negara-negara lain juga mendapat
perlakuan buruk dari laki-laki. Gadis muda dari Laos dan
Kamboja serta Thailand, dipaksa masuk dalam
perdagangan budak seks. Bayi-bayi perempuan di Cina
yang hidup di lereng bukit menderita kelaparan. Bidanbidan
di India dibayar untuk mematahkan tulang belakang
bayi perempuan, karena keluarga hanya menginginkan
anak laki-laki. Perempuan Amerika sering dibunuh oleh
kekasih atau suami yang cemburu. Saya sangat terluka
mengetahui semua itu, karena mengetahui semua itu
membuat saya sakit dan sedih.
Kita semua harus bekerja sama untuk menciptakan
perubahan di bumi ini. Kita harus terus melakukannya
sampai setiap anak perempuan diterima dengan baik
sebagaimana anak laki-laki.
Saya berdoa semoga Allah mengabulkannya.
Putri Sultana Al Saud
x
PRINCESS
Kisah Tragis
Putri Kerajaan Arab Saudi
JEAN P. SASSON
xi
Princess
Diterjemahkan dari
Princess
karya Jean P. Sasson
Copyright 1992, Jean P. Sasson
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Hak terjemahan ke dalam
Bahasa Indonesia ada pada RAMALA Books
Pewajah Sampul: Eja Assegaf
Pewajah Isi: Ahmad Bisri
Penerjemah: Husni Munir
Penyunting: Faruq Noer Zaman
Cetakan I: April 2007
ISBN: 979-1238-36-7
RAMALA BOOKS
JI. Warga 23A, Pejaten Barat, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12510, Indonesia
Phone: 62-21 7976587, 79192866
Fax: 62-21 79190995
Blog : http://ramalabooks.blogspot.com

xiii
Daftar Isi
Pendahuluan ~ 1
1. Masa Kecil ~ 10
2. Keluarga ~ 22
3. Kakakku Sara ~ 32
4. Perceraian ~ 43
5. Faruq ~ 52
6. Perjalanan ~ 64
7. Kematian ~77
8. Sahabat ~ 85
9. Perempuan Asing ~102
10. Huda ~124
11. Karim ~ 133
12. Pernikahan ~ 147
13. Kehidupan Perkawinan ~ 158
14. Kelahiran ~ 175
15. Rahasia Gelap ~ 187
16. Kematian Raja ~ 201
17. Ruang Perempuan ~ 216
18. Isteri Kedua ~ 230
xiv
19. Pelarianku ~ 240
20. Harapan Besar ~ 258
Epilog ~ 273
Kata Penutup ~ 275
Apendik A, Hukum-hukum di Arab Saudi ~ 285
Apendik B, Istilah ~ 290
Apendik C, Kronologi ~ 295
1
Pendahuluan
Aku seorang putri dari sebuah negeri yang diperintah oleh
seorang Raja. Sebut saja aku, Sultana. Namaku yang
sebenarnya tak bisa kukatakan, karena cerita yang akan
kusampaikan ini bisa membahayakan diriku dan
keluargaku.
Aku seorang putri keluarga Kerajaan Saudi. Sebagai
perempuan di negeri yang dikendalikan oleh kaum lakilaki,
aku tak bisa bercerita langsung kepada Anda,
sehingga aku terpaksa meminta perantara, seorang teman
perempuan dari Amerika yang juga penulis, Jean Sasson.
Meski terlahir sebagai orang merdeka, aku sekarang
berada dalam belenggu. Memang, belenggu itu tak
terlihat, dipasang secara longgar dan tak menarik
perhatian hingga aku mulai mengerti bahwa itu
mengurungku dalam ranah kehidupan menakutkan yang
sempit.
Aku tak ingat apa-apa tentang kehidupan masa
kecilku hingga aku berusia empat tahun. Mungkin penuh
canda tawa dan permainan sebagaimana yang dialami
anak kecil, berbahagia tanpa kesadaran bahwa diriku tak
2
memiliki nilai di negeri yang mengunggulkan organ lakilaki.
Untuk mengerti hidupku, Anda harus tahu siapa
leluhurku. Sebelum kami, telah ada enam generasi sejak
Amir pertama Nadj, negeri badui yang sekarang menjadi
bagian dari Kerajaan Arab Saudi. Para pemimpin bani
Saud yang pertama-tama adalah orang-orang yang hanya
bermimpi menaklukan tanah padang pasir di sekitar
mereka, dan melakukan petualangan serangan di malam
hari pada suku tetangga.
Pada tahun 1891, bani Saud mengalami kekalahan
perang dan terpaksa meninggalkan Nadj. Kakekku, Abdul
Aziz, saat itu masih kecil. Ia nyaris tidak mampu bertahan
dari penderitaan dalam pelarian di padang pasir. Ia ingat
betapa malunya ketika ayahnya menyuruh masuk ke
dalam sebuah tas besar yang kemudian diletakkan di atas
pelana unta. Saudaranya, Nura, juga dimasukkan ke
dalam tas untuk digantungkan di sisi pelana unta yang
lain. Karena masih kecil, ia tak bisa ikut bertempur
menyelamatkan rumahnya; dengan rasa marah ia
mengintai dari dalam tas yang terayun-ayun di atas
punggung unta. Merasa malu oleh kekalahan keluarganya,
itu adalah titik balik dalam kehidupan masa kecilnya, saat
ia menatap keindahan kampung halamannya yang
menghilang dari pandangan.
Setelah berkelana selama dua tahun di padang pasir,
keluarga Saud menemukan tempat perlindungan di
daerah Kuwait. Hidup di tempat perlindungan sangat
dibenci oleh Abdul Aziz sehingga ia sudah bersumpah
sejak dini untuk merebut kembali gurun pasir yang pernah
menjadi rumahnya.
Maka, September tahun 1901, Abdul Aziz yang berusia
25 tahun kembali ke kampung halaman. Setelah
perjuangan berbulan-bulan, pada tanggal 2 Januari 1902,
3
ia dan anak buahnya mengalahkan lawannya, bani Rashid.
Pada tahun-tahun selanjutnya, untuk menjamin kesetiaan
suku-suku padang pasir, Abdul Aziz menikahi lebih dari
300 perempuan, yang lambat laun menurunkan lebih dari
lima puluh anak laki-laki dan delapan puluh anak
perempuan. Anak-anak lelaki dari istri yang paling
disukainya mendapat kehormatan dengan perlakuan
istimewa yang berlebihan, dan kelak bila dewasa, menjadi
pemegang kekuasaan di negeri kami. Istri yang paling di
cintai Abdul Aziz adalah Hassa Sudairi, dan sekarang
anak-anak lelakinya mengepalai pasukan-pasukan
gabungan bani Saud dalam memerintah kerajaan yang
dibangun sedikit demi sedikit oleh ayah mereka. Fahd,
salah satu dari anak-anak lelaki ini, sekarang adalah Raja
kami.
Banyak anak laki-laki dan perempuan menikahi
saudara sepupu di dalam keluarga terkemuka kami seperti
dari Al Turkis, Jiluwis dan Al Kabirs. Para pangeran
keluarga Saudi yang berpengaruh sekarang ini berasal
dari perkawinan antar-keluarga ini. Pada tahun 1991,
keluarga besar kami terdiri dari hampir 21.000 anggota.
Dari jumlah ini, kira-kira seribu orang adalah putra-putri
turunan langsung dari pemimpin besar, Raja Abdul Aziz.
Aku, Sultana, adalah salah satu keturunan langsung
ini.
Kenangan pertamaku yang masih terus terngiang
adalah kekerasan: saat masih berumur empat tahun aku
ditampar oleh ibuku yang biasanya lembut. Mengapa?
Gara-gara aku meniru cara salat ayahku. Gara-gara aku
salat menghadap ke kakak laki-lakiku, Faruq, yang
berumur enam tahun, karena kupikir dia Tuhan, bukannya
menghadap ke Makkah. Bagaimana aku tahu dia bukan
Tuhan? Tiga puluh dua tahun kemudian, aku teringat
kepedihan dari tamparan itu dan mulai bertanya-tanya
4
dalam kepalaku; jika kakak laki-lakiku bukan Tuhan,
mengapa ia diperlakukan seperti Tuhan?
Dalam sebuah keluarga dengan sepuluh anak
perempuan dan satu orang anak laki-laki, ketakutan
menyelimuti rumah kami; takut kematian yang kejam
akan merenggut satu-satunya anak laki-laki yang ada,
takut tak akan ada lagi anak laki-laki yang akan lahir,
takut Tuhan akan mengutuk rumah kami dengan sepuluh
anak perempuan. Ibuku selalu takut pada setiap
kehamilannya, karena mengharapkan kelahiran anak lakilaki,
kalau-kalau yang akan lahir adalah anak perempuan.
Memang, ia selalu melahirkan bayi perempuan sampai
semuanya berjumlah sepuluh.
Ketakutan ibuku menjadi kenyataan ketika ayahku
menikahi perempuan lain yang lebih muda dengan
maksud mendapatkan lebih banyak anak laki-laki yang
memang lebih dihargai. Istri baru ini memberinya tiga
anak laki-laki, yang semuanya meninggal. Ayah kemudian
menceraikannya. Akhirnya, dari istri keempat, ayahku
mendapatkan banyak anak laki-laki. Namun abangku akan
selalu menjadi anak sulung dengan begitu dialah yang
paling berkuasa. Seperti saudara-saudara perempuanku,
aku berpura-pura menghormatinya, meski di dalam hati
aku membencinya.
Saat berumur dua belas tahun, ibuku menikah dengan
ayahku yang waktu itu berumur dua puluh tahun. Itu
terjadi tahun 1946, setelah perang dunia yang
menganggu produksi minyak di negeri kami. Saat itu
minyak belum memberikan kekayaan berlimpah pada
keluarga ayahku, bani Saud. Tapi akibatnya telah
dirasakan melalui cara-cara yang tak kentara. Pemimpin
bangsa-bangsa besar mulai memberi penghormatan pada
Raja kami. Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill,
menghadiahi Raja Abdul Aziz dengan mobil Roll Royce
5
yang mewah. Berwarna hijau cerah, dengan kursi
belakang seperti singgasana, mobil itu berkilau seperti
perhiasan ditimpa cahaya matahari. Meski mobil itu hebat,
Raja sangat kecewa, karena setelah diperiksa ternyata,
barang mewah itu diberikan pada saudara
kesayangannya, Abdullah.
Abdullah, paman dan teman dekat ayahku,
menawari ayahku mengunakan mobil ini untuk perjalanan
bulan madu ke Jeddah. Ayah menerimanya, lebih untuk
menyenangkan ibuku, yang tak pernah menaiki mobil.
Sebelum tahun 1946 unta merupakan alat transportasi
yang biasa di Timur Tengah. Butuh waktu tiga dekade
sebelum rata-rata orang Saudi mengendarai mobil dengan
nyaman dan tidak lagi mengangkang di atas unta.
Berkenaan dengan bulan madu mereka selama tujuh
hari tujuh malam, orang tuaku dengan bahagia melintasi
padang pasir menuju Jeddah. Sialnya, akibat ketergesaan
berangkat dari Riyadh, ayah lupa membawa kemah;
karena kelalaian ini dan tidak adanya budak, perkawinan
mereka harus tertunda hingga mereka tiba di Jeddah.
Perjalanan yang melelahkan dan berdebu adalah
salah satu kenangan ibuku yang paling membahagiakan.
Ia senantiasa membagi kehidupannya menjadi dua
bagian; 'saat sebelum perjalanan' dan 'saat setelah
perjalanan'. Ia pernah mengatakan padaku bahwa
perjalanan tersebut merupakan akhir masa kecilnya,
karena dia terlalu muda untuk memahami apa yang
berada di depannya, di akhir perjalanan panjang itu.
Orang tuanya meninggal karena wabah demam,
membuatnya yatim piatu pada usia delapan tahun. Ia
menikah pada usia dua belas tahun dengan lelaki kuat
yang bengis. Tak sedikitpun yang dapat ia lakukan kecuali
melakukan perintah ayah. Setelah tinggal sebentar di
Jeddah, orang tuaku kembali ke Riyadh, karena di sanalah
6
keluarga bani Saud yang patriakal melanjutkan dinasti
mereka.
Ayah adalah seorang yang tak kenal ampun, dan ibu
perempuan melankoli. Perkawinan mereka yang tragis
akhirnya menghasilkan enam belas anak dan hanya
sebelas yang bertahan hidup dari masa kecil yang penuh
bahaya. Sekarang, sepuluh anak perempuan mereka
menjalani hidup di bawah kendali kaum laki-laki yang
menikahi mereka. Satu-satunya anak laki-laki ayahku
yang bertahan hidup adalah seorang pangeran dan
pengusaha Saudi terkemuka dengan empat istri dan
sekian gundik, yang hidup dengan penuh kesenangan.
Dari membaca, aku tahu bahwa para penerus yang
paling beradab dari kebudayaan-kebudayaan sebelumnya,
tersenyum pada kebodohan primitif nenek moyang
mereka. Ketika peradaban semakin maju, ketakutan akan
kemerdekaan individu diatasi melalui pencerahan.
Masyarakat manusia dengan tak sabar menyerbu untuk
merangkul ilmu pengetahuan dan perubahan. Yang
mengherankan, negeri leluhurku hampir tidak berubah
dibanding seribuan tahun yang lalu. Ya, bangunanbangunan
modern sudah bermunculan, pusat kesehatan
tercanggih tersedia bagi semua orang, namun masalah
perempuan dan kualitas hidup masih belum diacuhkan.
Bagaimanapun, bukanlah hal yang benar jika
dikatakan bahwa keyakinan Islamlah yang menempatkan
perempuan dalam posisi rendah di masyarakat kami.
Walaupun Alquran menyebutkan bahwa posisi perempuan
di bawah laki-laki, sebagaimana juga AlKitab memberi
kuasa laki-laki untuk memerintah perempuan, namun Nabi
kami Muhammad mengajarkan kebaikan hati dan keadilan
kepada perempuan. Orang-orang yang datang setelah
Nabi Muhammad memilih mengikuti tradisi Zaman
Kegelapan dibanding mengikuti kata-kata dan contoh dari
7
Nabi Muhammad. Nabi kami menolak praktik pembunuhan
bayi perempuan, sesuatu yang menjadi kebiasaan umum
pada masa beliau. Setiap kata-kata Nabi Muhammad
mengingatkan dengan keras tentang kemungkinan
pelecehan dan penghinaan kepada perempuan: 'Siapa pun
yang memiliki anak perempuan, dan tidak menguburnya
hidup-hidup, atau tidak mencercanya, atau tidak lebih
memilih anak laki-laki dibanding perempuan, maka Allah
akan memasukkannya ke Surga.'
Namun apa pun akan dilakukan semua laki-laki di
negeri ini untuk mendapatkan keturunan laki-laki, bukan
perempuan. Nilai kelahiran anak di Kerajaan Arab Saudi
masih diukur dengan ada tidaknya organ laki-laki.
Laki-laki di negeri kami merasa melakukan apa yang
pantas mereka lakukan. Di Arab Saudi, kebanggaan dan
kehormatan laki-laki berasal dari perempuan miliknya,
sehingga ia harus menjalankan otoritas dan pengawasan
atas seksualitas perempuan miliknya atau akan malu di
hadapan masyarakat umum. Diyakini bahwa perempuan
tak memiliki hak untuk mengontrol hasrat seksualnya
sendiri, sehingga menjadi sangat penting jika kaum lakilaki
dominan dengan hati-hati harus menjaga seksualitas
perempuan. Pengawasan absolut terhadap perempuan tak
ada hubungannya dengan cinta, semua itu hanya
merupakan ketakutan akan hilangnya kehormatan lakilaki.
Otoritas laki-laki Saudi tidak terbatas; istri dan
anaknya bertahan hidup hanya kalau diinginkan. Di rumah
kami, laki-laki adalah penguasa. Situasi kompleks ini
bermula dari pengasuhan anak laki-laki di rumah kami.
Sejak kecil anak laki-laki berfikir bahwa kaum
perempuan sama sekali tidak berharga; mereka ada
hanya untuk kenyamanan dan alat kesenangan hidup.
Pandangan ini diperoleh dari sikap ayahnya yang
8
meremehkan ibu dan saudara-saudara perempuannya;
penghinaan terbuka ini mendorong anak laki-laki
memandang rendah semua perempuan, dan membuatnya
merasa mustahil berteman dengan lawan jenisnya. Karena
hanya diajarkan peran tuan kepada budaknya, tidak
mengherankan ketika seorang anak laki-laki telah cukup
umur untuk kawin, ia menganggap perempuan hanyalah
barang bergerak, bukan partner.
Perempuan di negeriku diabaikan oleh ayah mereka,
dipandang rendah oleh saudara laki-laki mereka dan
dilecehkan oleh suami mereka. Lingkaran ini sulit
dihancurkan, selama laki-laki yang memaksakan
kehidupan seperti ini terhadap perempuan-perempuan
mereka, tetap menginginkan kehidupan perkawinan
mereka yang tak bahagia. Laki-laki macam apakah yang
bisa tahan dengan keadaan yang menyengsarakan ini?
Buktinya laki-laki di negeriku mencari kegembiraan
dengan beristri lagi dan lagi, kemudian gundik demi
gundik. Hanya sedikit laki-laki yang tahu bahwa
kebahagian mereka bisa ditemukan di dalam rumahnya
sendiri, dengan seorang perempuan yang sama
kedudukannya. Dengan memperlakukan perempuan
sebagai budak, sebagai properti, laki-laki hanya membuat
dirinya tidak bahagia sama seperti perempuan yang ia
kuasai; membuat cinta dan persahabatan sejati tak akan
dapat dicapai oleh keduanya.
Sejarah perempuan di negeri kami, dikubur di balik
kerahasiaan cadar hitam. Baik kelahiran maupun kematian
perempuan kami tak pernah tercatat dalam masyarakat
umum. Meskipun kelahiran anak laki-laki
didokumentasikan dalam catatan suku, tak satupun
tempat bagi perempuan. Perasaan umum yang
diekspresikan pada saat kelahiran anak perempuan adalah
dukacita dan malu. Walaupun kelahiran di rumah sakit dan
9
pencatatan oleh pemerintah meningkat, mayoritas
kelahiran di daerah pedesaan terjadi di rumah. Tak ada
sensus yang dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi.
Aku sering bertanya kepada diri sendiri? Apakah ini
berarti kami, perempuan padang pasir, tidak ada jika
kelahiran dan kematian kami tak pernah dicatat? Jika tak
seorang pun tahu akan keberadaanku, apakah itu berarti
aku tidak ada?
Kenyataan ini, yang lebih dari sekadar ketidakadilan
dalam hidupku, mendorongku berani mengambil risiko
menceritakan kisah hidupku. Perempuan di negeriku
mungkin tersembunyi di balik cadar mereka dan dikontrol
dengan sangat ketat oleh masyarakat patriakal kami, tapi
perubahan harus terjadi, karena kami lelah oleh kekangan
adat. Kami ingin sekali memiliki kebebasan pribadi.
Dari kenangan masa kecil, dibantu dengan catatan
harian yang rahasia, aku mulai menulis pada usia sebelas
tahun. Aku akan mencoba memberi Anda gambaran
kehidupan seorang putri kerajaan Saudi. Aku akan
berusaha membongkar kehidupan perempuan Saudi lain
yang terkubur dan jutaan perempuan rakyat biasa yang
tidak lahir dari keluarga kerajaan.
Keinginanku sederhana, karena aku adalah salah
satu dari perempuan yang diabaikan oleh ayah,
diremehkan oleh saudara laki-laki dan dilecehkan oleh
suami. Aku tidak sendiri di sini. Masih banyak lainnya
yang tidak memiliki kesempatan untuk menceritakan kisah
mereka.
Sangat jarang kisah sejati seperti ini bisa keluar dari
Istana Saudi, karena ini adalah rahasia besar masyarakat
kami. Namun apa yang aku ceritakan di sini dan apa yang
ditulis oleh penulis buku ini adalah kisah yang benar-benar
terjadi.
10
1
Faruq menjatuhkanku ke tanah, tetapi aku tetap menolak
menyerahkan apel merah pemberian seorang juru masak
asal Pakistan. Wajah Faruq mulai marah saat aku dengan
cepat memakan apel itu dengan gigitan-gigitan besar dan
menelannya. Aku melakukan tindakan nekat dengan
menolak patuh pada superioritas hak prerogatif laki-laki,
dan aku tahu akan konsekuensinya. Faruq menendangku
dua kali dan lari ke arah sopir ayah bernama Omar,
seorang Mesir. Saudari-saudariku hampir sama takutnya
kepada Omar sebagaimana mereka takut kepada Faruq
dan Ayah. Mereka masuk ke rumah, membiarkanku
sendirian menghadapi kemarahan kaum laki-laki.
Tak lama kemudian, Omar, diikuti oleh Faruq, bergegas
melintasi gerbang samping. Aku tahu bahwa dia
akan menjadi pemenang, karena sejak usia yang masih
dini, apa pun yang diinginkannya akan dipenuhi. Meskipun
demikian, aku menelan gigitan apel terakhir dan
memandang dengan penuh kemenangan ke arah Faruq.
11
Berjuang dengan sia-sia dalam genggaman tangan
besar Omar, aku diangkat dan dibawa ke ruang kerja
ayah. Dengan malas, dari balik buku besarnya, ayah
memandang jengkel pada anak perempuan yang
tampaknya tak pernah diinginkan, sambil bersamaan
mengulurkan tangan ke harta yang berharga, anak lakilaki
tertuanya.
Faruq diizinkan bicara, sementara aku dilarang
merespon. Terdorong keinginan untuk mendapatkan cinta
dan restu ayah, tiba-tiba muncul keberanianku. Aku
mengatakan kejadian sebenarnya. Ayah dan kakakku
diam terkejut dengan alur bicaraku yang bawel, karena di
tempatku, masyarakat akan mengerutkan dahi pada kaum
perempuan yang mengeluarkan pendapat. Sejak usia dini,
semua perempuan telah belajar untuk tidak berkonfrontasi
langsung. Api keberanian yang dulu pernah berkobar di
hati perempuan-perempuan badui telah padam; yang
tersisa tinggal perempuan lembut yang tak begitu mirip
dengan mereka.
Ketakutan menyeruak dalam perutku ketika mendengar
teriakan suaraku. Kakiku gemetar ketika ayah
bangkit dari kursinya, dan aku melihat gerakan
tangannya, meski aku tak pernah merasakan tamparan di
wajahku.
Sebagai hukuman, semua mainanku diberikan
kepada Faruq. Untuk mengajarkan kepadaku bahwa lakilaki
adalah majikan, ayah meminta Faruq mengisi piringku
pada saat makan. Faruq pun memberiku porsi yang
sangat sedikit dan potongan daging yang paling jelek.
Setiap malam, aku tidur dalam keadaan lapar, karena
Faruq menugaskan penjaga di depan pintuku untuk
melarangku menerima makanan dari ibu atau saudarisaudariku.
Abangku itu masuk ke kamarku dengan
mengejekku di tengah malam sambil membawa piring
12
yang berisi ayam dan nasi panas dengan bau yang sangat
enak.
Akhirnya Faruq capek menyiksa, namun semenjak
itu, ia yang berumur sembilan tahun, adalah musuhku.
Meskipun peristiwa apel itu terjadi saat aku masih berusia
tujuh tahun, namun aku telah menyadari bahwa diriku
adalah perempuan yang terbelenggu oleh laki-laki yang
tak memiliki nurani. Aku melihat hancurnya semangat ibu
dan saudari-saudariku, namun aku tetap optimis dan tak
pernah ragu bahwa suatu hari aku akan menang dan
lukaku akan terobati dengan keadilan yang sejati. Dengan
tekad ini, sejak berusia masih sangat muda, aku menjadi
pengacau dalam keluarga.
Ada juga saat yang sangat menyenangkan di masa
kecilku. Saat-saat paling membahagiakan itu kurasakan di
rumah bibi ibuku, seorang janda yang sudah terlalu tua
hingga tak menarik perhatian kaum laki-laki. Ia banyak
menyimpan cerita-cerita perang menakjubkan antar suku
yang terjadi pada masa mudanya. Ia menyaksikan
kelahiran negara kami dan memikat kami dengan ceritacerita
tentang keberanian Raja Abdul Azis dan
pengikutnya. Duduk bersila di atas karpet oriental yang
tak ternilai, sambil menggigit kue kering dan kue almond,
aku dan saudara perempuanku larut dalam cerita drama
kemenangan besar leluhur kami. Bibi menumbuhkan rasa
bangga pada keluarga kami ketika ia menceritakan
keberanian bani Saud dalam perang.
Tahun 1891 keluarga ibuku menyertai bani Saud
melarikan diri dari Riyadh ketika mereka dikalahkan oleh
bani Rashid. Sepuluh tahun kemudian, bersama Abdul
Aziz, anggota laki-laki dari keluarga ibuku kembali untuk
merebut tanah kelahiran; saudara laki-laki bibiku bertempur
berdampingan dengan Abdul Aziz. Kesetiaan telah
membuat keluarga ibuku bisa masuk ke dalam keluarga
13
kerajaan melalui pernikahan anak-anak perempuan
mereka. Takdir telah menjadikanku seorang putri.
Di masa kecil, keluargaku memiliki hak istimewa,
meskipun tidak kaya. Pendapatan dari produksi minyak
menjamin ketersediaan makanan dan perawatan
kesehatan, yang pada masa itu merupakan sebuah
kemewahan.
Kami tinggal di sebuah rumah besar yang terbuat
dari balok-balok beton dengan cat warna putih salju.
Setiap tahun, badai pasir mengubah warna putih itu
menjadi warna krem. Tapi budak-budak ayah dengan
patuh mencatnya kembali. Dinding-dinding balok yang
mengelilingi tanah kami dirawat dengan cara yang sama.
Tempat tinggal saat aku masih kecil adalah sebuah rumah
besar jika diukur menurut standar Barat; kalau
dibandingkan dengan masa sekarang rumah seperti itu
sangat sederhana bagi sebuah keluarga kerajaan.
Sebagai seorang anak, aku merasa rumah
keluargaku terlalu besar untuk menciptakan kehangatan.
Ada lorong-lorong panjang yang gelap dan menakutkan.
Kamar kamar dengan berbagai bentuk dan ukuran,
menyembunyikan rahasia kehidupan kami. Ayah dan
Faruq tinggal di ruang laki-laki di lantai dua. Aku biasa
mengintipnya dengan rasa ingin tahu seorang anak.
Gorden beludru berwarna merah tua menghalangi sinar
matahari, bau tembakau Turki dan wiski membuat udara
jadi pengap. Aku mengintip dan kemudian dengan
tergesa-gesa kembali ke ruangan perempuan di lantai
dasar, kamar tempat aku dan saudara perempuanku,
Sara, tinggal. Kamar kami menghadap ke taman khusus
bagi perempuan. Ibu tinggal di kamar dengan cat
berwarna kuning cerah, sehingga kamar itu memancarkan
cahaya kehidupan yang tidak dimiliki ruangan lain.
Pelayan dan budak keluarga tinggal di ruangan kecil
14
yang tak berventilasi di bagian terpisah, di belakang
kebun. Berbeda dengan milik kami, tempat tinggal para
pelayan tidak dilengkapi dengan alat pendingin, sehingga
mereka merasakan udara padang pasir yang panas. Aku
ingat para pelayan asing dan para sopir membicarakan
ketakutan mereka saat akan tidur. Satu-satunya yang
membuat mereka terbebas dari panas adalah angin yang
dihasilkan kipas angin listrik yang kecil. Kata ayah, bila
tempat tinggal mereka diberi pendingin udara, mereka
akan tidur sepanjang hari.
Hanya Omar yang tidur di ruang kecil, di rumah
utama. Sebuah tali panjang tergantung di jalan masuk
utama rumah kami. Tali ini terhubung dengan lonceng
sapi di ruangan Omar. Jika dibutuhkan, Omar akan
dipanggil dengan membunyikan lonceng itu. Suara
lonceng yang berbunyi siang atau malam akan
membuatnya segera pergi ke ruangan ayah. Harus kuakui,
aku sering membunyikan lonceng itu ketika Omar tidur
siang, atau di tengah malam. Kemudian dengan berdebardebar
aku kembali ke tempat tidur dan berbaring diam,
pura-pura tidur nyenyak tanpa merasa bersalah. Suatu
malam ibuku menungguku saat aku berjalan kembali
dengan cepat ke tempat tidur. Dengan gurat kekecewaan
di wajahnya atas kelakuan buruk anak bungsunya, ia
menjewer telingaku dan mengancam akan melaporkannya
kepada ayah. Namun ia tak pernah melakukannya.
Sejak jaman kakekku, kami memiliki sekeluarga
budak Sudan. Jumlah budak kami meningkat tiap tahun
karena setiap pulang dari Haji, ayah membawa budak
baru yang masih kanak-kanak. Orang-orang dari Sudan
dan Nigeria yang pergi Haji, akan membawa serta anak
mereka untuk kemudian dijual pada orang Saudi yang
kaya, dengan begitu mereka bisa kembali ke kampung
halamannya. Setelah menjadi milik ayah, budak-budak itu
15
tidak diperjual-belikan seperti budak-budak di Amerika;
mereka berpartisipasi dalam kehidupan di rumah kami dan
ikut mengelola bisnis ayah seolah-olah semua itu milik
mereka sendiri. Mereka adalah teman sepermainan kami,
dan mereka tidak merasa ditekan dalam memberikan
pelayanan. Pada tahun 1962, ketika pemerintah
menghapuskan sistem perbudakan, budak-budak Sudan
yang tinggal bersama kami benar-benar menangis dan
memohon pada ayah agar mereka dipertahankan. Mereka
tinggal di rumah ayahku sampai sekarang.
Ayahku selalu mengenang Raja yang paling kami
cintai, Abdul Aziz. Ia membicarakan laki-laki hebat itu
seolah-olah ia melihatnya tiap hari. Waktu itu aku berusia
delapan tahun, aku sangat terkejut saat diberitahu bahwa
Raja tua itu sudah wafat sejak tahun 1953, tiga tahun
sebelum aku lahir!
Setelah kematian Raja pertama kami, kerajaan kami
berada dalam bahaya, karena Saud, anak laki-laki yang
dipilih sendiri oleh Raja lama sebagai penerus tahta, tidak
memiliki kualitas kepemimpinan sedikitpun.
Ia menghambur-hamburkan kekayaan minyak
negara untuk membeli istana, mobil, dan perhiasan untuk
istri-istrinya. Akibatnya, negara kami tergelincir dalam
kekacauan politik dan ekonomi.
Aku ingat suatu peristiwa di tahun 1963, ketika
banyak keturunan laki-laki dari keluarga penguasa ini
berkumpul di rumah kami. Waktu itu aku seorang gadis
berumur tujuh tahun yang memiliki rasa ingin tahu yang
besar. Omar, sopir ayah, masuk tergesa ke kebun dan
berteriak kepada para perempuan agar pergi ke lantai
atas. Ia menghalau kami seolah-olah sedang mengusir
setan jahat, dan menggiring kami ke lantai atas, ke
sebuah ruang duduk yang kecil. Sara dan kakakku tertua,
memohon dengan sangat pada ibu agar mengizinkan
16
mereka bersembunyi di belakang balkon untuk mengintip
apa yang sedang dilakukan para penguasa itu. Kami
sering melihat paman-paman dan saudara sepupu kami
berkumpul dalam acara keluarga biasa, namun tak pernah
melihat mereka di tengah-tengah persoalan negara yang
penting. Tentu saja, setiap perempuan yang sudah
menstruasi dan bercadar harus dipisahkan dari laki-laki
yang bukan ayah atau saudara laki-laki mereka.
Hidup kami benar-benar terasing dan
membosankan, itulah mengapa ibu sangat kasihan pada
kami. Hari itu, dia benar-benar bergabung dengan anakanak
gadisnya di lantai lorong untuk mengintip melalui
balkon dan mendengarkan pembicaraan kaum laki-laki
yang berada di ruang tamu besar di bawah kami. Sebagai
anak bungsu, aku berada dalam pangkuan ibu. Untuk
jaga-jaga, ia menutup mulutku dengan tangannya. Sebab
jika kami ketahuan, ayah akan sangat marah.
Aku dan saudari-saudariku sangat tertarik dengan
parade besar para anak laki-laki, cucu dan keponakan
Raja yang sudah wafat. Para lelaki besar dalam jubah
berjela-jela, berkumpul diam-diam dan sangat serius.
Wajah suntuk Pangeran Faisal menarik perhatian kami. Di
mataku, ia tampak sedih dan sangat terbebani. Pada
tahun 1963, semua orang Saudi menyadari bahwa
Pangeran Faisal lebih memiliki kemampuan mengatur
negara ketimbang Raja Saud. Ada bisik-bisik yang
mengatakan bahwa kekuasaan Saud hanya sebuah simbol
persatuan keluarga yang begitu teguh dipertahankan.
Rasanya itu merupakan keputusan yang aneh, tidak adil
untuk Pangeran Faisal dan untuk negeri ini.
Pangeran Faisal tidak setuju dengan pendapat itu.
Suaranya yang biasanya tenang, terdengar keras ketika ia
bertanya apakah ia diizinkan berbicara tentang persoalan
yang sangat penting mengenai keluarga dan negara. Putra
17
Mahkota Pangeran Faisal khawatir jika tahta yang susah
payah didapatkan akan segera hilang. Ia mengatakan
bahwa masyarakat umum sudah jenuh dengan perbuatan
keluarga kerajaan yang sangat keterlaluan, dan ada rumor
bahwa bukan hanya Raja Saud yang akan didepak karena
kebobrokannya, tetapi juga pengusiran seluruh bani Saud
untuk diganti dengan seorang pemimpin pilihan Allah.
Pangeran Faisal memandang tajam kepada para
pangeran muda, dan dengan suara yang tegas, ia
menyatakan bahwa ketidakacuhan pada gaya hidup
tradisional kaum badui akan merobohkan singgasana. Ia
mengatakan hatinya sedih melihat sangat sedikit keluarga
muda kerajaan yang mau bekerja dan hanya puas hidup
bergantung pada gaji bulanan dari kekayaan minyak.
Kesunyian panjang menunggu komentar dari sanak
saudaranya. Ketika tak seorang pun berkomentar, ia
menambahkan bahwa jika dirinya yang mengendalikan
kekayaan minyak, aliran uang untuk para pangeran akan
dipotong. Ia menganggukkan kepala kepada saudaranya
Muhammad, dan kemudian duduk mendesah. Dari balkon,
aku melihat beberapa sepupu muda mengeliat gelisah.
Meskipun gaji bulanan terbesar tak lebih dari sepuluh ribu
dollar, para lelaki di keluarga bani Saud hidup semakin
kaya. Arab Saudi adalah negeri yang luas, dan sebagian
besar properti adalah milik keluarga kerajaan. Tambah
lagi, tak ada penandatanganan kontrak bangunan tanpa
keuntungan untuk salah satu dari keluarga kami.
Pangeran Muhammad, kakak tertua ketiga, mulai
bicara; dan, dari apa yang bisa kami ketahui, Raja Saud
sekarang ingin mengambil kembali kekuasaan absolut
yang dilepaskan di tahun 1958. Di daerah pedalaman, ada
desas-desus ia berteriak lantang menentang saudaranya,
Faisal. Itu adalah saat yang menghancurkan keluarga
Saud, karena anggota keluarga ini selalu tampak bersatu
18
di hadapan warga.
Aku ingat ketika ayah menceritakan alasan
penyisihan Muhammad, putra tertua setelah Faisal, dari
tahta kerajaan. Raja lama mengatakan bahwa jika
Muhammad diberi jabatan putra mahkota, banyak orang
akan mati, karena Muhammad dikenal memiliki watak
yang kejam.
Perhatianku kembali ke pertemuan itu, dan aku
mendengar Pangeran Muhammad mengatakan bahwa
monarki sedang dalam bahaya; ia mulai membicarakan
kemungkinan penggulingan kekuasaan secara fisik dan
mengangkat Faisal sebagai penggantinya. Pangeran Faisal
menghembuskan nafas dengan keras, hingga
menyesakkan Muhammad. Faisal tampak menangis ketika
ia berbicara. Ia mengatakan kepada sanak familinya
bahwa ia telah berjanji di ranjang kematian ayah
tercintanya kalau ia tak akan pernah menentang
kekuasaan saudaranya. Dan tak satu peristiwa pun yang
akan membuatnya melanggar janji itu, meskipun Saud
akan membangkrutkan negeri. Kalau pembicaraan tentang
pemecatan saudaranya menjadi inti pertemuan, maka
Faisal akan pergi.
Semua keluarga setuju bahwa Muhammad, kakak
tertua setelah Faisal, harus berusaha berbicara dengan
Raja. Kami melihat para laki-laki itu bersulang dengan
gelas kopi mereka dan bersepakat untuk setia pada
harapan ayah mereka bahwa semua anak Abdul Aziz akan
bersatu menghadapi dunia. Setelah saling mengucapkan
selamat tinggal, kami melihat mereka berbaris dengan
tenang keluar dari ruangan, sama seperti ketika mereka
memasuki ruangan.
Aku tak menyangka kalau pertemuan ini adalah awal
dari akhir kekuasaan pamanku, Raja Saud. Seperti yang
tertulis dalam sejarah, keluarga dan masyarakat tampak
19
sedih, anak-anak Abdul Aziz terpaksa mengusir salah satu
keluarga mereka. Paman Saud sangat kecewa dan
akhirnya ia mengirim surat ancaman kepada saudaranya
Pangeran Faisal. Tindakan ini mengesahkan takdirnya,
karena tak mungkin seorang saudara menghina atau
mengancam saudara lainnya. Dalam aturan tak tertulis
suku badui, saudara tak pernah menentang saudara
lainnya.
Krisis meledak dalam keluarga dan negara. Kami
tahu kemudian bahwa sebuah usaha revolusi oleh Paman
Saud dicegah oleh Putra Mahkota Faisal dengan
pendekatan halus. Ia menepi dan menyerahkan kepada
saudara-saudaranya dan para ulama untuk memutuskan
jalan terbaik untuk negeri kami yang masih muda. Dalam
melakukan itu, ia mengesampingkan drama pergerakan
pribadi sehingga persoalannya tidak terlalu menguap, dan
para negarawan membuat keputusan yang tepat.
Dua hari kemudian, saat ayah dengan saudara
saudara dan sepupunya sedang pergi, salah satu istri
Paman Saud memberitahu kami tentang penurunan Raja.
Salah seorang bibi kesayangan kami, yang menikah
dengan Raja Saud, datang ke rumah kami dengan sangat
agitatif. Aku terkejut melihatnya melepaskan cadar dari
wajahnya di depan para pelayan laki-laki. Ia datang dari
Istana Nasiriyah milik Paman Saud (sebuah bangunan
besar yang, menurutku, menghabiskan banyak uang dan
bukti kebobrokan negeri kami).
Aku dan kakak-kakakku berkumpul di sekeliling ibu,
karena bibi sudah lepas kontrol dan berteriak membuat
tuduhan terhadap keluarga. Ia sangat marah pada Putra
Mahkota Pangeran Faisal dan menyalahkannya atas posisi
dilema yang dihadapi suaminya. Ia mengatakan bahwa
saudara-saudara suaminya telah berkonspirasi merebut
tahta yang diberikan oleh ayah mereka untuk anaknya,
20
Saud. Ia berteriak bahwa Majelis Ulama datang ke Istana
pagi-pagi dan menginformasikan kepada suaminya bahwa
ia harus turun tahta.
Aku takjub dengan pemandangan di hadapanku, karena
sangat jarang kami melihat konfrontasi. Berbicara
lembut, setuju dengan apa yang ada dihadapan kami, dan
kemudian mengatasi kesulitan dengan diam-diam,
merupakan sesuatu yang biasa kami lakukan. Ketika
bibiku, seorang perempuan yang sangat cantik dengan
rambut ikal panjang, mulai memotong-motong rambutnya
dan mencampakkan mutiara mahal dari lehernya, aku
baru sadar bahwa persoalannya sangat serius. Akhirnya
ibu menenangkannya dan membawanya ke ruang duduk
untuk minum teh dingin. Saudari-saudariku berkumpul di
sekitar pintu yang tertutup dan mendengarkan bisikan
mereka. Aku menendang sekumpulan rambut dan
membungkuk untuk mengumpulkan mutiara-mutiara
besar yang sangat halus. Aku menggenggam mutiara itu
dan meletakkannya dalam sebuah jambangan kosong
agar tersimpan dengan aman.
Ibu memapah bibi ke mobil Mercedes hitam yang
menunggunya. Kami semua mengawasi ketika sopir
melaju menjauh dengan penumpanganya yang sedang
bersedih dan tak seorang pun bisa menghibur. Kami tak
pernah lagi melihatnya, karena ia menemani Paman Saud
dan para pengiringnya ke pengasingan. Tapi ibu
menasehati kami untuk tidak menyalahkan Paman Faisal.
Ia mengatakan bahwa bibi mengucapkan kata-kata seperti
itu karena dia mencintai laki-laki yang sangat pemurah
dan baik hati, namun laki-laki itu tidak bisa menjadi
penguasa yang baik. Ia mengatakan pada kami bahwa
Paman Faisal akan membawa negara kita pada era yang
lebih stabil dan makmur, dan dengan melakukan itu ia
mendapat kekhawatiran dari orang-orang yang kurang
21
mampu. Meski menurut ukuran Barat, ibuku bukan orang
yang terpelajar, namun ia benar-benar bijak.
22
2
Iffat, istri Raja Faisal, menganjurkan ibuku agar
mengusahakan pendidikan bagi anak-anak
perempuannya, meskipun ayahku tidak mengizinkan.
Selama bertahun-tahun ayah menolak, bahkan sekadar
untuk mempertimbangkannya. Lima kakak perempuanku
tidak bersekolah, mereka hanya menghapal Alquran dari
guru privat yang datang ke rumah. Selama dua jam di
sore hari, enam hari seminggu, mereka akan mengulangi
kata-kata Fatima, seorang guru yang berasal dari Mesir,
perempuan keras berumur kira-kira empat puluh lima
tahun. Suatu kali ia pernah meminta izin orang tuaku
untuk mengembangkan pendidikan saudari-saudariku
dengan memasukkan tambahan pelajaran sains, sejarah
dan matematika. Ayah meresponnya dengan kata yang
tegas, tidak. Hanya lafal hadits-hadits Nabi yang terus
berdengung di rumah kami.
Setelah beberapa tahun berlalu, ayah melihat
banyak keluarga kerajaan yang mengizinkan anak
23
perempuannya mendapatkan manfaat pendidikan.
Kekayaan yang bersumber dari minyak telah
membebaskan hampir semua perempuan Saudi kecuali
orang-orang suku badui dan masyarakat pedesaan dari
segala macam pekerjaan. Namun tanpa aktifitas dan rasa
kejenuhan telah menjadi persoalan nasional. Anggota
keluarga kerajaan jauh lebih kaya dari sebagian besar
orang Saudi, kekayaan minyak juga mendatangkan
pelayan-pelayan dari Timur Jauh dan daerah-daerah
miskin lain ke setiap rumah.
Semua anak perlu mendapat dorongan. Namun aku
dan saudari-saudariku tak memiliki pekerjaan apa pun
kecuali bermain di kamar atau di kursi panjang di taman
untuk kaum perempuan. Tak ada tujuan untuk bepergian
dan tak ada yang bisa dikerjakan, karena ketika aku kecil,
di kota tidak ada kebun binatang ataupun taman.
Melihat lima anak gadisnya yang energik merasa
jemu, Ibu, merasa bahwa sekolah akan membebaskan
disamping mengembangkan pikiran kami. Akhirnya,
dengan bantuan bibiku Iffat, Ibu membuat ayah mengalah
dan mendukung rencananya. Jadi lima anak perempuan
termuda, termasuk Sara dan aku, bisa menikmati jaman
baru yakni pendidikan bagi perempuan yang dikabulkan
dengan setengah hati.
Ruang kelas pertama kami berada di rumah kerabat
kerajaan. Tujuh keluarga dari bani Saud mempekerjakan
seorang perempuan dari Abu Dhabi. Sekelompok kecil
murid, semuanya enam belas, pada saat itu disebut kutab,
sebuah metode kelompok yang kemudian dikenal secara
umum sebagai tempat untuk mengajar para gadis. Kami
berkumpul setiap hari di rumah sepupu kami dari jam
sembilan pagi sampai jam dua siang, dimulai dari hari
sabtu sampai kamis.
Di sanalah, kakakku Sara menunjukkan kecer24
dasannya. Ia lebih cepat menerima pelajaran ketimbang
gadis-gadis berusia dua kali lipat di atas umurnya.
Gurunya bahkan bertanya apakah ia sudah lulus SD, dan
menggelengkan kepala keheranan ketika tahu bahwa Sara
belum lulus SD.
Instruktur kami sangat beruntung memiliki ayah
berfikiran modern yang mengirimkannya ke Inggris untuk
melanjutkan pendidikan. Karena kakinya cacat, tak
seorang laki-lakipun mau menikahinya, sehingga ia
memilih jalan kebebasan dan mandiri untuk dirinya
sendiri. Ia tersenyum ketika ia mengatakan kepada kami
bahwa cacat kakinya adalah karunia Tuhan agar
pikirannya tidak ikut cacat. Meskipun ia tinggal di rumah
sepupu kami (saat itu masih tak terpikirkan perempuan
tanpa suami hidup sendiri di Arab Saudi), ia mendapatkan
gaji dan bisa membuat keputusan tentang hidupnya tanpa
pengaruh dari luar.
Aku menyukainya semata-mata karena ia baik dan
sabar saat aku lupa mengerjakan tugasku. Tak seperti
Sara, aku bukan tipe pelajar yang berkemampuan tinggi,
dan aku lega guruku tidak banyak mengekspresikan
kekecewaan atas kelemahanku. Aku lebih suka
menggambar dan menyanyi daripada matematika dan
hapalan doa. Sara kadang-kadang mencubitku ketika aku
berperilaku buruk, tapi setelah aku menangis yang
mengganggu seluruh kelas, ia membiarkan kenakalanku.
Memang instruktur kami benar-benar cocok dengan nama
yang diberikan kepadanya dua puluh tujuh tahun yang
lalu Sakina, yang berarti 'ketenangan' dalam bahasa Arab.
Nona Sakina mengatakan kepada ibu bahwa Sara
adalah murid paling cerdas yang pernah ia ajar. Sambil
melompat-lompat aku berteriak, 'bagaimana denganku?'
Ia berfikir sesaat sebelum menjawab. Dengan tersenyum
dia berkata: 'Sultana tentu saja akan menjadi orang
25
terkenal.'
Pada saat makan malam, ibu dengan bangga menyampaikan
perihal Sara kepada ayah. Ayah, yang
tampak senang, tersenyum pada Sara. Ibu berseri-seri
karena senang, namun kemudian dengan kasar ayah
bertanya apa sebabnya anak-anak perempuan yang lahir
dari perut ibu bisa belajar dengan baik. Dia juga tidak
memberikan penghargaan pada ibu atas kontribusinya
atas kecerdasan Faruq, yang menjadi juara di kelasnya di
sekolah menengah modern di kota. Agaknya prestasi
intelektual anak-anak semata-mata merupakan warisan
dari ayah mereka.
Bahkan sekarang aku merasa tak suka ketika
melihat kakak-kakak perempuanku berusaha menambah
atau mengurangi kontribusi mereka terhadap kecerdasan
anak. Aku berdoa dan berterimakasih pada Bibi Iffat,
karena ia telah mengubah kehidupan begitu banyak
perempuan Saudi.
Pada musim panas 1932, paman Faisal pergi ke
Turki, dan di sana, ia jatuh cinta pada perempuan muda
yang unik bernama Iffat al Thunayan. Mendengar seorang
Pangeran Muda Saudi mengunjungi Konstatinopel, Iffat
muda dan ibunya mendekati Pangeran itu untuk
mengadukan properti yang diperselisihkan milik sang ayah
yang sudah meninggal dunia. (Keluarga Thunayan berasal
dari Saudi tapi dibawa ke Turki oleh kerajaan Turki
Usmani selama masa kekuasaannya yang panjang di
wilayah itu.) Terhenyak oleh kecantikan Iffat, Faisal
mengundang Iffat dan ibunya ke Arab Saudi untuk
menyelesaikan kesalahpahaman tentang persoalan
properti tersebut. Tidak hanya memberikan padanya
properti tersebut; Paman Faisal juga menikahinya.
Kemudian ia mengatakan bahwa itu adalah
keputusan terbijak dalam hidupnya. Ibuku bercerita
26
bahwa Paman Faisal telah berpindah dari satu perempuan
ke perempuan lain, seperti laki-laki kesurupan, sampai
akhirnya ia bertemu Iffat. Selama pemerintahan Paman
Faisal, Iffat menjadi pendorong pendidikan untuk
perempuan Saudi. Tanpa usahanya, perempuan di Arab
sekarang tidak akan diizinkan ke ruang kelas. Aku sangat
kagum pada kekuatan karakternya dan menyatakan kalau
aku besar nanti, aku akan seperti dia. Bahkan ia berani
menyewa pengasuh dari Inggris untuk anak-anaknya yang
sungguh tak terpengaruh oleh kekayaan yang melimpah.
Sedihnya, banyak sepupuku di kerajaan yang hanyut
oleh serbuan kekayaan. Ibu biasa berkata, orang badui
bisa bertahan dari kekejaman padang pasir, namun tidak
tahan akan kekayaan berlimpah dari ladang minyak.
Pencapaian dari pikiran dan kesalehan para leluhur bani
Saud tidak diwarisi oleh kebanyakan anak-anak mereka
sekarang. Aku yakin bahwa anak-anak pada generasi ini
telah mengalami kemunduran akibat kemudahan hidup
mereka. Keberuntungan yang besar telah mencabut
mereka dari ambisi atau kepuasan hidup yang sejati.
Sesungguhnya kelemahan monarki di Arab Saudi
dikarenakan terlalu asyik dan ketagihan pada kehidupan
mewah. Aku takut ini akan menjadi kehancuran kami.
Sebagian besar masa kecilku dihabiskan dengan
melakukan perjalanan dari satu kota ke kota. Darah
nomaden mengalir ke seluruh orang Saudi, dan segera
setelah kami kembali dari satu perjalanan, kami akan
mendiskusikan perjalanan selanjutnya. Kami orang-orang
Saudi tak lagi memiliki domba untuk digembalakan,
namun kami tidak berhenti mencari padang rumput yang
hijau.
Riyadh adalah pusat pemerintahan, namun tak
satupun dari keluarga Saud yang menyukai kota ini.
Mereka selalu mengeluh dengan kesuraman hidup di
27
Riyadh. Kota ini terlalu panas dan kering, dan sangat
dingin di malam hari. Sebagian besar keluarga memilih
Jeddah atau Taif. Jeddah dengan pelabuhan kunonya lebih
terbuka untuk perubahan dan modernisasi. Di sana kami
bernafas lebih mudah dalam udara laut.
Umumnya kami menghabiskan waktu dari bulan
Desember sampai Februari di Jeddah. Kami akan kembali
ke Riyadh di bulan Maret, April dan Mei. Panasnya bulanbulan
di musim panas akan membawa kami ke
pegunungan Taif dari bulan Juni sampai September.
Kemudian kembali ke Riyadh pada bulan Oktober dan
November. Tentu saja, kami menjalani bulan Ramadhan
dan dua minggu Haji di Mekkah, kota suci kami.
Tahun 1968 saat aku berumur dua belas tahun,
ayahku menjadi sangat kaya raya. Meskipun demikian, ia
termasuk salah satu dari keluarga Saud yang tidak terlalu
boros. Tapi ia membuat empat istana untuk setiap orang
dari empat istrinya, di Riyadh, Jeddah, Taif, dan Spanyol.
Istana-istana itu benar-benar sama bentuk dan isinya,
bahkan warna karpet dan perabotan yang dipilih. Ayahku
benci akan perubahan, dan ia ingin merasa seolah-olah ia
berada di rumah yang sama bahkan setelah perjalanan
dari kota ke kota. Aku ingat ia mengatakan kepada ibuku
agar membeli empat buah untuk setiap item, sampai pada
pakaian dalam anak-anak. Ia tidak mau bersusah-susah
mengepak pakaian dalam kopor. Aku merasa ngeri ketika
aku masuk ke kamarku di Jeddah atau Taif, rasanya sama
seperti kamarku di Riyadh, dengan pakaian serupa yang
tergantung di lemari pakaian yang serupa. Buku dan
mainanku semua berjumlah empat, untuk diletakkan di
setiap istana.
Ibuku jarang mengeluh, tapi ketika ayah
membelikan empat buah mobil Porsche merah yang sama
untuk Faruq, yang saat itu baru berumur empat belas, ia
28
berteriak, itu melakukan pemborosan karena masih
banyak yang miskin di dunia ini. Bagaimanapun, bila
berkaitan dengan Faruq, tak ada ongkos yang harus
dihemat.
Ketika Faruq berumur sepuluh tahun, ia mendapatkan
jam Rolex emas pertamanya. Aku benar-benar
menderita, karena saat aku meminta kepada ayah sebuah
gelang emas yang ada di Souq (pasar), Ayah menolak
permintaanku dengan kasar. Selama dua minggu Faruq
memamerkan jam Rolex-nya, aku melihat ia meletakkan
jam itu di atas meja dekat kolam renang. Karena
cemburu, aku mengambil batu dan menghancurkan jam
itu.
Kali ini, kenakalanku tak diketahui, dan sangat menyenangkan
ketika aku melihat Faruq dimarahi ayah
karena kecerobohannya. Tapi tentu saja, dalam seminggu,
Faruq dibelikan lagi jam Rolex emas yang baru, dan aku
kembali marah dendam.
Ibu sering berbicara padaku tentang kebencianku
kepada Faruq. Perempuan bijak itu melihat api kebencian
di mataku, meskipun aku berusaha menyembunyikannya.
Sebagai anak bungsu, aku paling dimanja oleh ibu, kakak
kakak perempuan dan anggota keluarga yang lain. Kalau
dikenang, sulit menyangkal bahwa aku dimanja terlalu
berlebihan. Karena untuk anak seusiaku, tubuhku
termasuk kecil, berbeda dengan kakak-kakak perempuanku,
mereka tinggi dan berbadan besar, aku selalu
diperlakukan seperti bayi sepanjang masa kecilku. Semua
saudariku berperilaku tenang dan penuh kendali, cocok
sebagai seorang putri Saudi. Sedang aku anak yang ribut
dan tak penurut, tidak terlalu peduli dengan citra
kerajaan. Betapa aku benar-benar menguji kesabaran
mereka! Bahkan sekarang ini semua saudariku akan
menyerah padaku jika mereka mulai marah.
29
Sebaliknya, di mata ayahku, aku adalah gambaran
kekecewaan terakhir. Akibatnya, selama masa kecil, aku
berusaha mendapatkan kasih sayangnya. Akhirnya, aku
putus asa meski terus menuntut perhatiannya, termasuk
dalam bentuk hukuman karena kelakuanku yang buruk.
Menurut pikiranku, jika ayah cukup sering melihatku, ia
akan mengenali sifat istimewaku dan akan mencintai anak
perempuannya ini, sama seperti ia mencintai Faruq.
Namun ternyata, kegaduhan yang kubuat justru membuat
ayah berpindah dari acuh tak acuh menjadi benci secara
terbuka.
Ibuku menerima kenyataan bahwa negeri tempat
kami lahir adalah tempat yang ditakdirkan untuk
kesalahpahaman antar-jenis kelamin. Meski masih kecil,
dengan dunia yang terbentang di hadapanku, aku sudah
sampai pada kesimpulan itu.
Kalau diingat kembali, aku mengira Faruq pasti
memiliki sifat pembawaan yang baik dan jelek, tapi sulit
bagiku untuk melupakan kejahatannya yang terbesar:
Faruq kejam. Aku melihatnya ketika ia mengejek anak
tukang kebun yang cacat. Anak malang itu memiliki
tangan yang panjang dan bentuk kaki yang aneh. Ketika
teman-teman Faruq datang berkunjung, ia sering
memanggil Sami yang malang itu dan menyuruhnya
'berjalan ala monyet.' Faruq tak pernah memerhatikan
wajah sedih Sami atau air mata yang menetes di pipinya.
Ketika Faruq menemukan anak-anak kucing, ia akan
memisahkan mereka dari induknya dan berteriak
kegirangan ketika induknya berusaha dengan sia-sia
untuk menemukan anak-anak itu. Tak seorang pun di
rumah kami yang berani menghukum Faruq, karena ayah
kami tak melihat bahaya dalam tindakan Faruq yang
kejam itu.
Setelah pembicaraan yang menggetarkan hati
30
dengan ibu, aku berdoa tentang perasaanku pada Faruq
dan memutuskan untuk memakai cara-cara manipulatif
seperti yang biasa dilakukan perempuan Saudi, bukannya
berkonfrontasi seperti yang telah kulakukan, terutama
dengan abangku itu. Ibu sendiri juga menggunakan ayatayat
suci sebagai landasannya. Memang, menggunakan
nama Tuhan selalu merupakan formula yang ampuh untuk
meyakinkan anak-anak agar mengubah perilaku mereka.
Dengan mengikuti pertimbangan ibuku, akhirnya aku tahu
bahwa apa yang kulakukan sekarang ini hanya akan
membawaku pada jalan yang sulit.
Maksud baikku berhenti dalam seminggu karena
kelakukan Faruq yang tak terpuji. Aku dan kakak-kakak
perempuanku menemukan anak anjing yang terpisah dari
induknya dan merintih kelaparan. Karena merasa senang,
kami buru-buru mengumpulkan botol-botol cantik dan
memanaskan susu kambing. Kami bergantian memberinya
makan. Dalam beberapa hari, anak anjing ini sudah sehat
dan gemuk. Kami memberinya pakaian bahkan melatihnya
duduk di dalam kereta dorong.
Meskipun benar bahwa orang-orang Islam tidak suka
dengan anjing, namun jarang yang menyakiti bayi hewan
apa pun. Bahkan ibu kami, seorang Muslim yang sangat
saleh, suka tersenyum dengan kelucuan anak anjing ini.
Suatu sore, kami membawa anjing yang kami beri
nama Basem, artinya 'wajah yang tersenyum,' itu di
dalam kereta dorong. Faruq kebetulan lewat dengan
teman-temannya. Merasa teman-temannya suka pada
anak anjing kami, Faruq memutuskan bahwa anak anjing
itu harus menjadi miliknya. Ketika Faruq berusaha
mengambil Basem dari tangan kami, kami semua
berteriak berusaha mempertahankannya. Mendengar
keributan itu, ayah keluar dari ruang kerjanya. Ketika
Faruq bilang bahwa ia menginginkan anak anjing itu, ayah
31
menyuruh kami menyerahkannya. Kami tak bisa berbuat
apa-apa. Faruq menginginkan anak anjing itu, dan ia pun
mendapatkannya.
Kami menangis ketika Faruq dengan riang menjauh
membopong Basem yang kelelahan. Hilanglah selamanya
cinta kami untuk saudara laki-laki itu, dan aku semakin
membencinya ketika tahu bahwa Faruq segera bosan
dengan rengekan Basem, yang kemudian dilempar keluar
dari jendela mobil dalam perjalanan mengunjungi teman
temannya.
32
3
Sedih melihat kakak kesayanganku, Sara, menangis
dalam pelukan ibu. Di keluarga kami, dia anak perempuan
ke sembilan, tiga tahun lebih tua dariku. Hanya kelahiran
Faruq yang menyelingi kami. Saat itu ulang tahun Sara
yang ketujuh belas, dan ia seharusnya gembira, namun
ibu baru saja menyampaikan berita yang menyedihkan
dari ayah.
Sara memakai cadar sejak menstruasi pertama, dua
tahun sebelumnya. Cadar itu telah mencabut dirinya yang
berpribadi, dan menghentikannya dari mimpi kanak-kanak
tentang prestasi yang hebat. Ia menjadi jauh dariku,
seorang adik yang belum terikat dengan institusi cadar.
Aku rindu kebahagiaan bersama di masa kanak-kanak.
Tiba-tiba aku sadar bahwa kebahagiaan baru dirasakan
bila kita berhadapan dengan ketidakbahagiaan, karena
aku tak pernah tahu kami begitu bahagia sampai
ketidakbahagiaan Sara menghampiriku.
Sara sangat cantik, jauh lebih cantik dari ku dan
saudara lainnya. Kecantikan justru menjadi kutukan yang
menimpa dirinya, sebab sekarang banyak laki-laki yang
33
ingin menikahinya setelah mendengar kecantikan Sara
melalui ibu dan saudara-saudara perempuan mereka. Sara
tinggi dan ramping, dan kulitnya putih. Mata coklatnya
yang besar berseri-seri penuh dengan pengetahuan,
sehingga semua orang yang mamandangnya, memuji
kecantikannya. Rambutnya yang hitam panjang,
menimbulkan kecemburuan saudari-saudarinya.
Selain cantik alami, Sara juga sangat manis dan
disukai oleh siapa pun yang mengenalnya. Parahnya,
selain mendapat kutukan karena kecantikannya, Sara juga
sangat pintar. Di negeri kami, kecerdasan dipercaya akan
membuat seorang perempuan sengsara di masa depan,
karena tak akan ada tempat untuk kejeniusannya.
Sara ingin belajar seni di Italia dan membuka galeri
pertama di Jeddah. Ia telah bekerja keras untuk cita-cita
itu sejak berumur dua betas tahun. Kamarnya dipenuhi
oleh buku dari semua maestro besar. Sara membuat aku
tenggelam dengan deskripsi-deskripsi seni yang
menakjubkan di Eropa. Tak lama sebelum pengumuman
perkawinan itu, saat aku secara diam-diam masuk ke
kamarnya, aku melihat daftar tempat yang rencananya
akan ia kunjungi; Florence, Venice dan Milan.
Sedih, karena aku tahu bahwa mimpi Sara itu tak
akan pernah jadi kenyataan. Memang benar, di negeri
kami, sebagian besar perkawinan diatur oleh para tetua
keluarga yang perempuan. Namun di keluarga kami, ayah
adalah pembuat keputusan dalam semua persoalan.
Sudah lama ia ingin anak perempuannya yang tercantik
akan menikah dengan laki-laki yang kaya dan terkemuka.
Laki-laki pilihan ayah untuk menikahi anak
perempuannya yang paling diminati adalah anggota
keluarga pedagang terkemuka di Jeddah yang memiliki
pengaruh keuangan pada keluarga kami. Mempelai lakilaki
dipilih semata-mata karena hubungan bisnis di masa
34
lalu dan yang akan datang. Ia berumur enam puluh dua
tahun; Sara akan menjadi istrinya yang ketiga. Meskipun
belum pernah bertemu, laki-laki itu sudah mendengar
kecantikan Sara dari famili perempuannya, dan ingin
sekali tanggal perkawinan segera ditentukan. Ibu
berusaha ikut campur tangan membela Sara; tapi ayah,
sebagaimana biasanya, merespon dingin air mata anak
perempuannya.
Dan sekarang Sara mendengar ia akan dikawinkan.
Ibu menyuruhku meninggalkan ruangan, sambil
membelakangiku; aku pura-pura keluar, dengan berjalan
dan membanting pintu. Aku masuk ke dalam lemari yang
pintunya terbuka, dan menangis diam-diam ketika
kakakku memaki-maki ayah, negeri dan kebudayaan
kami. Dia menangis begitu keras sehingga aku tak bisa
menangkap seluruh kata-katanya, tapi aku mendengar ia
berteriak bahwa ia telah dikorbankan seperti seekor anak
biri-biri.
Ibu juga menangis, namun ia kehilangan kata-kata
untuk menghibur Sara. Ia tahu suaminya memiliki hak
penuh untuk mengatur anak-anak perempuannya dalam
perkawinan yang ia sukai. Enam dari sepuluh anak
perempuannya telah menikah dengan laki-laki yang bukan
pilihan mereka. Ibu tahu bahwa empat yang lainnya akan
mengalami hal yang sama; tak ada kekuatan di bumi yang
bisa menghentikan itu. Ibu mendengar gerakanku dalam
lemari. Ia menajamkan matanya dan menggelengkan
kepalanya ketika ia melihatku. Namun tak melakukan apa
pun untuk membuatku pergi. Ia menyuruhku mengambil
handuk dingin, dan kemudian kembali beralih ke Sara.
Ketika aku kembali, ia meletakkan handuk itu di kepala
Sara dan menyuruhnya tidur. Ibu duduk dan melihat anak
gadisnya selama beberapa menit, dan akhirnya dengan
lesu ia bangkit. Dengan menarik nafas sedih, ia
35
merangkulku dan membawaku ke dapur. Meskipun ini
bukan waktunya makan, dan tukang masak sedang tidur
siang, ibu menyiapkan sepiring kue dan segelas susu
dingin untukku. Aku berumur tiga belas tahun saat itu,
tapi karena tubuhku kecil, ia memelukku dalam
pangkuannya.
Sialnya, airmata Sara hanya memperkeras hati
Ayah. Aku mendengar Sara benar-benar memohon kepada
Ayah. Ia semakin tenggelam dalam kesedihan sehingga ia
menuduh ayah pembenci perempuan. Ia mengucapkan
kata-kata Budha: 'kemenangan melahirkan kebencian,
karena yang kalah merasa tidak bahagia.' Ayah, yang
punggungnya kaku karena marah, berbalik dan pergi.
Sara meratap di belakangnya, menyatakan lebih baik tak
dilahirkan, bila harus menanggung luka hati yang begitu
berat. Dengan suara yang kasar, ayah merespon dengan
mengatakan bahwa tanggal perkawinan akan dimajukan
untuk mengurangi sakit yang semakin lama dirasakan.
Biasanya ayah datang ke rumah kami di hari keempat.
Para lelaki Muslim, dengan empat istri, menggilir
waktu malam mereka, sehingga setiap istri dan keluarga
mendapatkan waktu yang adil. Keadaan menjadi sangat
serius ketika seorang laki-laki menolak pergi menemui
istri dan anak-anaknya, sebuah bentuk hukuman. Rumah
kami haru biru dengan penderitaan Sara. Ayah
memerintah ibu, yang merupakan istri pertama dan oleh
karena itu pemimpin para istri, untuk memberitahukan
pada ketiga istri ayah yang lain, bahwa ia akan menggilir
mereka kecuali rumah kami. Sebelum meninggalkan
rumah, Ayah dengan kasar mengatakan pada ibu agar
menghilangkan kemarahan anak perempuannya dan
membimbingnya menerima takdirnya dengan ikhlas, yang
dalam kata-katanya itu terkandung makna 'istri yang
patuh dan ibu yang baik'.
36
Aku hampir tidak ingat dengan perkawinan kakak
kakakku yang lain. Yang samar-samar teringat hanyalah
air mata. Aku masih terlalu muda, belum lagi trauma
perkawinan dengan orang asing merasuk ke dalam
pikiranku. Tapi aku bisa menutup mataku sekarang dan
mengingat setiap detik peristiwa yang terjadi di bulanbulan
sebelum perkawinan Sara, hari perkawinan itu
sendiri, dan peristiwa menyedihkan yang terjadi di
minggu-minggu setelahnya.
Aku dikenal sebagai anak yang nakal di dalam
keluarga, anak perempuan yang paling menguji kesabaran
orang tua. Dengan sengaja dan nekat, aku menciptakan
malapetaka di rumah kami. Akulah yang memasukkan
pasir ke dalam mercedes baru Faruq; aku mencuri uang
dari dompet ayahku: mengubur koleksi koin emas Faruq
di halaman belakang; melepaskan ular hijau dan kadal
dari kandangnya ke kolam renang keluarga ketika Faruq
berbaring tidur di atas pelampungnya.
Sara adalah anak perempuan sempurna, yang selalu
patuh, dan mendapatkan nilai sempurna di sekolahnya.
Aku sangat mencintainya. Aku merasa Sara lemah.
Namun ia mengejutkan kami selama minggu-minggu
sebelum perkawinannya. Rupanya ia menyembunyikan
kekuatannya, ia menelpon kantor ayah setiap hari dan
meninggalkan pesan untuknya bahwa dia tidak akan
menikah. Ia bahkan menelpon kantor laki-laki yang akan
menikahinya dan meninggalkan pesan kasar pada
sekretarisnya yang berasal dari India bahwa menurutnya
bosnya adalah laki-laki tua yang menjijikkan, dan
seharusnya ia menikahi perempuan dewasa, bukan anak
kecil. Sekretaris India itu pun menyampaikan pesan Sara
pada majikannya, supaya laut tidak pecah dan gunung
tidak meletus. Sara memutuskan kembali menelpon dan
meminta untuk berbicara sendiri pada laki-laki itu! Namun
37
calon suaminya itu tidak ada di kantor. Sara diberitahu
bahwa lelaki itu berada di Paris untuk beberapa minggu.
Ayah, lelah oleh kelakuan Sara, memutuskan saluran
telepon kami. Dan Sara dikurung di kamarnya.
Takdir kakakku tampak di hadapan mata. Hari
pernikahan pun tiba. Minggu-minggu kelabu yang
melelahkan sama sekali tak mengurangi kecantikan Sara.
Ia malah tampak lebih cantik, bening, makhluk surga yang
tidak diciptakan untuk dunia ini. Karena berat tubuhnya
berkurang, matanya yang gelap mendominasi wajahnya,
dan roman wajahnya tampak seperti di pahat. Tatapan
matanya kosong, dan aku dapat melihat jiwanya melalui
manik mata hitamnya yang besar. Aku melihat ketakutan
di sana.
Kakak-kakak kami yang lebih tua, suadara-saudara
sepupu dan bibi-bibi, datang lebih awal di pagi hari
perkawinan untuk mempersiapkan pengantin wanita.
Kehadiranku yang tak diinginkan, tak menarik perhatian
perempuan-perempuan itu, karena aku duduk seperti
patung di pojok ruang pakaian yang sangat besar, yang
diubah menjadi ruang persiapan pengantin wanita.
Tak kurang dari lima belas perempuan yang
mengurus berbagai macam detil perkawinan. Upacara
pertama, halawa, dilakukan oleh ibuku dan bibi tertua.
Semua bulu di tubuh Sara dicukur, kecuali alis mata dan
rambutnya. Campuran gula khusus, air mawar dan jus
lemon yang akan dilumuri ke tubuhnya sedang direbus
dengan api kecil di dapur. Ketika pasta manis itu sudah
mengering di tubuhnya, baru kemudian dihapus, dan bulu
di tubuh Sara dicabut bersama dengan menggunakan
campuran lengket itu. Aromanya manis dan wangi. Namun
teriakan kesakitan Sara membuatku merasa ngeri.
Inai sudah dipersiapkan untuk pembilasan terakhir
rambut ikal Sara yang lebat; rambutnya sekarang
38
bercahaya. Kukunya dicat dengan warna merah cerah
warna darah, aku membayangkannya dengan murung.
Gaun pengantin berenda warna merah jambu pucat
tergantung di depan pintu. Kalung berlian, gelang dan
giwang yang serasi terletak di atas meja rias. Meskipun
sudah dikirim beberapa minggu yang lalu sebagai hadiah
dari pengantin pria, perhiasan itu sama sekali tak dilihat
apalagi disentuh oleh Sara.
Bila pengantin perempuan Saudi bahagia, ruang
persiapan penuh dengan suara tawa dan pengharapan.
Untuk perkawinan Sara, suasananya suram; para pelayan
seolah-olah menyiapkan tubuh Sara untuk dimakamkan.
Setiap orang berbicara dengan berbisik. Tak ada respon
dari Sara. Aku melihatnya menunduk aneh, dibanding
reaksi-reaksi bersemangatnya selama beberapa minggu
sebelumnya. Kemudian, aku memahami keadaannya yang
seperti tak sadarkan
Ayah, kuatir Sara akan mempermalukan nama
keluarga dengan mengemukakan penolakan, atau bahkan
menghina pengantin pria, memerintahkan seorang dokter
Istana agar menyuntik Sara dengan obat penenang yang
tahan sepanjang hari. Kepada pengantin pria dikatakan
bahwa Sara benar-benar gugup dengan kegembiraan
selama perkawinan, dan obat itu diberikan dengan resep
untuk perut mual. Karena mempelai laki-laki tak pernah
bertemu Sara, di hari-hari berikutnya ia mesti berasumsi
bahwa ia adalah perempuan jinak dan sangat tenang.
Tambahan lagi, banyak laki-laki tua di negeri kami yang
menikahi gadis muda; aku yakin mereka sudah terbiasa
menjadi teror bagi calon istri muda mereka.
Tabuhan gendang menandakan kehadiran tamu.
Akhirnya Sara selesai didandani. Pakaian yang lembut
disorongkan melalui kepalanya dan sendal merah jambu
dipasangkan ke kakinya. Ibuku memasangkan kalung
39
berlian di lehernya. Aku dengan suara keras
memberitahukan kalung itu mungkin sebuah jerat. Salah
satu bibiku menjitak kepalaku, dan yang lainnya
menjewer telingaku, namun tak ada suara dari Sara. Kami
semua menatapnya dalam keheningan yang
mengagumkan. Kami tahu tak ada pengantin yang
secantik dia.
Tenda yang sangat besar telah didirikan di halaman
belakang untuk upacara. Kebun telah dibanjiri bunga
bunga yang dikirim dari Belanda. Dengan ribuan lampu
warna warni yang bergantungan, tempat ini menjadi
sangat menakjubkan. Masuk dalam kemegahan, sejenak
aku melupakan situasi yang suram.
Tenda sudah dipenuhi oleh tamu. Perempuan
perempuan dari keluarga kerajaan, yang benar-benar
diberati oleh berlian, ruby dan zamrud, bersama-sama
dengan rakyat jelata mengikuti acara ini sesuatu yang
jarang terjadi. Kelas bawah perempuan Saudi diizinkan
melihat perkawinan kerajaan selama mereka tetap
memakai cadar dan tidak bersosialisasi dengan anggota
kerajaan. Salah seorang teman mengatakan padaku
bahwa kadang-kadang laki-laki memakai cadar dan
bergabung dengan perempuan-perempun ini sehingga
mereka bisa melihat wajah terlarang perempuan.
Agaknya, semua tamu laki-laki dihibur di hotel besar di
kota ini, menikmati sosialisasi yang sama seperti tamu
tamu perempuan: ngobrol, menari, dan makan.
Pada pesta perkawinan di Arab Saudi, laki-laki
merayakannya di lokasi yang terpisah dari perempuan.
Satu-satunya laki-laki yang diizinkan di tempat perayaan
perempuan adalah pengantin laki-laki, ayahnya, dan ayah
pengantin perempuan dan penghulu, guna melakukan
upacara singkat. Dalam hal ini, karena ayah pengantin
laki-laki sudah meninggal, hanya ayahku yang akan
40
menemani pengantin laki-laki menemui pengantin
perempuan ketika tiba saatnya.
Tiba-tiba para budak dan pelayan mulai membuka
penutup makanan, yang langsung diserbu para undangan,
terutama mereka yang bercadar. Perempuan-perempuan
malang ini menjejalkan makanan ke mulut mereka melalui
balik cadar. Tamu yang lain mulai mencicipi salmon
asapan dari Norwegia, kaviar Rusia, telur puyuh dan
makanan lezat lainnya. Empat meja besar bergoyang
karena berat menahan makanan: makanan pembuka di
sebelah kiri, makanan utama di tengah, makanan penutup
di sebelah kanan, dan di seberangnya adalah minuman
yang menyegarkan. Tentu saja tak ada alkohol. Tapi
banyak perempuan kerajaan membawa botol kecil indah
di dalam tas tangan mereka. Sambil tertawa genit,
mereka akan membawa masuk minuman botol kecil itu ke
ruang bersih-bersih untuk diminum sedikit demi sedikit.
Penari perut dari Mesir bergerak ke tengah-tengah
tenda. Perempuan dari segala umur dengan perhatian
yang bercampur menonton gerakan-gerakan penari. Ini
adalah bagian yang paling kusukai dari pesta perkawinan,
namun sebagian besar perempuan tampak tidak nyaman
dengan tontonan erotis ini. Kami perempuan Saudi terlalu
serius, melihat kesenangan dan keriangan penuh dengan
curiga. Namun aku terkejut ketika salah satu bibi kami
melompat ke tengah keramaian dan bergabung menari
bersama para penari perut. Kemampuan menarinya
sangat menakjubkan, namun aku mendengar ucapan
mencela dari beberapa kerabatku.
Sekali lagi suara gendang memenuhi udara, dan aku
tahu ini saatnya Sara muncul. Semua tamu melihat ke
arah pintu masuk rumah. Tak lama kemudian di belakang
pintu yang terbuka lebar, Sara, diapit oleh ibu di satu sisi
dan bibi di sisi lain, dibimbing ke podium.
41
Aku melihat kakak, cadar merah jambu yang
melayang-layang menutupi wajahnya dijepit oleh mahkota
mutiara merah jambu. Cadar tipis itu semakin menambah
kecantikannya yang tak terlupakan. Ada gumaman dari
para tetamu yang ikut merasakan penderitaan Sara.
Bagaimanapun, pengantin perawan yang masih muda
tentu takut dengan inti kehidupannya.
Lusinan kerabat perempuan mengikuti di belakang,
memenuhi udara dengan suara-suara kegembiraan: bunyi
bernada tinggi dari lidah yang dicekikkan ke langit-langit
mulut mereka. Perempuan yang lebih tua ikut
mengeluarkan teriakan yang melengking. Sara tersandung
namun langsung dibantu ibu.
Tak lama kemudian ayah dan pengantin laki-laki
muncul. Aku tahu pengantin prianya lebih tua dari ayah
tapi aku menantang dengan tatapan pertamaku padanya.
Ia nampak usang di mataku, dan kupikir ia lebih
menyerupai musang. Aku ngeri membayangkan
tangannya menyentuh kakakku yang pemalu dan sensitif.
Pengantin pria kelihatan tersenyum mengerling
ketika ia mengangkat cadar kakakku. Sara tak kuasa
untuk bereaksi, dan ia berdiri tanpa bergerak di hadapan
tuan barunya. Upacara pernikahan telah diselenggarakan
seminggu sebelum pesta perkawinan ini: tak seorang
perempuanpun hadir. Hanya laki-laki yang ikut dalam
upacara itu. Upacara itu adalah upacara menandatangani
persetujuan mas kawin dan pertukaran surat-surat sesuai
undang-undang. Hari ini beberapa kata akan diucapkan
untuk melengkapi upacara pernikahan.
Pak penghulu melihat ke arah ayah ketika ia
mengucapkan kata-kata bahwa Sara sekarang telah
menikah dengan mempelai pria, berikut mas kawin yang
sudah disetujui. Kemudian ia melihat sekilas pada
mempelai pria yang membalas dengan jawaban bahwa ia
42
menerima Sara sebagai istrinya, yang mulai sekarang dan
selanjutnya akan berada di bawah perawatan dan
perlindungannya. Tak seorang laki-lakipun melihat ke arah
Sara selama upacara itu berlangsung.
Dengan membaca ayat Alquran, penguhulu itu
memberkati pernikahan kakakku. Tiba-tiba, para perempuan
mulai memekik dan berteriak. Sara sudah menikah.
Para laki-laki memandang, senang dan tersenyum.
Ketika Sara berdiri diam, mempelai pria
memindahkan kantong kecil dari saku jubahnya dan
melemparkan koin-koin emas kepada para tamu. Aku
gemetar ketika melihat laki-laki itu dengan puas
menerima ucapan selamat atas perkawinannya dengan
perempuan cantik. Ia mengapit kakakku dan dengan
buru-buru menggandengnya pergi.
Sara menatapku dengan sangat lekat ketika ia
berjalan melewatiku; aku tahu seseorang harus
menolongnya, namun aku merasa tak seorang pun bisa
melakukannya. Tiba-tiba aku teringat kata-kata Sara
kepada Ayah: 'kemenangan melahirkan kebencian, karena
yang kalah tidak bahagia.' Dalam jiwaku yang sangat
sedih, aku merasa tak terhibur dengan pengetahuan
bahwa mempelai laki-laki tak akan pernah mengenal
kebahagiaan dalam perkawinan yang tak adil ini. Hal itu
tak cukup bisa menghukum dia.
43
4
Ayah melarang kami mengunjungi Sara selama tiga bulan
pertama perkawinannya. Ia mengatakan bahwa Sara
membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan
kehidupan dan tanggung jawabnya yang baru; berkunjung
padanya hanya akan membangkitkan hasratnya pada
mimpi yang tak berguna. Kegelisahan kami atas
penghambaan Sara hanya akan berarti anggukan tanpa
semangat. Menurut Ayah, Sara sedang melakukan apa
yang harus dilakukan perempuan: melayani,
menyenangkan laki-laki, dan melahirkan anak.
Tak ada barang di kamarnya yang dibawa Sara.
Mungkin dia merasa bahwa buku-buku dan barang-barang
lain kesukaannya hanya akan membuat dirinya lebih
menderita. Bagiku, semua itu pertanda bahwa seolah-olah
Sara sudah meninggal. Kepergian Sara meninggalkan
lubang hitam dalam hidupku. Aku berduka cita dengan
menghabiskan waktu selama berjam-jam di kamarnya
bersama barang-barang miliknya. Aku mulai tertarik pada
44
hobi Sara dan menganggap diriku bagian dari pribadinya.
Aku membaca buku harian Sara. Aku merasakan mimpimimpi
Sara seolah-olah menjadi mimpiku. Aku menangis
geram layaknya seseorang yang mempertanyakan
kebijaksanaan Tuhan, yang mengizinkan kejahatan
mengalahkan orang yang tak berdosa.
Ibu memerintahkan agar pintu kamar Sara dikunci
setelah ia tahu aku berada di tempat tidur Sara, memakai
pakaian tidurnya, dan membaca buku-buku seninya.
Kami tak perlu menderita menunggu tiga bulan
untuk bertemu Sara. Lima minggu setelah pernikahannya,
Sara berusaha bunuh diri.
Aku sedang di kebun, berbicara pada hewan-hewan
di kebun binatang mini kami yang baru dibangun, ketika
tiba-tiba Omar berlari terburu-buru sambil menenteng
sandalnya melintasi gerbang depan. Kulitnya yang
biasanya merah tua, tampak pucat pasi. Ia membersihkan
jubah dan mengibaskan pasir dari sandalnya di sisi
dinding. Ia menyuruhku berlari mencari ibu.
Ibu merasa ada sesuatu dengan anak-anaknya, dan
ketika ia melihat Omar, ia bertanya-tanya apa yang
terjadi pada Sara.
Orang Arab biasa tidak mengatakan keadaan yang
sebenarnya ketika salah seorang anggota keluarganya
sakit, sekarat, atau mati. Orang Arab tidak bisa menahan
sisi buruk. Jika ada seorang anak meninggal, orang yang
bertugas memberitahukan keluarganya akan mengatakan
bahwa anak itu sedang tidak enak badan. Setelah ditanya,
orang itu akan memberitahukan bahwa si anak harus
dibawa ke dokter dan akhirnya ke rumah sakit. Setelah
didesak, ia baru mengatakan bahwa sakitnya parah dan
keluarga harus pergi melihatnya. Terakhir orang itu
dengan sangat tersiksa akan mengatakan bahwa anak itu
dalam bahaya kematian. Diperlukan beberapa jam untuk
45
bisa sampai ke tahap yang serius. Tapi tak seorang pun
akan mengatakan tentang kematian seseorang yang
disayangi. Seberapa pun jauh berita buruk yang
disampaikan, tujuannya hanyalah mempersiapkan
keluarga untuk mendengarkan berita yang lebih buruk
dari dokter.
Omar mengatakan kepada ibu bahwa Sara telah
memakan daging busuk dan sekarang ada di klinik pribadi
di Jeddah. Dalam hitungan satu jam, ayah mengirim ibu
dengan pesawat pribadi. Ibu mengunci mulutnya, dan
segera berbalik untuk berkemas.
Aku berteriak dan memeluk ibu erat-erat, sehingga
ia merasa kasihan dan mengizinkan aku ikut dengan janji
aku tidak bikin gaduh di klinik jika Sara sakit parah. Aku
berjanji dan lari ke kamar Sara, mengetuk-ngetuk dan
menendang pintu yang terkunci, sampai salah satu
pelayan menemukan kuncinya. Aku ingin membawakan
salah satu buku seni kesukaan Sara.
Omar mengantar kami ke kantor ayah karena ia lupa
membawa surat-surat perjalanan untuk kami. Di Arab
Saudi, laki-laki harus menuliskan surat izin perjalanan
untuk anggota keluarganya yang perempuan. Tanpa surat
itu, kami mungkin akan diberhentikan di kantor pabean
dan dilarang masuk ke pesawat. Ayah juga memberikan
paspor kami karena, seperti yang ia katakan kepada ibu,
mungkin perlu bagi kami untuk merawat Sara ke London.
Daging busuk? London? Aku tahu apa itu busuk, dan itu
hanya karangan ayah. Aku pikir kakakku benar-benar
meninggal.
Kami berangkat ke Jeddah dengan pesawat pribadi
yang kecil. Perjalanannya mulus, namun suasana di dalam
kabin penuh ketegangan. Ibu tak banyak bicara dan
menutup matanya hampir selama perjalanan.
Memang, belum lama ibu naik mobil untuk kali per46
tama. Sekarang aku lihat bibirnya bergerak dan aku tahu
itu dua buah doa agar dikuatkan oleh Tuhan: doa pertama
untuk keselamatan Sara dan yang kedua agar pesawat
membawa kami dengan selamat.
Pilot dan ko-pilotnya orang Amerika. Aku tiba-tiba
tertarik kepada sikap mereka yang terbuka dan
bersahabat. Mereka bertanya padaku apakah aku ingin
duduk di kokpit. Ibu mengangguk, sedikit keberatan
dengan kakiku yang menekan dan kedua tanganku yang
mengepak-epak. Aku tak pernah duduk di kokpit
sebelumnya. Faruq yang selalu duduk di sana.
Awalnya aku takut memandang langit yang terbentang,
dan pesawat terasa seperti mainan di antara kami
dan bumi yang keras. Aku menjerit kecil dan berbalik.
John, yang berbadan terbesar di antara kedua orang
Amerika itu, memberiku senyum yang menentramkan
hati, dan dengan sabar menerangkan fungsi-fungsi
berbagai macam tombol dan alat. Karena terkejut, aku
memeluk bahunya, sangat nyaman; satu satunya
peristiwa pada masa kecilku di mana aku merasa tenang
dan nyaman dengan kehadiran laki-laki. Aku sangat takut
pada ayahku. Aku benci Faruq dan saudara laki-lakiku
yang lain. Meskipun terasa aneh, aku mabuk dengan
pengetahuan bahwa laki-laki, yang selama ini aku kira
dewa-dewa, bisa menjadi sangat biasa dan tidak
mengancam. Ini sesuatu yang baru dalam pikiranku.
Ketika aku memandang keluar lewat jendela
pesawat, aku mengerti mengapa burung elang yang
terbang tinggi sangat memikat hati, dan aku mengalami
perasaan bebas yang menakjubkan. Pikiranku melayang
ke Sara dan menyadari kenyataan yang mengejutkan
bahwa burung dan binatang buas lebih bebas dibanding
kakakku itu. Aku berjanji pada diriku bahwa aku akan
menjadi tuan dalam hidupku sendiri, tak peduli apa pun
47
tindakan yang akan kulakukan atau sakit yang akan
kutanggung.
Aku bergabung dengan ibu kembali ketika pesawat
akan mendarat; ia memelukku dengan lembut ketika
pesawat berjalan menuju pangkalan. Meskipun ia
memakai cadar, aku tahu setiap ekspresinya, dan aku
mendengar desahan nafasnya yang panjang, tersiksa.
Aku mungucapkan selamat tinggal kepada dua orang
Amerika yang baik itu. Aku harap mereka yang akan
membawa kami kembali ke Riyadh, karena aku merasa
persahabatan dengan kedua laki-laki itu memberikan
makna penting padaku, anak yang penuh dengan
pertanyaan.
Di klinik, ketika kami berjalan di koridor kami
mendengar ratapan dan tangisan. Ibu mempercepat
langkahnya dan menggenggam erat tanganku.
Sara nyaris meninggal. Kami sangat putus asa
mengetahui bahwa ia mencoba bunuh diri dengan
memasukkan kepalanya ke dalam kompor gas. Ia diam
dan sangat pucat. Suaminya tidak ada di sana, dan ia
mengirim ibunya sebagai ganti. Sekarang, dengan suara
keras, perempuan tua itu mulai memarahi Sara dengan
kasar karena mempermalukan anak laki-lakinya dan
keluarganya. Dia wanita tua yang jelek dan jahat. Aku
ingin sekali mencakar wajahnya dan mengusirnya, tapi
aku ingat janjiku pada ibu. Akhirnya aku berdiri, berusaha
keras menahan amarah, menepuk tangan Sara yang
lembut.
Ibu menaikkan cadarnya ke atas kepala dan
menghadapi perempuan tua itu. Ia resah dengan banyak
kemungkinan, namun sangat tidak menyangka anak
perempuannya berusaha bunuh diri. Aku ingin melonjak
dan bersorak senang ketika ibu berbalik dengan wajah
yang sangat marah ke arah besannya. Ia menghentikan
48
perempuan berdarah dingin itu dengan pertanyaan, apa
yang telah dilakukan putranya sehingga gadis muda ini
ingin bunuh diri. Ibu memintanya untuk meninggalkan
tempat tidur Sara, karena tidak ada tempat untuk seorang
yang tak bermoral. Perempuan tua itu pergi tanpa
memasang kembali cadarnya. Kami bisa mendengar
suaranya yang marah ketika ia berteriak pada Tuhan
memohon simpati.
Ibu berbalik ke arahku dan melihat senyum
takjubku. Aku kagum pada kemarahannya, dan untuk
sesaat aku merasa Tuhan tidak akan meninggalkan kami.
Dan Sara akan selamat. Tapi aku tahu kehidupan ibu
akan sangat sengsara bila ayah mendengar kata-kata
yang baru saja diucapkannnya. Aku telah kenal dengan
watak ayah. Ia akan marah dan bukan simpati pada Sara
atas perbuatan nekadnya. Ia pasti akan sangat marah
kepada ibu karena membela anaknya. Di Arab Saudi,
kaum tua betul-betul dipuja. Tidak peduli apa yang
dilakukan atau diucapkannya, atau bagaimana
kelakuannya, tak seorang pun berani melawan orang yang
sudah berumur. Ketika menghadapi perempuan tua itu,
ibu seperti harimau betina yang melindungi anaknya.
Hatiku merasa seolah-olah itu muncul karena harga diri
dan keberaniannya.
Setelah tiga hari, tanpa menelpon sebelumnya,
suami Sara datang ke klinik untuk mengklaim miliknya.
Pada saat ia datang, ibu telah mengetahui sumber
penderitaan Sara yang sangat mendalam. Ia menghadapi
menantunya itu dengan perasaan jijik. Suami Sara orang
yang sadis. Ia menjadikan saudaraku sasaran perilaku
seksualnya yang brutal hingga Sara merasa kematian
adalah satu-satunya tempat pelarian. Setelah tiba di
Jeddah, Ayahpun tak mengakui penderitaan yang dialami
anaknya. Dan ayah setuju dengan menantunya bahwa
49
seorang istri adalah milik suaminya. Suami Sara berjanji
kepada Ayah bahwa hubungannya dengan Sara akan
kembali seperti normal.
Tangan ibu gemetar dan mulutnya meraung ketika
ayah mengatakan kepadanya tentang keputusan itu. Sara
mulai menangis dan mencoba meninggalkan tempat tidur,
sambil berkata ia tak ingin hidup. Ia mengancam akan
menyobek pergelangan tangannya jika dipaksa kembali ke
suaminya. Ibu berdiri melindungi anaknya seperti gunung
dan, untuk kali pertama dalam hidupnya, ia menentang
suaminya. Ia berkata pada suaminya bahwa Sara tak akan
pernah kembali ke rumah seorang monster.
Dirinya akan pergi ke Raja dan Majelis ulama untuk
menceritakan kisah ini, dan bila ini terjadi, tak seorang
pun akan mengizinkan kebringasan seorang suami terus
berlanjut. Ayah mengancam akan menceraikan ibu, ibu
langsung berdiri dan mengatakan pada ayah untuk
melakukan apa pun yang ingin dilakukannya. Tapi yang
pasti, anaknya tak akan kembali ke suami iblis.
Ayah berdiri, tanpa berkedip. Ia mungkin menyadari
bahwa, mungkin sekali Sara akan dipaksa oleh para ulama
untuk kembali ke suaminya. Seperti yang selama ini
terjadi, mereka akan menasehati si suami untuk
memperlakukan istrinya sesuai dengan yang
diperintahkan dalam Alquran, dan kemudian mereka akan
meremehkan situasi yang tak menyenangkan. Ayah diam,
melihat dan menganalisa ketetapan hati ibu. Tak percaya
dengan ketetapan hati ibu yang tampak nyata, dan ingin
menghindari campur tangan publik dalam persoalan
keluarganya, sekali dalam seumur hidup perkawinannya,
ia menyerah.
Karena kami dari kelurga kerajaan dan tak ingin
merusak hubungan dengan ayahku, suami Sara dengan
enggan setuju untuk bercerai.
50
Islam memberikan hak untuk bercerai pada laki-laki,
apa pun alasannya. Namun sangat sulit bagi perempuan
untuk menceraikan suaminya. Sara akan dipaksa
mengajukan alasan mengapa minta bercerai, banyak
kesulitan akan muncul, karena para pemimpin agama
mungkin akan mengeluarkan kaidah, 'kamu mungkin tak
menyukai sesuatu yang menurut Allah itu untuk
kebaikanmu,' dan memaksa Sara untuk tetap dengan
suaminya. Tapi suami Sara mengalah dan mengucapkan
kata-kata 'Aku menceraikan kamu' tiga kali dengan
dihadiri dua saksi laki-laki. Dan perceraian selesai pada
saat itu juga.
Sara bebas! Ia kembali ke rumah kami.
Setiap pergolakan adalah peralihan. Dunia remajaku
diisi dengan perkawinan, usaha bunuh diri, dan perceraian
Sara. Pemikiran dan ide-ide segar mulai tumbuh dalam
pikiranku; aku tak pernah berfikir seperti anak-anak lagi.
Lama aku merenungkan tradisi primitif seputar
perkawinan di negeriku. Banyak faktor yang menentukan
kelayakan seorang gadis untuk dinikahi di Arab Saudi:
nama keluarga, kekayaan keluarga, kesempurnaan, dan
kecantikannya. Bertemu di muka umum adalah sesuatu
yang tabu, jadi laki-laki harus bergantung pada mata
elang ibunya dan saudara perempuannya untuk
menemukan pasangan yang pantas baginya. Bahkan
setelah janji untuk menikah dibuat dan tanggalnya sudah
ditentukan, sangat jarang si gadis bertemu dengan calon
suaminya sebelum terjadi pernikahan, walaupun
terkadang anggota-anggota keluarga saling bertukar foto.
Jika si gadis dari keluarga yang baik dan tanpa kekurangan,
ia akan mendapatkan sejumlah lamaran
perkawinan. Jika ia cantik, banyak laki-laki akan mengirim
ibu atau ayah mereka untuk memohonnya menjadi
istrinya, karena kecantikan adalah komoditi pokok bagi
51
perempuan Saudi Arabia. Tentu saja tanpa skandal yang
bisa merusak reputasi kecantikan itu; kalau tidak, hasrat
orang padanya akan lenyap; gadis seperti ini akan
menjadi istri ketiga atau keempat seorang laki-laki tua di
desa yang sangat jauh.
Banyak laki-laki Saudi menyerahkan keputusan final
perkawinan anak perempuannya pada istri-istri mereka,
karena tahu mereka akan mencarikan yang paling cocok
untuk keluarga. Namun masih sering terjadi seorang ibu
memaksakan perkawinan yang tak diinginkan anak
gadisnya. Karena bagaimanapun juga, ia sendiri menikah
dengan laki-laki yang ditakutinya, dan hidupnya berjalan
dengan kengerian dan kesakitan yang tak terbayangkan.
Cinta dan kasih sayang saja tidak akan mencukupi,
demikian peringatan sang ibu pada anak gadisnya; lebih
baik menikah dengan keluarga yang telah mereka kenal.
Dan ada laki-laki, seperti ayahku, yang mendasarkan
keputusan perkawinan putrinya demi keuntungan bisnis
dan pribadi, dan tak ada otoritas yang lebih tinggi untuk
membatalkan keputusan itu. Sara, karena kecantikan,
kecerdasan, dan mimpi masa kecilnya, pada akhirnya tak
lebih dari sebuah bidak dalam rencana licik ayah untuk
mendapat kekayaan.
Mengetahui dengan sangat baik keadaan kakakku
yang berada dalam bahaya, membuat aku memutuskan:
kita perempuan harus memiliki hak berbicara untuk
keputusan akhir dalam persoalan-persoalan yang akan
mengubah kehidupan kita selamanya. Dari sekarang, aku
mulai hidup, bernafas dan merencanakan dengan diamdiam
perjuangan untuk hak-hak perempuan di negeriku
sehingga kami bisa hidup lebih bermartabat dan dapat
memenuhi kebutuhan personal yang selama ini hanya
menjadi hak laki-laki sejak lahir.
52
5
Beberapa bulan setelah Sara kembali, kakak perempuanku
yang lebih tua, Nura, meyakinkan ayah bahwa Sara dan
aku perlu melihat dunia di luar Arab Saudi. Tak satupun
dari kami yang dapat membangkitkan Sara dari depresi
kronisnya, dan menurut Nura sebuah perjalanan mungkin
akan menjadi obat yang tepat. Dari sekian perjalanan
yang kulakukan, aku sudah dua kali mengunjungi
Spanyol, namun saat itu aku masih sangat kecil sehingga
tak banyak yang kuingat.
Nura menikah dengan salah satu cucu Raja pertama
kami. Ayah puas dengan perkawinan Nura yang memang
memiliki pandangan kalem pada hidup. Dia melakukan
apa saja yang diperintahkan tanpa bertanya. Ayah benarbenar
semakin mencintainya seiring berlalunya waktu,
karena sedikit dari saudara perempuanku yang memiliki
kualitas kepatuhan seperti Nura. Semenjak perceraian
Sara, ayah mengangkat Nura sebagai contoh untuk anakanaknya
yang lain. Nura menikah dengan orang yang tak
53
dikenalnya, dan perkawinannya terbukti memuaskan.
Tentu saja, karena suami Nura baik budi dan penuh
perhatian.
Dalam pikiran ayah, Sara jelas-jelas memprovokasi
suaminya untuk berperilaku kriminal. Kesalahan tak
pernah menjadi milik lelaki di Timur Tengah. Meskipun
membunuh istrinya, lelaki akan mengatakan alasan 'valid'
atas tindakannya, yang akan diterima oleh laki-laki lain
tanpa tanya. Di negeriku sendiri, aku pernah melihat surat
kabar harian memberikan penghormatan pada laki-laki
yang mengeksekusi istri atau anak perempuannya karena
kesalahan 'perilaku yang tak senonoh'. Kecurigaan pada
tindakan seksual yang tak senonoh, seperti berciuman,
bisa membawa kematian pada seorang gadis muda.
Tambah lagi, ucapan selamat di depan umum diberikan
oleh para penjaga agama atas tindakan 'mulia' seorang
ayah yang menjalankan perintah Nabi!
Nura dan Ahmed sedang membangun istana, dan
Nura ingin pergi ke Eropa untuk membeli perabotan Italia.
Dalam perjalanan, kami akan berhenti di Mesir agar anakanak
Nura yang masih kecil bisa melihat piramid.
Ayah, yang memiliki 22 anak perempuan dari empat
istri, sering terdengar menggerutu, 'perempuan adalah
kutukan bagi laki-laki.' Anak perempuannya yang paling
kecil, yang terus melakukan usaha pemberontakan yang
setimpal melawan kekuasaan absolut laki-laki, tak bisa
mengubah pendiriannya. Ucapan dan tindakan kami tidak
pernah dihargai dan diperhitungkan. Karena sangat yakin
kami tak akan pernah mencapai puncak yang kami
inginkan, maka ucapan kami saja adalah sebuah
kemenangan. Memang, tak ada perempuan Saudi yang
secara bebas pernah mendekati topik yang kami
diskusikan.
Nura ingin ibu ikut dengan kami keluar negeri,
54
namun ibu menjadi sangat pendiam sejak Sara kembali.
Seolah-olah satu-satunya pemberontakan hebat yang ia
lakukan pada kekuasaan ayah telah menguras
semangatnya. Namun ia mendukung perjalanan itu, sebab
ia ingin Sara melihat Italia. Ia pikir aku terlalu muda dan
harus tetap tinggal di rumah, tapi seperti biasanya, sifatku
yang keras menyempurnakan hasil yang kuinginkan. Sara
tidak begitu tertarik, meskipun nanti bisa melihat
keajaiban-keajaiban seni Italia, sebaliknya aku betul-betul
gembira.
Kegembiraanku hilang oleh keinginan Faruq untuk
ikut dengan kami. Ayah merasa kami butuh pengawal.
Aku langsung berpikiran bahwa kehadiran Faruq yang
curang akan merusak liburanku. Aku memutuskan untuk
mempermainkan dia. Aku merebut ghutra (kain penutup
kepala) barunya dan igaal (tali hitam yang mengikat
ghutra) dan berlari di tengah rumah menuju kamar mandi.
Aku tak tahu apa yang akan kulakukan terhadap bendabenda
itu, namun laki-laki Saudi sangat sakit hatinya
kalau ada orang yang menyentuh ghutra-nya. Aku
merasa, harus menyakiti Faruq secepat mungkin.
Ketika Faruq mengejarku dan mengancam akan
mengatakannya pada ayah, aku membanting pintu kamar
mandi di hadapannya. Karena Faruq memakai Sandal,
jempol kakinya terluka, dan tangannya memar. Dari
teriakan dan rintihannya, para pelayan mengira aku
sedang membunuh Faruq. Meskipun begitu tak seorang
pun datang menyelamatkan dia.
Aku tidak tahu apa yang menyelimutiku mungkin
suara erangan yang sedang memohon simpati tapi aku
secara terburu-buru memasukkan ghutra-nya ke toilet dan
menghanyutkannya. Tapi Igaal-nya tidak hanyut, bahkan
ketika dengan kalut aku mendorongnya dengan alat
penyedot. Tali hitam yang basah itu menyumbat di toilet!
55
Ketika Faruq melihat apa yang kulakukan, ia
menyerangku. Kami berguling di lantai dan aku menang
dengan menarik dan membelit jarinya yang luka. Ibu,
mendengar teriakan kesakitan Faruq, ikut campur tangan
dan melindunginya dari kemarahanku yang tertahan
selama bertahun-tahun.
Aku tahu aku dalam masalah besar. Tetapi aku
menganggap situasiku tidak buruk. Maka ketika Ibu dan
Omar mengantar Faruq ke klinik untuk membalut jarinya
yang luka, aku mengendap-endap masuk ke kamarnya
dan mengumpulkan timbunan 'harta karun' rahasianya
yang dilarang oleh agama dan negara.
'Harta karun' ini adalah barang-barang yang biasa
dikoleksi oleh semua anak laki-laki di seluruh dunia.
Namun memiliki barang-barang ini adalah pelanggaran
yang serius terhadap hukum agama di Arab. Lama
sebelumnya, aku telah menemukan koleksi playboy,
penthouse dan majalah-majalah Faruq yang lainnya.
Baru-baru ini aku menemukan koleksi barunya, slide
(film) porno. Karena ingin tahu, aku membawa semua
barang itu ke kamarku; dan melihatnya dengan proyektor
filmku. Laki-laki dan perempuan telanjang sedang
melakukan segala macam hal yang asing; ada juga
adegan seks antara wanita dengan hewan. Tampaknya
Faruq sudah pernah meminjamkannya pada anak laki-laki
lain, karena ia dengan jelas menulis namanya sendiri ke
setiap barang terlarang ini.
Aku terlalu lugu waktu itu untuk mengetahui apa
makna semua itu. Tapi aku tahu 'harta karun ini' adalah
barang yang buruk karena Faruq selalu menyimpannya
dalam kotak penyimpanan yang ditumpuk dalam kotak tua
yang berlabel 'Buku Catatan Sekolah'. Aku sangat kenal
dengan barang-barang miliknya. Dengan hati-hati Aku
mengeluarkan setiap majalah dan slide itu. Aku juga
56
menemukan tujuh botol kecil alkohol yang di bawa Faruq
ke rumah dari perjalanan akhir pekan ke Bahrain. Saat
memasukkan semua barang itu ke dalam tas kertas, aku
tersenyum dengan rencanaku.
Di Arab Saudi, masjid ada di setiap perkampungan,
karena pemerintah ingin menyediakan tempat ibadah
yang mudah dijangkau dengan berjalan kaki untuk setiap
Muslim laki-laki. Dengan perintah salat lima kali sehari,
para jamaah akan mudah menyempurnakan salat mereka
bila berada dekat dengan masjid. Meskipun salat bisa
dilakukan di mana saja sepanjang menghadap ke Makkah,
namun salat di masjid itu lebih balk.
Karena kami tinggal di distrik yang paling kaya,
kami memiliki masjid besar yang terbuat dari marmer.
Jam 2 siang, salat zuhur sudah selesai dilakukan; ini
waktu yang aman untuk menjalankan rencanaku tanpa
terlihat orang. Bahkan para ustad sedang tidur siang
akibat cuaca panas di Arab.
Dengan rasa takut Aku membuka pintu masjid, dan
mengintip hati-hati sebelum memasukinya. Karena belum
pakai cadar, aku pikir kehadiranku tidak akan banyak
mengundang rasa ingin tahu. Aku sudah menyiapkan
cerita bila aku tertangkap. Jika ditanya, aku akan
mengatakan aku mengejar anak kucingku yang lari masuk
ke halaman masjid.
Mengejutkan, masjid ini sejuk dan menarik. Aku tak
pernah masuk ke dalam bangunan besar ini. Tapi aku
pernah mengikuti ayah dan Faruq pergi salat beberapa
kali. Dari umur enam tahun, Faruq sudah dianjurkan
untuk melaksanakan salat lima kali sehari. Aku merasa
dadaku sesak akibat luka yang aku rasakan ketika melihat
ayah menggandeng Faruq dan membimbingnya dengan
bangga melewati pintu masuk masjid. Ayah selalu
meninggalkanku di sisi jalan, anak perempuan yang
57
direndahkan. Aku memandang mereka dengan sedih dan
marah.
Di negaraku, perempuan dilarang masuk ke dalam
masjid. Sekalipun Nabi Muhammad tidak melarang
perempuan salat di dalam masjid, ia menyatakan bahwa
lebih baik bagi perempuan untuk salat sendiri di rumah.
Akibatnya, tak seorang pun perempuan di Arab Saudi
diizinkan memasuki masjid.
Tak ada orang di sekitar sini, dengan tergesa-gesa
aku berjalan melintasi lantai marmer itu; bunyi sandalku
terdengar keras dan aneh. Aku meletakkan tas berisi
barang terlarang Faruq di ruang tangga menuju balkon
yang berisi pengeras suara tempat mengumandangkan
hadits-hadits Nabi ke seluruh kota, lima kali sehari. Jika
memikirkan kehebatan seruan mu'azin yang akan
memanggil umat untuk mendirikan salat, aku mulai
merasa bersalah dengan petualanganku. Namun kemudian
aku ingat senyuman menyeringai Faruq yang sombong
ketika ia mengatakan padaku bahwa Ayah membolehkan
dirinya mencambuk dan memukulku. Aku kembali ke
rumah dengan tersenyum puas. Biar Faruq menikmati
yang satu ini.
Malam harinya, sebelum ayah pulang dari kantor,
tiga mutawa (Polisi Syariah/hukum Islam) datang ke pintu
pagar rumah kami. Aku dan tiga orang pelayan Filipina
mengintip dari salah satu jendela lantai atas, melihat
mereka berteriak ke arah Omar dan membuat gerak
isyarat ke langit dan ke arah beberapa buku dan majalah
yang jelas-jelas tidak mereka sukai. Aku ingin tertawa,
namun berusaha menjaga agar wajahku kelihatan datar
dan serius.
Semua orang asing dan sebagian besar orang Saudi
takut pada mutawa karena mereka memiliki kekuasaan
yang besar, dan mereka mengamati setiap orang kalau
58
kalau ada gelagat kekurangan. Bahkan anggota keluarga
kerajaan berusaha menghindari perhatian mereka.
Dua minggu sebelum ini, salah satu pelayan Filipina
kami membuat marah beberapa mutawa karena memakai
rok pendek di pasar. Sekelompok mutawa melecutnya
dengan tongkat dan menyemprot kakinya yang tak
tertutup dengan cat merah. Walaupun pemerintah Arab
Saudi tidak mengizinkan turis memasuki negara kami, ada
banyak perempuan yang bekerja sebagai perawat,
sekretaris, atau pembantu rumah tangga di kota-kota
besar. Banyak dari perempuan ini merasa gusar pada
orang-orang yang memakai kata-kata Tuhan untuk
memandang rendah jenis kelamin perempuan. Jika
seorang perempuan berani menentang tradisi dengan
membiarkan tangannya atau kakinya terbuka, ia akan
mendapat risiko di cambuk dan disemprot dengan cat.
Pelayan kami ini merendam kakinya dalam cairan
penghapus cat, namun kakinya masih tetap merah dan
tampak kasar. Ia yakin bahwa entah bagaimana para
Polisi Syariah itu telah mengikutinya ke rumah dan
mereka sekarang akan memasukkannya ke penjara. Ia lari
untuk bersembunyi di bawah tempat tidurku. Aku ingin
mengatakan yang sebenarnya mengapa para Polisi
Syariah itu datang sekarang, tapi aku harus menjaga
rahasiaku meskipun dari seorang pelayan Filipina.
Omar benar-benar pucat ketika masuk rumah seraya
berteriak memanggil Faruq. Aku lihat Faruq dengan hatihati
berjalan ke arah pintu masuk dengan ujung kaki
kanannya diangkat dan tumit berusaha menjaga
keseimbangan tubuhnya. Aku mengikutinya bersama ibu.
Faruq sedang di ruang duduk, dan Omar menelpon,
menghubungi ayah di kantornya. Para mutawa sudah
pergi, memberikan Omar contoh barang selundupan: satu
majalah, beberapa slide, dan satu botol kecil minuman
59
keras. Sisanya mereka simpan sebagai barang bukti
kesalahan Faruq. Aku menatap Faruq dan melihat
wajahnya pucat ketika ia mengetahui 'harta karun rahasia'
nya ada di tangan Omar.
Melihat aku di sana, Omar menyuruhku
meninggalkan ruangan, tapi aku memegang erat rok ibuku
dan ia menepuk-nepuk kepalaku. Ibu pasti benci melihat
cara Omar memerintah anaknya dan ia menantang mata
Omar. Omar memutuskan untuk mengabaikan kami. Ia
menyuruh Faruq duduk, Ayah sedang dalam perjalanan
pulang dan para mutawa sudah pergi ke kantor polisi.
Faruq akan ditahan, ia mengatakannya dengan nyaring.
Kesunyian di ruangan itu muncul seperti ketenangan
sebelum prahara terjadi. Untuk sesaat aku merasa takut,
tapi kemudian Faruq kembali tenang dan membalas Omar,
ia mengatakan: 'Mereka tidak bisa menahanku, aku
adalah pangeran. Orang-orang agama yang fanatik itu tak
lebih dari serangga sial di kakiku.' Sekelebat pikiran
singgah di kepalaku bahwa penjara mungkin tidak akan
membuat Faruq lebih baik.
Bunyi rem mobil ayah menandakan ia sudah datang.
Dengan terburu-buru ia masuk ke dalam rumah dengan
menahan amarah. Ia mengambil barang-barang terlarang
itu satu persatu. Ketika ia melihat majalah itu, ia melihat
marah ke Faruq. Ia hanya menyingkirkan minuman keras
itu dengan jijik, karena semua pangeran memiliki
minuman keras di rumah mereka. Tapi ketika ayah
memegang slide itu dan mendekatkannya ke lampu, ia
berteriak padaku dan ibuku agar meninggalkan ruangan.
Kami bisa mendengar ia menampar Faruq dengan
tangannya.
Bagaimanapun, ini adalah hari yang buruk bagi
Faruq.
Para mutawa berfikir pasti lebih baik menelpon polisi
60
untuk menangkap salah seorang anak keluarga kerajaan,
karena tak lama kemudian mereka kembali dengan sedikit
kemarahan orang yang saleh. Bahkan ayahpun merasa
kesulitan menghadapi para mutawa ini saat meminta maaf
atas slide yang menggambarkan persetubuhan perempuan
dengan hewan.
Itu terjadi tahun 1968, dan Raja Faisal tidak
setoleran kakaknya yang tertua, Raja Saud, terhadap
kelakuan tak senonoh pangeran-pangeran muda. Para
mutawa merasa mereka berada dalam posisi sangat
berkuasa, karena mereka dan ayah tahu bahwa paman
nya, sang Raja, akan sangat tersakiti jika isi slide itu
menjadi pengetahuan umum. Ketakutan para mutawa
memiliki kaitan dengan rangkaian modernisasi yang
terjadi saat itu di negeri kami. Raja Faisal terus
mengingatkan saudara-saudaranya dan keponakankeponakannya
agar mengawasi anak-anak mereka untuk
menghindari kemarahan para Polisi Syariah terhadap
kepala keluarga kerajaan yang memerintah. Raja
meyakinkan para tetua agama bahwa ia sedang
memimpin negara ini ke arah modernisasi yang
diperlukan, bukan ke Westernisasi yang merendahkan,
mengambil yang terbaik dari Barat, bukannya yang
terjelek. Para mutawa melihat bukti dekadensi Barat
dalam perilaku keluarga kerajaan. Koleksi slide Faruq
membuktikan pada mereka tentang kabar burung yang
mengatakan menurunnya kualitas keluarga kerajaan.
Kami mendengar para mutawa berdebat lama
sampai tengah malam tentang hukuman yang pantas
untuk seorang pangeran. Faruq beruntung termasuk
anggota keluarga kerajaan Saud. Para mutawa tahu
bahwa tak satupun pengeran dari keluarga kerajaan akan
dituntut di dalam sistim pengadilan negara, kecuali Raja
memberikan restunya. Namun perstiwa seperti itu jarang
61
terjadi. Tapi jika Faruq berasal dari keluarga biasa atau
anggota masyarakat asing, ia akan mendapat hukuman
penjara yang lama sekali.
Kami sekeluarga semuanya tahu tentang kisah sedih
saudara laki-laki sopir Filipina kami. Empat tahun yang
lalu, kakaknya yang bekerja pada sebuah perusahaan
Italia untuk pembangunan di Riyadh, ditangkap karena
memiliki film porno. Laki-laki malang itu sekarang
menjalani hukuman penjara selama tujuh tahun. Tidak
hanya merana di dalam penjara, namun ia juga mendapat
sepuluh cambukan setiap hari Jumat. Sopir kami, yang
mengunjungi saudaranya setiap sabtu, menangis ketika ia
mengatakan kepada Faruq setiap kali melihat kakaknya
yang malang dengan punggung, dari leher sampai kaki,
menghitam akibat cambukan itu. Ia takut kakaknya tak
akan bisa bertahan hidup lagi di tahun berikutnya.
Sial bagi Faruq, kesalahannya terpampang dengan
jelas karena namanya nyata-nyata tertulis pada setiap
barang terlarang itu. Akhirnya kompromi pun dibuat: Ayah
memberi sejumlah besar uang untuk masjid, dan Faruq
harus hadir di masjid setiap salat lima waktu setiap hari
untuk membuat senang para ulama, termasuk Allah. Para
mutawa tahu bahwa hanya sedikit pangeran muda
keluarga kerajaan yang pergi ke masjid setiap harinya,
dan itulah mengapa hukuman seperti itu akan merupakan
sesuatu yang menjengkelkan bagi Faruq. Ia diharuskan
melapor ke kepala mutawa di masjid kami lima kali sehari
selama setahun berikutnya. Ia hanya diizinkan tidak
datang bila keluar kota. Sebelumnya Faruq biasa tidur
sampai jam sembilan. Ia tidak suka bangun pagi untuk
salat subuh. Tambah lagi ia harus menulis seribu kali di
atas kertas resmi: 'Allah Maha Besar, dan aku telah
melawan perintahnya dengan mengikuti adat kebiasaan
Barat yang tidak bermoral dan buruk.' Sampai akhirnya,
62
Faruq disuruh mengungkapkan nama orang yang telah
memberinya slide dan majalah tersebut. Seperti biasa,
Faruq membawa majalah-majalah itu dari perjalanan ke
luar negeri dan setelah itu pangeran mendapatkannya
melalui pabean hanya dengan perintah sekilas lewat mata.
Padahal seorang bule yang berlagak seperti sahabat di
sebuah pesta telah menjual slide itu padanya, dan Faruq,
yang ingin sekali mengungkapkan nama penjahat asing itu
untuk meringankan tekanan pada dirinya, dengan gembira
memberikan nama dan alamat kantor bule itu pada para
mutawa. Kami kemudian mengetahui bahwa laki-laki itu
ditangkap, dicambuk dan dideportasi.
Aku merasa ngeri. Kelakar bodohku
mempermalukan seluruh keluarga dengan penghinaan
yang menyakitkan. Aku tidak menyangka bahwa pelajaran
itu akan membahayakan Faruq, mencoreng nama orang
tuaku, dan membuat orang lain yang tak berdosa ikut
terluka. Aku pun malu mengakui bahwa aku sangat
ketakutan bila kesalahanku ketahuan. Aku berdoa pada
Allah, jika Ia membiarkankanku tidak ketahuan sekali ini,
mulai sekarang dan selanjutnya, aku akan menjadi anak
yang baik.
Omar mengantar para mutawa keluar dari halaman
kami. Aku dan ibu menunggu ayah dan Faruq kembali ke
ruang duduk. Ayah menarik nafas keras dan menjepit
Faruq dengan lengan atasnya, mendorongnya menuju
lantai atas. Faruq melihat ke arahku dan pandangan kami
bertemu. Hanya sebentar, dan aku segera sadar bahwa
Faruq telah menyimpulkan akulah pelakunya. Parahnya,
Faruq tampak lebih terluka, bukannya marah.
Aku mulai terisak, karena aku merasa perbuatan
yang kulakukan buruk sekali. Ayah melihatku dengan
kasihan. Kemudian ia mendorong Faruq dan berteriak
bahwa ia telah merusak seluruh keluarga, termasuk anak
63
kecil yang tidak berdosa. Kali pertama dalam hidupku,
ayah datang padaku, memelukku dan berkata "jangan
khawatir".
Aku benar-benar merasa sangat sedih. Sentuhan
yang selama hidupku sangat kurindukan sekarang terasa
kosong, dan kegembiraan yang selama ini kubayangkan
rusak akibat hadiah yang kumenangkan dengan cara
salah.
Bagaimanapun, kelakuan burukku benar-benar
mengenai target. Belum lagi apa yang sebelumnya
kulakukan: melukai jari kaki Faruq atau memasukkan ikat
kepala Faruq ke toilet. Satu dosa lebih berat daripada
dosa lainnya, sehingga keduanya saling membatalkan.
64
6
Meskipun baru saja terjadi kekacauan dalam keluarga,
perjalanan ke Italia dan Mesir tetap direncanakan, namun
hatiku tak lagi dipenuhi kegembiraan. Aku sedang
mempersiapkan isi koperku ketika aku melihat Faruq
berjalan dengan susah payah dan hati-hati melewati pintu
kamar tidurku. Dulu, aku selalu dianggap sebagai anak
kecil yang layak dicemooh, dibenci atau kadang-kadang
diserang seseorang yang sangat tidak berharga. Sekarang
ia melihatku dengan cara berbeda. Ia mulai sadar bahwa,
meski aku seorang perempuan termuda yang dianggap
rendah, aku adalah orang yang berbahaya dan lawan yang
layak dipertimbangkan.
Di hari keberangkatan, kami pergi ke bandara
dengan menggunakan enam buah limosin. Kami semua
berjumlah sebelas orang: Nura dan Ahmed, dengan tiga
dari lima orang anaknya; dua pelayan Filipinanya; Sara
dan aku sendiri; serta Faruq dan seorang temannya Hadi.
Kami akan bepergian selama sebulan.
65
Hadi adalah pelajar Institute Agama di Riyadh, sebuah
sekolah bagi anak laki-laki yang ingin menjadi
mutawa. Hadi lebih tua dua tahun dari Faruq. Hadi
memukau orang-orang dewasa dengan kemampuannya
mengutip ayat-ayat Alquran dan bertindak sangat alim.
Ayahku merasa Hadi bisa memberi pengaruh baik kepada
anaknya. Di mata para pendengarnya, Hadi memiliki
pandangan bahwa semua perempuan seharusnya di
rumah; ia mengatakan kepada Faruq bahwa perempuan
adalah penyebab kejahatan di bumi ini.
Aku bisa katakan, perjalanan dengan Faruq dan Hadi
ini akan menyenangkan.
Ibu tidak ikut mengantar kami ke bandara. Karena
beberapa hari sebelumnya, ia tampak tak bergairah dan
sedih. Kurasa ia resah dengan perilaku memalukan Faruq.
Ia mengucapkan selamat jalan dari kebun dan
melambaikan tangannya kepada kami dari depan pagar.
Ia memakai cadar, tapi aku tahu air mata mengalir di
kedua pipinya. Aku merasa ibu tidak seperti biasanya.
Namun aku tak memiliki cukup waktu untuk memikirkan
kemungkinan sebabnya, karena aku begitu gembira
membayangkan perjalanan yang akan kami lakukan.
Ahmed baru saja membeli pesawat baru, sehingga
penerbangan kami adalah penerbangan keluarga. Aku
mencari tahu apakah yang menerbangkan pesawat adalah
dua orang Amerika yang dulu menjadi pilot waktu aku dan
ibu pergi ke Jeddah; aku kecewa ternyata bukan mereka.
Di kokpit, dua pilot Inggris, dan mereka cukup
bersahabat. Keluarga kerajaan mempekerjakan sejumlah
orang Amerika dan Inggris sebagai pilot pribadi. Ahmed
sedang berbicara dengan kedua pilot itu sementara Nura
dan pelayannya duduk bersama dengan tiga anaknya.
Sara, dengan cadar yang sudah dibuka dan siap masuk ke
dalam selimut, memegang bukunya yang sangat
66
berharga.
Hadi memandang dengan rasa tak suka pada
wajahnya yang tak ditutupi, dan berbisik marah pada
Faruq, yang akhirnya menyuruh Sara memakai cadarnya
hingga kami meninggalkan Arab Saudi. Sara berkata pada
Faruq bahwa ia tidak bisa membaca melalui kain tebal
penutup mukanya, dan kalau memang cukup cerdas,
sebaiknya ia diam saja.
Bahkan sebelum tinggal landas sudah muncul
percekcokan. Aku mencoba menginjak kaki Faruq yang
terluka tapi meleset, dan Faruq melayangkan pukulan ke
arah kepalaku; aku menunduk, dan pukulan itu tak
mengena. Ahmed, sebagai laki-laki yang paling tua dan
berkuasa, berteriak agar semua duduk dan diam. Ia dan
Nura bertukar pandang, mempertimbangkan-ulang
undangan baik yang mereka berikan.
Tiga tempat suci Islam adalah Mekkah, Madinah dan
Yerusalem. Mekkah adalah kota yang menarik hati jutaan
kaum Muslim di seluruh dunia, karena di sanalah Allah
menurunkan pada Nabi Muhammad wahyu tentang dasardasar
kehidupan beragama kami, yakni lima rukun Islam,
yang disebut tiang agama. Salah satu rukun ini
mewajibkan pada setiap Muslim yang memiliki
kemampuan ekonomi untuk menunaikan ibadah haji.
Muslim yang baik baru merasa sempurna agamanya
apabila sudah berhaji ke Mekkah sekurangnya sekali
seumur hidup.
Kota suci kedua, Madinah, yang dianggap sebagai
'kota Nabi', merupakan tempat nabi dimakamkan. Dan
Yerusalem adalah kota suci ketiga. Di kota ini, tepatnya di
Masjidil Aqsa (Dome of the Rock), Nabi diangkat ke surga
oleh Allah. Umat Muslim mencucurkan air mata ketika
menyebut Yerusalem, karena tempat ini sekarang
diduduki, tak lagi bebas dan terbuka untuk mereka.
67
Jika Mekkah, Madinah dan Yerusalem adalah sumber
spiritual umat Muslim, Kairo adalah mahkota kebanggaan
dan kepercayaan diri umat Muslim. Kairo
merepresentasikan lima puluh abad masa kejayaan, dan
memberi orang Arab salah satu keajaiban peradaban
terbesar yang ada di muka bumi. Mesir adalah sumber
kebanggaan terbesar bagi seluruh orang Arab.
Dibandingkan kekuatan, kekayaan, dan prestasi orangorang
Mesir kuno, kekayaan minyak Teluk Arab modern
tampak tak berarti apa-apa.
Di Kairolah, kota yang tak pernah tidur, aku menjadi
seorang perempuan sesungguhnya. Dalam
kebudayaan Arab, yang banyak memberi perhatian pada
perubahan dari masa kanak-kanak hingga akil balikh,
setiap gadis kecil dengan harap-harap cemas menunggu
melihat darah pertama mereka. Aku terdiam terkejut,
ketika teman-teman bule-ku bercerita bahwa mereka tak
tau apa yang terjadi ketika haid pertama mereka datang,
dan mereka yakin mereka akan mati. Di dunia Muslim,
mendapat menstruasi pertama adalah percakapan yang
sangat biasa. Secara tiba-tiba, ketika hal itu terjadi,
seorang gadis kanak-kanak berubah menjadi perempuan
dewasa. Tak ada jalan untuk kembali ke kepompong masa
kecil yang hangat dan tanpa dosa.
Di Arab Saudi, mendapat menstruasi pertama berarti
saatnya untuk memilih abaya dan cadar pertama dengan
sangat teliti. Bahkan penjaga toko, yang biasanya seorang
laki-laki Muslim India atau Pakistan, dengan senang dan
penuh hormat menanyakan saat seorang gadis kecil
berubah menjadi perempuan dewasa. Dengan segala
kesungguhan hati, penjaga toko akan tersenyum ramah,
dan membantu memilihkan abaya dan cadar demi
penampilan terbaik seorang perempuan muda.
Meskipun hitam adalah satu-satunya warna cadar,
68
ada banyak pilihan kain dan berat ringannya bahan. Cadar
bisa terbuat dari bahan yang tipis, membuat dunia bisa
melihat bayangan wajah yang terlarang. Kain dengan
berat sedang lebih praktis, karena orang bisa melihat
melalui kain tipis tanpa mendapat pandangan kasar atau
teguran tajam dari para penjaga agama. Jika seorang
perempuan memilih kain hitam tebal tradisionil, tak
seorang laki-lakipun dapat membayangkan rupa wajah
yang berada di balik topeng, yang tak akan bergerak
diterpa angin. Tentu saja, dengan memilih kain seperti itu,
sulit melihat-lihat perhiasan di pasar emas atau melihat
mobil yang bergerak cepat menjelang malam. Di samping
cadar tradisionil yang berat ini, beberapa perempuan
konservatif menggunakan sarung tangan hitam dan
stoking hitam tebal sehingga tak ada bagian tubuh yang
bisa dibayangkan.
Bagi perempuan yang ingin mengekspresikan
kepribadian dan selera fashion, ada cara-cara penyesuaian
yang tak ada habisnya melalui desain-desain kreatif.
Banyak yang membeli syal dengan dekorasi permata. Dan
gerakan perhiasan kecil akan membuat sebagian besar
pria menoleh. Dekorasi-dekorasi mahal yang menyolok
sering dijahitkan ke sisi-sisi dan belakang abaya.
Perempuan muda, khususnya, berjuang untuk
menciptakan gayanya sendiri dengan pilihan-pilihan unik
mereka. Laki-laki penjaga toko akan memperagakan
pakaian-pakaian dari disainer fashion abaya dan cadar
yang paling mutakhir dan memamerkan pada gadis-gadis
muda cara mengenakan syal ke kepala untuk
menghasilkan corak fashion yang bagus. Penjaga toko
juga akan menunjukkan cara mengikatkan abaya
sehingga bagian kaki yang diizinkan terbuka tidak
dianggap beresiko. Setiap gadis muda mencoba-coba
sendiri menemukan cara memakai abayanya berdasarkan
69
kemampuan mereka.
Masuk toko sebagai gadis, saat keluar menjadi seorang
perempuan muda dewasa yang bercadar, dan saat
itu ia memasuki usia pantas menikah. Kehidupannya
berubah dalam hitungan detik. Laki-laki Arab jarang yang
mau memandang ke seorang gadis yang masuk ke toko,
namun ketika keluar dengan memakai cadar dan abaya,
diam-diam gadis itu akan diperhatikannya.
Seorang laki-laki akan berusaha mencuri pandang ke
bagian terlarang, pergelangan kaki yang erotis. Dengan
cadar, kami perempuan Arab menjadi sangat menggiurkan
dan diinginkan oleh laki-laki Arab.
Tapi aku sekarang sedang di Kairo, bukan di rumah
di Arab Saudi, sehingga dampak dari menstruasi
pertamaku tidak terlalu menggangguku. Sara dan Nura
mengajarkan segala sesuatu yang harus dilakukan
perempuan. Mereka berdua mengingatkanku untuk tidak
bercerita pada Faruq, karena mereka tahu Faruq akan
memaksaku langsung memakai cadar, meskipun di Kairo.
Sara memandangku dengan sedih dan memelukku
lama sekali. Ia tahu bahwa mulai hari ini aku akan
dianggap sebagai ancaman dan bahaya bagi semua lakilaki
sampai aku menikah dan hidup terkurung di balik
dinding.
Di Kairo, Ahmed memiliki sebuah apartemen mewah
berlantai tiga di pusat kota. Kamar pribadi Ahmed dan
Nura ada di lantai paling atas. Dua pelayan Filipina, tiga
anak-anak Nura, Sara dan aku tinggal di lantai dua. Faruq,
Hadi dan penjaga rumah, seorang Mesir, tinggal di lantai
bawah. Aku dan Sara berpelukan senang ketika tahu kami
tidak selantai dengan Faruq dan Hadi.
Pada malam pertama, Ahmed, Nura, Hadi dan Faruq
berrencana pergi ke klab malam untuk menonton tari
70
perut. Menurut Ahmed, Sara dan aku harus tinggal di
rumah bersama para bayi dan pelayan Filipina. Sara tidak
protes, tapi aku memohon dengan sangat sehingga
Ahmed merasa kasihan.
Pada usia empat belas tahun, aku dengan gembira
datang ke negeri para Fir'aun dan menyatakan Kairo
sebagai kota favoritku. Cinta pada Kairo tak pernah
diragukan lagi. Kehebatan kota ini memabukkanku dengan
hasrat yang tak pernah kurasakan sebelumnya, dan
perasaan itu tak pernah bisa kujelaskan sampai hari ini.
Laki-laki dan perempuan dengan berbagai macam warna
kulit dan pakaian memenuhi jalan-jalan, mencari
petualangan dan kesempatan. Aku merasa hidupku
sebelum ini sangat kering, tanpa gairah. Menurutku, kota
Kairo sangat bertolak belakang dengan kota-kota di
Arabia, yang tandus dan tak hidup.
Ada kemiskinan yang mengganggu ketenangan, namun
itu tak segera menyurutkan hatiku, karena aku
melihat di dalamnya kekuatan hidup yang amat sangat
besar. Kemiskinan bisa mengubah orang menjadi lebih
bersemangat untuk melakukan perubahan dan revolusi.
Tanpa keadaan seperti itu umat manusia akan sampai
pada perhentian. Perhatianku tertoleh kembali ke Arab
Saudi dan menyadari bahwa beberapa kadar kemiskinan
seharusnya merembes ke dalam kehidupan kami dan
memaksa kami memperbaharui kehidupan spiritual.
Memang, ada banyak tingkat kelas masyarakat di
negeriku, mulai dari keluarga kerajaan yang terkaya
sampai para pekerja dengan gaji terendah. Tapi
semuanya, termasuk pekerja-pekerja asing, hidup tanpa
kekurangan dan semua kebutuhan dasar mereka
terpenuhi.
Pemerintah kami menjamin kesejahteraan semua
penduduk. Setiap warga negara laki-laki mendapatkan
71
jaminan rumah, kesehatan, pendidikan, bisnis, pinjaman
bebas bunga dan bahkan uang untuk makanan, dan
berbagai keperluan tambahan. Warga negara perempuan
ditanggung oleh laki-laki di dalam keluarga mereka,
apakah itu ayah, suami, saudara laki-laki atau sepupu.
Akibat tercukupinya kebutuhan dasar adalah
kurangnya semangat hidup di negeriku yang ditimbulkan
oleh keinginan materi. Itulah mengapa aku tak yakin jika
pagina-pagina sejarah bisa menyentuh negeriku. Kami
orang Saudi terlalu kaya, terlalu mapan dan apatis untuk
sebuah perubahan. Ketika kami berkeliling di kota Kairo
yang sibuk, aku mengutarakan pandanganku ini ke
keluargaku, tapi aku lihat hanya Sara yang mendengarkan
dan memahami esensi pemikiranku.
Matahari mulai tenggelam, dan langit mulai
berwarna keemasan di atas piramida-piramida. Aliran
lambat sungai nil memberi nafas kehidupan pada seluruh
kota dan padang pasir. Melihat itu, aku merasa kehidupan
menyeruak melalui urat nadiku.
Faruq dan Hadi sangat marah karena Sara dan aku
dua perempuan yang belum menikah diizinkan ikut ke
klab malam. Hadi berbicara panjang lebar dan serius pada
Faruq tentang kemunduran nilai-nilai keluarga kami. Ia
mengungkapkan dengan sangat puas bahwa saudarasaudara
perempuannya telah menikah pada usia empat
belas tahun, dan mereka dijaga secara penuh oleh lakilaki
di keluarganya. Ia mengatakan bahwa, sebagai polisi
syariat, dirinya harus protes pada ayah kami sekembali
dari perjalanan ini. Sara dan aku, karena jauh dari Riyadh,
berani menghadapinya dan mengatakan bahwa ia (Hadi)
belum lagi menjadi polisi syariat. Kami katakan ini
padanya, dalam bahasa popular yang kami pelajari dari
menonton film-film Amerika, 'untuk menyelamatkannya'.
Mata Hadi melotot ke penari-penari itu, dan
72
mengucapkan kata-kata kotor ke bagian-bagian tubuh
mereka. Kemudian ia bersumpah pada Faruq bahwa
mereka itu adalah pelacur, dan bila diperbolehkan, ia akan
melemparinya dengan batu. Hadi itu seorang bodoh yang
angkuh. Bahkan Faruq capek pada sikapnya yang sok alim
dan mulai mengetuk-ngetukkan jari-jarinya ke meja
dengan tak sabar dan melihat ke sekeliling ruangan.
Setelah komentar dan sikap Hadi, giliran aku yang
terkejut dengan tindakannya di hari berikutnya.
Ahmed menyewa sopir untuk mengantar Nura, Sara
dan aku berbelanja. Ahmed pergi menghadiri pertemuan
bisnis. Penjaga rumah, yang juga sopir, mengantar kedua
pelayan Filipina dan ketiga anak-anak Nura ke kolam
renang di Hotel Mena House. Ketika kami meninggalkan
apartemen, Faruq dan Hadi sedang bermalas-malasan,
letih karena acara semalam.
Panas yang sangat terik membuat Sara cepat lelah.
Aku tawarkan untuk kembali ke apartemen dan
menemaninya sementara Nura menyelesaikan belanja.
Nura setuju, ia menyuruh sopir mengantar kami, dan
kembali lagi nanti untuk menjemputnya.
Ketika kami memasuki apartemen, kami mendengar
jeritan tertahan. Sara dan aku mengikuti suara itu yang
ternyata berasal dari ruangan Faruq dan Hadi. Pintunya
tak terkunci, dan kami segera tahu apa yang sedang
terjadi di depan mata kami. Hadi sedang memperkosa
seorang gadis kecil, umurnya tak lebih dari delapan tahun,
dan Faruq memegangi gadis kecil itu. Darah ada di manamana.
Faruq dan Hadi malah tertawa.
Melihat pemandangan yang traumatis ini, Sara
menjadi histeris dan mulai berteriak dan lari. Wajah Faruq
sangat marah ketika ia mendorongku keluar dari ruangan,
yang membuatku jatuh ke lantai. Aku mengejar Sara.
Kami duduk berdekatan di dalam kamar.
73
Ketika aku tak tahan lagi mendengar suara teror itu,
yang terdengar sampai ke kamar kami, aku mengendapendap
ke ruang tangga. Dengan putus asa aku mencoba
memikirkan perbuatan itu dan pada saat yang sama bel
berbunyi. Aku lihat Faruq membuka pintu menemui
seorang perempuan Mesir berumur kira-kira empat puluh
tahun. Ia memberi perempuan itu lima belas poun Mesir
dan bertanya apakah ia masih punya anak gadis.
Perempuan itu menjawab ya, dan akan kembali besok.
Hadi mengantar anak yang sedang menangis itu. Sang
ibu, tanpa menunjukkan emosi apa pun, meraih anak itu,
yang berjalan pincang dengan air mata mengalir deras di
wajahnya.
Ahmed tidak nampak terkejut ketika Nura, dengan
marah, menceritakan padanya tentang peristiwa itu. Ia
mengerutkan bibirnya dan berkata akan mencari tahu detil
kejadiannya. Kemudian ia mengatakan pada Nura bahwa
ibu anak itu sendiri yang menjual anaknya, sehingga tak
ada yang bisa ia lakukan.
Meskipun tertangkap basah dalam tindakan yang
memalukan, Faruq dan Hadi bersikap seolah-olah tak
terjadi apa pun. Ketika aku mengejek Hadi dan bertanya
padanya bagaimana ia bisa menjadi polisi syariat, ia
tertawa di hadapan wajahku. Aku berbalik ke Faruq dan
mengatakan padanya bahwa aku akan mengadukannya ke
ayah karena telah menyerang gadis kecil. Tetapi ia
tertawa bahkan lebih keras dari Hadi. Ia mencondongkan
wajahnya ke arahku dan berkata: 'Katakan saja! aku tak
peduli!' Kata Faruq, justru ayah yang memberinya nama
agen yang bisa dihubungi untuk mendapatkan pelayanan
seperti itu. Ia tersenyum dan mengatakan gadis kecil lebih
menyenangkan, apalagi, katanya, ayah selalu melakukan
hal itu saat pergi ke Kairo.
Aku merasa tersengat listrik; pikiranku terbakar,
74
mulutku ternganga, dan aku menatap kosong pada
saudara laki-lakiku itu. Yang terpikir pertama olehku:
semua laki-laki adalah iblis. Aku ingin menghapus
ingatanku tentang hari itu dan masuk kembali ke masa
kecilku yang lugu. Aku perlahan berjalan menjauh. Aku
menjadi takut akan apa yang mungkin aku temui
selanjutnya dalam dunia laki-laki yang kasar.
Aku masih menghargai Kairo sebagai kota
pencerahan, tapi kerusakan yang disebabkan oleh
kemiskinan menyebabkan aku berfikir ulang tentang
pandanganku sebelumnya. Kemudian masih di minggu itu,
aku melihat ibu Mesir itu kembali mengetuk pintu dengan
seorang gadis kecil lain dalam gandengannya. Aku ingin
bertanya padanya, sekadar ingin tahu, mengapa seorang
ibu bisa menjual anaknya. Ia melihat tatapanku yang
menusuk dan penuh tanya, ia kemudian buru-buru pergi.
Aku dan Sara berbincang dengan Nura selama beberapa
jam tentang fenomena itu, dan dengan menarik
nafas panjang Nura menceritakan bahwa kata Ahmed cara
hidup seperti itu terjadi di banyak negara. Saat aku
berteriak dengan marah bahwa aku lebih baik menderita
kelaparan daripada menjual anakku, Nura setuju; tapi ia
berkata, mudah berbicara seperti itu ketika perutmu
sedang tidak perih kelaparan.
Kami tinggalkan Kairo dan kesengsaraannya. Sara
akhirnya memiliki kesempatan untuk merealisasikan
impiannya tentang Italia. Apakah wajahnya yang berseriseri
seimbang dengan luka yang didapatnya untuk bisa
datang ke sini? Dengan berkhayal ia menyatakan bahwa
kenyataan sedang membumbung tinggi di atas fantasifantasinya.
Kami mengelilingi kota Venice, Florence dan Roma.
Keriangan dan tawa dari orang-orang Italia masih
terngiang di telingaku. Aku pikir kecintaan mereka pada
75
hidup adalah salah satu berkah terhebat dunia, jauh
melebihi kontribusi mereka pada seni dan arsitektur.
Karena lahir di negeri yang murung, aku terhibur
dengan pikiran tentang sebuah bangsa yang tak
memahami dirinya terlalu serius.
Di Milan, Nura menghabiskan banyak uang dalam
hitungan beberapa hari, padahal orang lain butuh seumur
hidup untuk mendapatkannya. Seolah-olah ia dan Ahmed
berbelanja gila-gilaan, dengan keinginan yang sangat kuat
untuk mengisi suatu kekosongan dalam hidup mereka.
Faruq dan Hadi menghabiskan waktunya dengan
membeli perempuan, karena jalan-jalan di Italia, siang
malam, dipenuhi oleh perempuan-perempuan muda yang
tersedia bagi mereka yang mampu membayar. Aku
melihat Faruq seperti kukenal, seorang laki-laki muda
yang egois, yang hanya memerhatikan kesenangannya.
Tapi Hadi jauh lebih jahat, karena ia membeli perempuan
dan kemudian mengutuk mereka karena perbuatan
mereka. Ia menginginkan mereka, tetapi sekaligus
membenci mereka. Ia membenci sistim yang membebaskan
mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan.
Bagiku, kemunafikan Hadi adalah esensi sifat jahat lakilaki.
Ketika pesawat kami mendarat di Riyadh, aku mempersiapkan
diriku untuk keadaan yang lebih tak
menyenangkan. Dengan usia empat belas tahun, aku
sekarang dianggap perempuan dewasa, dan takdir yang
berat sudah menungguku. Betapapun sulitnya masa
kecilku, aku sangat ingin kembali ke masa itu dan tak
ingin beranjak pergi. Aku yakin hidupku sebagai
perempuan yang akil baliq akan merupakan perjuangan
abadi melawan aturan sosial negeriku, yang
mengorbankan kaum perempuan.
Ketakutan akan masa depan membuat wajahku
76
pucat. Sampai di rumah, aku menemukan ibu sedang
sekarat.
77
7
Satu-satunya kepastian dalam hidup kita adalah
kematian. Sebagai orang yang percaya pada kata-kata
Nabi Muhammad, ibuku tidak takut pada kematian. Ia
menjalani hidup saleh sebagai Muslim yang baik dan tahu
bahwa pahala telah menunggunya. Duka cita dan
ketakutannya bercampur mengingat beberapa anak
perempuannya belum menikah. Ia adalah kekuatan kami,
satu-satunya pendukung kami, dan ia tahu bahwa kami
akan terombang ambing diterpa angin setelah
kepergiannya.
Ibu mengaku, hidupnya hampir berakhir bahkan
ketika kami masih dalam perjalanan. Ibu tidak tahu
alasannya kecuali tiga mimpi aneh yang datang dalam
tidurnya.
Orangtua ibuku meninggal akibat demam ketika ibu
masih berumur delapan tahun. Sebagai satu-satunya anak
perempuan, ibu merawat orang tuanya selama sakit.
Mereka berdua nampak sudah pulih ketika, di tengah
78
tengah badai pasir, ayah dari ibuku (kakek) setengah
bangkit dari pembaringan, dan tersenyum ke langit,
sambil mengucapkan kata-kata 'aku melihat taman' dan
kemudian meninggal. Sedangkan ibu dari ibuku (nenek)
meninggal tak lama setelah itu tanpa mengungkapkan
isyarat kesaksian yang telah menunggu. Ibuku kemudian
diasuh empat kakak laki-lakinya, menikah dengan ayahku
pada usia yang sangat muda.
Kakek adalah orang yang menyenangkan dan balk.
Ia mencintai anak perempuannya sebagaimana ia
mencintai anak laki-lakinya. Ketika laki-laki lain kesal
dengan kelahiran anak perempuan, kakek tertawa dan
mengatakan pada mereka agar bersyukur pada Allah atas
karunia Nya, yang memberikan sentuhan lembut dalam
rumah mereka. Ibu mengatakan ia tak akan menikah di
usia yang sangat muda jika kakek masih hidup. Kakek
pasti akan memberinya waktu untuk menikmati
kebebasan masa kecil; ibu sangat yakin akan itu.
Sara dan aku duduk di samping ibu ketika ibu
dengan terbata-bata menceritakan mimpinya yang
mengganggu itu. Mimpi pertamanya datang empat malam
sebelum kami menerima berita tentang usaha bunuh diri
Sara.
'Aku berada di dalam tenda badui, tenda itu sama
dengan tenda keluarga di masa kecilku. Aku terkejut
melihat ibu dan ayahku, muda dan sehat, duduk di
samping pembakaran kopi. Aku mendengar kakak lakilakiku
di kejauhan sedang berjalan pulang dari
menggembala domba. Aku tergopoh-gopoh mendatangi
orang tuaku, tapi mereka tak bisa melihatku, juga tidak
bisa mendengarku ketika aku berteriak memanggil nama
mereka.
'Dua dari kakak laki-lakiku, yang sekarang sudah
meninggal, masuk ke tenda dan duduk bersama
79
orangtuaku. Kakak-kakakku menyesap susu unta yang
masih hangat dari sebuah gelas kecil, sementara ayahku
menumbuk biji kopi. Mimpi itu berakhir ketika ayah
mengutip sebuah syair tentang Surga yang menunggu
seorang Muslim saleh. Syair itu sederhana, namun
menentramkan hatiku. Syair itu berbunyi:
Sungai mengalir tenang
Pohon-pohon rindang melindungi dari panas matahari
Buah-buahan berjatuhan
Susu dan madu berlimpah
Kekasih menunggu orang yang terperangkap di bumi.'
Mimpi berhenti di situ. Ibu berkata ia tak begitu
memikirkan mimpi itu, karena ia mengira itu pesan
menyenangkan dari Tuhan untuk meyakinkannya bahwa
orangtua dan keluarganya ada di surga.
Kira-kira seminggu setelah Sara pulang, ibu mendapatkan
mimpi kedua. Sekarang, semua keluarganya
yang sudah meninggal sedang duduk di bawah rindang
pohon palem. Mereka memakan makanan yang enak dari
piring perak. Tapi kali ini mereka melihat ibu. Kemudian
ayah ibu bangkit dan datang menyambutnya. Ia
menggamit ibu dan mengajaknya duduk dan makan.
Ibu mengatakan, dirinya takut dan mencoba pergi,
namun sang ayah memegangnya kuat-kuat. Ibu ingat
bahwa ia masih memiliki anak kecil yang harus dirawat
dan memohon kepada ayahnya untuk melepaskannya; ia
mengatakan kepada ayahnya bahwa ia tidak memiliki
waktu untuk duduk dan makan. Nenek kemudian berdiri
dan menyentuh bahunya dan berkata padanya: 'Fadila,
Allah akan menjaga anak-anakmu. Sudah saatnya kamu
80
meninggalkan mereka dalam penjagaan-Nya.'
Ibu terbangun dari mimpinya. Katanya ia langsung
tahu bahwa waktunya untuk tinggal di dunia sudah habis
dan ia akan segera pergi ke tempat orang-orang yang
telah mendahuluinya.
Dua minggu setelah kami pergi, ibu mulai merasa
sakit di punggung dan leher. Ia merasa pusing dan lemah.
Sakit itu adalah pesan bahwa ia tahu waktunya pendek. Ia
pergi ke dokter dan mengatakan tentang mimpinya itu
dan sakit barunya. Sang dokter menolak mimpi-mimpi itu
dengan mengibaskan tangan, tapi kemudian menjadi
serius mendengar penjelasan sakit ibu. Tes-tes khusus
segera menunjukkan bahwa ada sebuah tumor yang tak
dapat dibedah pada tulang belakangnya.
Mimpi ibu yang terakhir datang pada malam ketika
dokter mengkonfirmasikan keadaan sakitnya. Dalam
mimpi itu, ia sedang duduk dengan keluarganya yang
amat menyenangkan, makan dan minum dengan riang
dan bebas. Ia ditemani oleh orang tuanya, kakek dan
neneknya, saudara laki-laki dan sepupu-sepupunya
kerabat yang sudah lama meninggal. Ia tersenyum ketika
melihat seorang anak kecil merangkak di lantai dan
mengejar kupu-kupu di padang rumput. Ibunya
tersenyum padanya dan berkata: 'Fadila, mengapa kamu
tidak memerhatikan bayi-bayimu? Apakah kamu tidak
mengenali darah dagingmu?
Ibu segera menyadari bahwa mereka benar anaknya
mereka adalah anak-anaknya yang meninggal ketika
masih dalam kandungan. Mereka berkumpul dalam
pangkuan ibu, lima bayi yang sangat menyenangkan, dan
ibu mulai mengayun dan memeluk mereka erat.
Ibu pergi ke anaknya yang dulu hilang dan
meninggalkan anak yang ia kenal. Ia meninggalkan kami.
81
Syukur pada Allah, ibu meninggal dengan tenang.
Aku merasa, Tuhan melihat betapa ibu telah melewati
cobaan berat hidup sebagai orang saleh sehingga tidak
perlu lagi dilukai lagi dengan sakit sakratul maut.
Anak-anak perempuannya mengelilingi setiap inci
ranjang kematiannya ia terbaring diselimuti cinta darah
dagingnya. Matanya menatap kami satu persatu, tak ada
kata yang terucap, tapi kami bisa merasakan ucapan
selamat tinggalnya.
Ketika tatapannya berhenti di wajahku, aku melihat
kekhawatirannya terasa seperti badai, karena ia tahu
bahwa aku adalah anak yang keras hati, dan akan
mengalami hidup yang lebih berat dari yang sebelumnya.
Tubuh ibu dimandikan dan dipersiapkan untuk
dikembalikan ke tanah oleh bibi-bibi yang lebih tua. Aku
melihat ketika mereka membungkus tubuhnya yang kurus
dengan kain kapan putih, tubuh yang letih karena
melahirkan dan penyakit. Wajahnya tampak damai,
sekarang bebas dari kecemasan-kecemasan duniawi.
Menurutku, ibu tampak lebih muda dalam
kematiannya daripada saat ia masih hidup. Sulit bagiku
untuk percaya bahwa ia telah melahirkan enam belas
anak, dan sebelas orang yang bertahan hidup.
Keluarga dekat kami, bersama semua istri ayah
yang lain dan anak-anak mereka, berkumpul di rumah
kami, ayat-ayat Alquran dibaca untuk memberikan
ketenangan. Tubuh ibu yang sudah dibalut kain kafan
kemudian diletakkan di kursi belakang limosin hitam yang
dikemudikan oleh Omar.
Adat kami melarang perempuan pergi ke tempat
pemakaman, namun aku dan saudari-saudariku
menunjukkan wajah tak mau mundur pada ayah kami;
akhirnya ayah melunak dengan janji bahwa kami tidak
82
akan meratap atau membuka rambut kami. Dengan begitu
seluruh keluarga kami mengikuti mobil jenazah, kafilah
yang sedih dan membisu, menuju padang pasir.
Dalam Islam, menunjukkan kesedihan pada orang
yang meninggal mengindikasikan ketidakrelaan akan
kehendak Tuhan. Di samping itu, keluarga kami berasal
dari wilayah Najd, Arab Saudi, dan masyarakat kami tidak
menunjukkan duka cita ke masyarakat umum ketika
orang yang dicintai meninggal.
Kuburan digali dan dipersiapkan oleh pelayanpelayan
Sudan di tanah kami yang sangat luas. Tubuh ibu
perlahan diturunkan, dan kain yang menutupi wajahnya
dibuka oleh Faruq, satu-satunya anak laki-laki ibu.
Kakak-kakak perempuanku berkumpul jauh dari
tempat istirahat terakhir ibu, tapi mataku tidak bisa lepas
dari kuburan itu. Aku adalah anak terakhir yang lahir dari
tubuhnya; aku akan tetap mengawasi hingga kain kafan
terakhir terlihat. Aku menarik diri ketika aku melihat para
budak menutupkan pasir merah ke tubuh dan wajahnya.
Ketika aku melihat pasir menutupi wajah orang yang
sangat kucintai, aku mendadak ingat syair indah filsuf
besar Libanon, Kahlil Gibran: 'barangkali pemakaman di
antara manusia adalah pesta perkawinan di antara
malaikat.' Aku membayangkan ibu berada di sisi ibu dan
ayahnya, dengan anak-anaknya berada di pelukan. Tentu
saja pada suatu saat nanti aku juga akan merasakan
sentuhan kasih ibu seperti itu. Aku berhenti menangis dan
berjalan ke arah saudari-saudariku, mengejutkan mereka
dengan senyum riang dan tenang. Aku mengutip syair
hebat itu yang dikirim Tuhan untuk menghapus lukaku,
dan kakak-kakakku mengangguk sangat paham akan
kata-kata bijak Kahlil Gibran.
Kami meninggalkan ibu di bentangan luas padang
pasir yang kosong. Tak lagi penting, apakah ada batu
83
nisan atau tidak, atau doa hikmat yang mengungkapkan
cinta dan kesederhanaan perempuan itu selama hidupnya.
Yang pasti, sekarang ia dengan anak-anaknya yang lain,
menunggu kami di sana.
Faruq juga tampak kehilangan, dan aku tahu
lukanya juga sangat mendalam. Ayah tak banyak bicara
dan tak datang ke rumah kami sejak ibu meninggal. Ia
mengirim pesan-pesan pada kami melalui istri kedua,
yang sekarang menggantikan ibu sebagai pemimpin istriistrinya.
Dalam sebulan, kami tahu dari Faruq bahwa ayah
sedang bersiap untuk menikah lagi, karena empat istri
sudah umum, apakah itu untuk laki-laki badui yang sangat
kaya atau sangat miskin. Alquran mengatakan bahwa
setiap istri harus diperlakukan sama dengan yang lain.
Tak sulit memenuhi keadilan untuk empat istri dengan
kemakmuran Arab Saudi. Seorang badui termiskin hanya
perlu mendirikan empat tenda dan menyediakan makanan
sederhana. Dengan alasan ini, Anda akan menemukan
banyak Muslim yang paling kaya atau paling miskin
memiliki empat istri. Hanya masyarakat Saudi kelas
menengah yang harus berkomitmen dengan satu orang
perempuan, karena tidak mungkin baginya mendapatkan
biaya untuk menyediakan tempat dengan standar kelas
menengah bagi empat keluarga secara terpisah.
Ayah berencana menikahi Randa, salah satu sepupu
keluarga kerajaan, teman bermainku di masa kecil.
Pengantin baru ayah berumur lima belas tahun, hanya
setahun lebih tua dariku, anak terkecilnya dari ibuku.
Empat bulan setelah pemakaman ibu, aku menghadiri
pernikahan ayahku. Aku tentu saja menolak bergabung
dalam pesta, aku diliputi oleh perasaan marah dan
dendam yang tertahan. Setelah melahirkan enam belas
anak dan bertahun-tahun mengabdi dengan patuh,
84
kenangan tentang ibu dengan gampang dilupakan oleh
ayah.
Tidak hanya geram pada ayah, aku juga merasa
benci pada Randa, teman bermainku dulu. Sekarang ia
akan mejadi istri keempat, mengisi ruang kosong yang
ditinggalkan oleh ibuku yang wafat.
Pernikahan yang megah, pengantin wanitanya muda
dan cantik. Kemarahanku pada Randa hilang ketika
ayahku membimbingnya dari ruang pesta yang sangat
besar ke ranjang pengantin. Mataku terbelalak ketika
melihat wajah Randa yang ketakutan. Bibirnya gemetar
karena takut! Pada saat itu juga kemarahanku yang
dahsyat menghilang, tanda keputusasaan Randa sangat
jelas dan itu mengubah kemarahanku menjadi rasa
simpati yang lembut.
Aku malu dengan rasa permusuhanku, karena
kulihat Randa adalah bagian dari kami para perempuan,
yang tak berdaya di hadapan dominasi kuat laki-laki
Saudi.
Ayah pergi berbulan madu bersama pengantin
perawannya ke Paris dan Monte Carlo. Dengan
perasaanku yang telah berubah, aku menunggu Randa
kembali, dan selama hidup aku berjanji untuk
menyadarkan istri baru ayah tentang cita-cita kebebasan
perempuan di negeri kami. Aku tidak saja akan memberi
tantangan dan mimpi akan kekuatan baru bagi Randa.
Aku juga akan melukai ayah dengan kesadaran spiritual
dan kebijaksanaan istri mudanya. Aku tak bisa memafkan
ayah yang dengan mudah melupakan perempuan
menakjubkan, ibuku.
85
8
Sekembali dari bulan madu, ayah dan Randa pindah ke
rumah kami. Meskipun ibu sudah meninggal, anakanaknya
yang masih muda tetap tinggal di rumah ayah,
dan istri barunya diharapkan mengambil tugas-tugas ibu.
Karena sebagai anak terkecil, umurku hanya terpaut satu
tahun lebih muda dari Randa, adat itu tampak
menggelikan. Bagaimanapun di Arab Saudi, tak ada ruang
manufer atau perubahan untuk menyesuaikan keadaan
seseorang, sehingga begitu Randa masuk ke rumah kami,
ia harus bertindak sebagai perempuan dewasa dan
menjadi nyonya di rumah kami yang besar.
Randa kembali dari bulan madunya, diam nyaris tak
bersemangat. Ia jarang bicara, tak pernah tersenyum, dan
masuk ke rumah seolah-olah ia akan menyebabkan luka
dan kerusakan. Ayah tampak senang dengan barang
barunya, karena ia menghabiskan banyak waktu di ruang
terpisah bersama dengan istri mudanya itu.
Setelah tiga minggu perhatian ayah seutuhnya untuk
86
Randa, Faruq mengeluarkan gurauan tentang kehebatan
seksual ayah. Aku menanyakan pendapat Faruq mengenai
perasaan Randa yang dinikahkan dengan orang yang jauh
lebih tua, yang tak dikenal dan tak dicintainya. Ekspresi
hampa Faruq dengan jelas mengatakan padaku, bukan
hanya semua itu tak pernah ada dalam pikirannya, namun
juga pertimbangan seperti itu tak akan tumbuh dalam
alam pemahamannya yang sempit. Ekspresinya
mengingatkanku bahwa tak ada yang bisa menembus
lautan gelap sikap mementingkan diri sendiri yang
membentuk pikiran seorang lelaki Saudi.
Aku dan Randa memiliki filosofi yang berbeda. Ia
percaya: 'Apa yang tertulis di dahimu, matamu akan
melihatnya.' Menurutku: 'Gambar dalam pikiranmu akan
tercermin dalam kehidupanmu.' Tambah lagi, Randa
sangat pemalu dan penakut, sebaliknya aku menyambut
hidup dengan keagresifan.
Aku memerhatikan mata Randa yang mengikuti
jarum jam; ia mulai gelisah beberapa jam sebelum waktu
kedatangan ayah untuk makan siang ataupun makan
malam. Ia mendapat perintah dari ayah agar makan
terlebih dahulu, kemudian mandi dan mempersiapkan diri
untuk menyambutnya.
Setiap siang hari Randa menyuruh tukang masak
menyiapkan makannya. Ia makan sedikit dan kemudian
masuk ke kamar. Biasanya ayah pulang sekitar jam satu,
untuk makan siang, dan mendatangi istri barunya. Ia
meninggalkan rumah sekitar jam lima dan kembali ke
kantornya. (Di Arab Saudi, hari kerja dibagi dalam dua
waktu: dari jam 9 pagi sampai jam 1 siang, dan setelah
istirahat selama empat jam, dari jam 5 sore sampai jam 8
malam.)
Melihat paras Randa yang kurus, aku terpikir untuk
menanyakan pada ayah tentang perintah Allah dalam
87
Alquran bahwa setiap Muslim diharuskan membagi siang
malamnya di antara empat istri. Sejak ia menikahi Randa,
ketiga istrinya yang lebih tua benar-benar diabaikan.
Malam adalah ulangan dari istirahat siang. Randa
memesan makan malamnya sekitar jam delapan, lalu
makan, dan kembali ke kamarnya untuk mandi dan
bersiap menyambut suaminya. Biasanya aku tak lagi
melihat dia sampai ayah berangkat kerja pagi berikutnya.
Ia diperintahkan untuk tetap di kamar tidur sampai ayah
pergi.
Resah melihat kehidupan Randa yang suram, aku
terdorong untuk berbuat nakal. Aku mempunyai dua
sahabat, yang keberaniannya lebih hebat dariku; mungkin
mereka bisa membuat Randa lebih tegas. Aku tak begitu
tahu kekuatan apa yang mendorongku membentuk klub
anak perempuan bersama Randa, dan dua temanku itu
serta aku sendiri sebagai anggota-anggota inti.
Kami menyebut klub ini dengan lively lips, karena
tujuan kami adalah berani bicara sendiri untuk melawan
sikap menerima begitu saja peran wanita dalam
masyarakat.
Kami dengan sungguh-sungguh berjanji menjunjung
tinggi tujuan-tujuan berikut:
1. Dalam setiap kesempatan, biarkan semangat hak-hak
perempuan menggerakkan mulut dan membimbing
lidah mereka.
2. Setiap anggota harus berjuang menarik satu anggota
baru setiap bulan.
3. Tujuan utama kami adalah menghentikan perkawinan
gadis yang sangat muda dengan lelaki tua.
Kami perempuan muda Arab mengetahui bahwa
lelaki di negeri kami tak pernah mengikuti perubahan
sosial perempuan, oleh karena itu kami yang harus
88
memaksakannya. Sepanjang perempuan Saudi menerima
begitu saja otoritas lelaki, mereka akan di dikendalikan.
Kami menganggap tanggung jawab setiap wanita untuk
berkeinginan mengendalikan hidupnya sendiri dan
membantu perempuan lain yang hidup di dalam
lingkungan terdekatnya. Selama berabad-abad perempuan
di tempat kami telah dikalahkan, sehingga kami harus
mulai dengan membangun kesadaran.
Dua temanku, Nadia dan Wafa, meski bukan dari
keluarga kerajaan, merupakan anak-anak dari keluarga
keluarga terkemuka di kota Riyadh.
Ayah Nadia memiliki perusahaan kontraktor yang
besar. Karena mau membayar tinggi pada para pangeran,
perusahaannya mendapat kontrak-kontrak besar
pembangunan gedung pemerintah. Ia mempekerjakan
ribuan tenaga asing dari Sri Langka, Filipina dan Yaman.
Ayah Nadia hampir sama kayanya dengan keluarga
kerajaan. Ia bisa dengan mudah menanggung hidup tiga
istri dan empat belas anak. Nadia berumur tujuh belas
tahun, anak tengah dari tujuh perempuan bersaudara. Ia
kaget melihat tiga kakak perempuannya dinikahkan demi
koneksi keluarga. Anehnya, semua perkawinan itu
menyenangkan kakak-kakaknya dan mereka bahagia,
dengan suami yang baik. Kata Nadia, keberuntungan
seperti itu tak akan pernah berlanjut. Ia terus pesimis,
merasa dirinya akan dinikahkan dengan seorang lelaki
tua, jelek dan sadis.
Sebenarnya Nadia lebih beruntung dibanding
sebagian besar perempuan Saudi; Ia diizinkan
melanjutkan pendidikan. Ayahnya mengatakan bahwa ia
tidak harus menikah sampai berumur dua puluh satu
tahun. Batas waktu yang sudah ditentukan membuat
Nadia bertindak. Ia menyatakan, sejak itu ia hanya punya
waktu bebas selama empat tahun. Karenanya, ia akan
89
mencoba semua aspek kehidupan untuk memenuhi
mimpi-mimpi dari sisa hidup menjemukan pernikahan
dengan lelaki tua.
Ayah Wafa adalah seorang mutawa yang terkemuka,
dan keekstriman sang ayah telah membuat si anak
berbuat ekstrim pula. Ayahnya hanya memiliki satu istri,
ibu Wafa. Ia seorang pria bengis dan kejam. Wafa
bersumpah, dia tak peduli lagi pada agama yang
mengangkat lelaki seperti ayahnya sebagai pemimpin.
Wafa percaya kepada Allah dan menganggap Nabi
Muhammad sebagai utusanNya, namun ia bingung
bagaimana pesan-pesan Muhammad diputarbalikkan oleh
para pengikutnya, padahal Allah tak akan mengharapkan
kesedihan dari kaum perempuan yang merupakan separuh
penduduk dunia.
Wafa tak perlu melihat jauh-jauh karena sudah ada
contoh di rumahnya. Ibunya tak pernah diizinkan pergi
keluar rumah; ia benar-benar tawanan, diperbudak oleh
orang yang mengabdi pada Tuhan. Mereka memiliki enam
anak, lima di antaranya laki-laki yang sudah dewasa. Wafa
adalah anak yang tak diharapkan oleh orang tua nya, dan
ayahnya sangat kecewa memiliki anak perempuan yang
kemudian benar-benar ia abaikan kecuali untuk disuruh
atau diperintah. Wafa diwajibkan tetap tinggal di rumah,
belajar memasak dan menjahit. Dari umur tujuh tahun,
Wafa dipaksa memakai abaya dan menutupi rambutnya.
Sejak berumur sembilan tahun, setiap pagi ayahnya
menanyakan padanya apakah ia sudah mendapatkan
menstruasi pertama. Ia khawatir jika anak perempuannya
keluar dengan wajah tak ditutup setelah dianggap
perempuan dewasa oleh Tuhan.
Wafa diizinkan memiliki beberapa teman. Tapi teman
yang sedikit itu tak pernah mampir lagi semenjak ayah
Wafa memulai kebiasaan menanyakan dengan tegas
90
apakah teman-temannya sudah mendapatkan menstruasi
pertama.
Ibu Wafa, yang capek dan bosan pada aturan kaku
suaminya, membuat sebuah keputusan yang terlambat
dalam hidupnya, yakni dengan diam-diam mulai
menentang keinginan suaminya. Ia membantu anak
perempuannya menyelinap keluar dari rumah dan
mengatakan pada suaminya bahwa si anak sedang tidur
atau belajar Alquran.
Aku membayangkan diriku yang berani dan pemberontak,
tapi Wafa dan Nadia membuat sudut pandangku
tentang perempuan tampak begitu lemah dan tak
berdaya. Mereka mengatakan bahwa semua yang
kulakukan hanya memberikan rangsangan yang cerdas
jawabanku terhadap persoalan adalah membicarakannya
mati-matian namun dalam kenyataannya, usahaku membantu
para perempuan tidak berguna apa-apa. Memang
benar, hidupku sendiri tak berubah. Aku menyadari
mereka benar.
Aku tak pernah lupa dengan sebuah kejadian di
parkir mobil bawah tanah dekat area pasar (Souq), tak
jauh dari tempat yang disebut orang asing 'Chop Chop
Square' karena di sanalah para penjahat kehilangan
tangan atau kepalanya di hari Jumat, hari suci agama
Islam.
Aku menyembunyikan menstruasi pertamaku dari
ayah. Aku tak buru-buru menutupi tubuhku dengan
pakaian hitam yang dipakai perempuan dewasa. Sialnya,
Nura dan Ahmed tahu bahwa aku sudah terlalu lama
menangguhkan hal yang tak dapat dihindari. Nura
mengancamku jika aku tak secara bilang kepada ayah, ia
yang akan mengatakannya. Maka, aku mengumpulkan
teman-temanku, termasuk Randa, dan pergi bersama
membeli seragam hidupku yang baru, syal hitam dan
91
cadar hitam yang dikenakan di atas abaya hitam.
Omar mengantar kami ke pintu masuk area Souq.
Kami berempat turun dari mobil dan setuju untuk kembali
ke tempat semula setelah dua jam. Omar selalu
mengiringi kami masuk ke dalam Souq untuk melakukan
penjagaan khusus pada perempuan dari keluarga kami,
tapi hari itu ia memiliki urusan penting yang harus
dilakukannya selagi kami belanja. Di samping itu, istri
baru ayah sudah menemani anaknya, dan Omar merasa
tentram dengan kehadiran Randa yang patuh. Ia tidak
tahu bahwa Randa secara perlahan mulai bangun dari
tidur panjang kepatuhan yang tumpul.
Kami bergerak ramai-ramai dalam toko, dengan
tangan sibuk memilih berbagai macam syal, cadar dan
abaya. Aku menginginkan sesuatu yang spesial, sesuatu
yang original di samudra wanita berpakaian hitam. Aku
mengutuk diriku karena tak bisa memiliki abaya buatan
Italia, dari sutra terbaik Italia, dengan desain-desain rumit
seorang seniman, sehingga, bila aku lewat, orang akan
tahu bahwa ada seseorang di balik pakaian hitam,
seseorang perempuan yang berkelas dan bergaya.
Setiap orang memakai cadar kecuali aku. Saat menuju
pusat Souq untuk memilih-milih barang, aku lihat
Wafa dan Nadia saling berbisik dan tertawa genit. Aku dan
Randa menghentikan langkah, dan bertanya apa yang
membuat mereka tertawa. Nadia melihat ke arahku dan
berbicara melalu cadarnya. Ia katakan, mereka sedang
mengingat lelaki yang mereka temui saat terakhir mereka
ke pasar.
Lelaki? Aku melihat ke Randa, kami berdua bingung
dengan maksud mereka.
Kami hanya perlu satu jam untuk membeli abaya,
syal dan cadar yang cocok; pilihannya sangat terbatas.
92
Hidup berubah dengan sangat cepat. Sebelumnya
aku memasuki area Souq sebagai individu yang penuh
semangat kehidupan, wajahku mengekspresikan rasa
gairah terhadap dunia. Namun, kemudian aku
meninggalkan area Souq dengan tubuh tertutup dari
kepala sampai ujung jari kaki, sebuah makhluk tak
berwajah dalam warna hitam.
Harus kuakui, saat-saat pertama memakai cadar
begitu menggembirakan. Aku merasa cadar ini sesuatu
yang baru. Aku menoleh kegirangan ketika para cowok
menatap diriku, seorang gadis yang misterius di balik
pakaian hitam. Aku tahu mereka berharap ada sedikit
angin yang menyibakkan cadar dari wajahku sehingga
mereka bisa melihat sekilas bagian tubuhku yang tak
boleh dilihat. Sesaat, aku merasa jadi makhluk yang
cantik, sebuah karya indah yang harus ditutupi agar
terlindung dari hasrat lelaki yang tidak terkontrol.
Bagaimanapun, kesenangan memakai cadar dan
abaya berlalu dengan cepat. Ketika kami berjalan keluar
dari area Souq yang dingin menuju panas matahari yang
terik, aku bernapas megap-megap dari balik kain hitam
tipis. Udara yang melintas ke hidungku terasa pengap dan
kering. Meski aku membeli cadar yang paling tipis, namun
aku merasa melihat kehidupan melalui layar yang tebal.
Jika kainnya lebih tebal, bagaimana mungkin perempuan
bisa melihat? Langit tak lagi biru, sinar matahari tampak
suram; hatiku patah ketika kusadari bahwa, mulai saat
itu, aku tidak akan mengalami hidup sejati di luar rumah
dengan segala warnanya. Dunia tiba-tiba tampak
membosankan. Dan berbahaya! Aku meraba-raba dan
tersandung di sepanjang jalan yang tak rata, trotoar yang
retak, takut kaki atau pergelangan kakiku patah.
Teman-temanku tertawa melihat aku bergerak kaku
dan sia-sia membetulkan cadar. Aku menubruk beberapa
93
anak perempuan badui, dan merasa iri melihat mereka
leluasa dengan cadar mereka. Para perempuan badui
memakai cadar khusus, di mana mata mereka tetap
terbuka dan bisa melihat keadaan sekitar. Oh, seandainya
saja aku ini perempuan badui! Aku mau menutupi
wajahku asalkan bisa melihat perubahan hidup tak
terbatas di sekitarku.
Kami tiba lebih cepat di tempat janji pertemuan
yang ditentukan Omar. Randa melihat jam tangannya;
masih tersisa satu jam lagi sebelum Omar datang. Randa
mengusulkan untuk kembali masuk ke dalam area Souq
agar tidak terkena sengatan panas sinar matahari. Nadia
dan Wafa bertanya apakah kami mau sedikit bersenang
senang. Aku jawab tentu saja ya, tanpa ragu-ragu. Randa
bolak-balik mencari-cari Omar; kurasa ia risih mendengar
kata-kata, senang. Aku berhasil membujuk Randa untuk
ikut bersama Nadia dan Wafa. Aku heran mengetahui
Randa tidak pernah melanggar aturan yang ditetapkan
untuk perempuan. Randa yang malang mudah patuh
kepada orang yang berkehendak lebih kuat.
Dua gadis itu bertukar senyum dan menyuruh kami
mengikuti mereka. Mereka berjalan ke arah parkir mobil di
bawah gedung perkantoran baru, tak jauh dari area Souq.
Para lelaki yang bekerja di gedung itu dan toko-toko
sekitarnya memarkir mobil mereka di sana.
Kami berempat perlahan-lahan menyeberangi
persim-pangan jalan yang sibuk. Randa menjerit dan
menampik tanganku ketika aku menaikkan cadarku agar
bisa melihat lalu lintas. Terlambat, aku baru sadar telah
memamerkan aurat wajahku pada para lelaki di jalan!
Mereka tampak terpesona dengan keberuntungan dapat
melihat wajah perempuan di tempat umum! Aku segera
menyadari bahwa lebih baik menubruk mobil yang sedang
berjalan daripada membuka rahasia seperti itu.
94
Ketika kami sampai di lift parkir mobil, aku
terperanjat kaget melihat tindakan teman-temanku. Wafa
dan Nadia mendekati seorang lelaki asing dari Syria yang
sangat tampan. Mereka bertanya apakah ia mau sedikit
bersenang-senang. Sesaat, lelaki itu tampak bersiap
meloncat lari; ia melihat ke kiri dan ke kanan dan
memencet tombol lift. Akhirnya, lelaki itu berpikir lebih
baik mau, mengingat langkanya kesempatan bertemu
perempuan Arab Saudi yang mungkin saja cantik.
Kemudian ia bertanya kesenangan seperti apa. Wafa
bertanya pada lelaki Syria itu apakah ia memiliki mobil
dan apatemen pribadi. Ia menjawab ya; ia memiliki
apartemen dan teman sekamar, seorang Libanon. Nadia
bertanya apakah temannya butuh seorang perempuan,
dan orang Syria itu tersenyum lebar dan berkata, ya,
tentu saja, kami berdua membutuhkan perempuan.
Aku dan Randa sudah bisa menggerakkan kaki. Kami
mengangkat abaya dan lari menjauh dari tempat parkir
mobil itu, khawatir dengan keselamatan jiwa kami. Dalam
ketergesaan itu, syalku lepas. Ketika aku kembali untuk
mengambilnya, Randa berlari menabrakku, ia jatuh
kebelakang dan terlentang di pasir, kakinya tersingkap.
Ketika Wafa dan Nadia datang, kami berdua ngosngosan
dan bersandar ke jendela toko. Mereka berdua
saling berdekapan, tertawa. Mereka malah menonton
ketika aku berusaha menolong Randa berdiri.
Kami berbisik marah. Bagaimana bisa mereka
berbuat bodoh seperti itu? Menemui lelaki asing !
Kesenangan apa yang mereka rencanakan ? Tidakkah
mereka berpikir bahwa Randa bisa dirajam dan kami
bertiga akan dipenjara, atau lebih buruk lagi? Senang sih
senang, tapi apa yang mereka lakukan sama saja bunuh
diri!
Wafa dan Nadia tertawa, tidak menghiraukan kata95
kata kami. Mereka tahu, jika mereka tertangkap, akan
dihukum, namun mereka tidak peduli. Bagi mereka, masa
depan begitu suram, lebih baik mengambil risiko. Apalagi,
mereka mungkin akan bertemu lelaki asing yang baik dan
mau menikahi mereka: lelaki asing mana pun lebih baik
dari pada lelaki Saudi!
Aku pikir Randa akan jatuh pingsan. Ia berlari ke
jalan, mencari-cari Omar. Dia tahu, tak akan ada ampun
dari ayah jika ia tertangkap dalam situasi seperti itu. Ia
merasa takut.
Omar, yang waspada dan lekas mengerti, bertanya
pada kami apa yang terjadi. Randa gelisah dan mulai
bicara, tapi aku memotong dan mengarang cerita bahwa
kami melihat seorang anak muda mencuri kalung dari
toko emas. Anak muda itu dipukul oleh penjaga toko dan
dengan kasar diseret ke penjara oleh polisi. Suaraku
gemetar ketika kukatakan bahwa kami sangat sedih
mengetahui anak itu masih terlalu muda dan akan
kehilangan tangan karena perbuatannya. Aku lega Omar
percaya dengan ceritaku. Randa menyelipkan tangannya
ke balik jubahku dan memelukku, merasa berterima kasih.
Kemudian, dari Nadia dan Wafa aku tahu apa yang
mereka sebut 'kesenangan'. Mereka menemui lelaki asing,
biasanya lelaki yang berasal dari negara-negara tetangga
Arab, kadang-kadang orang Inggris atau Amerika, di lift
parkir mobil. Mereka memilih lelaki tampan; lelaki yang
mereka kira bisa mereka cintai. Kadang-kadang lelaki itu
takut dan melompat masuk ke dalam lift, pergi dengan
cepat ke lantai lain. Di saat lain ada lelaki yang tertarik.
Jika lelaki yang mereka dekati terperdaya, Wafa dan Nadia
akan setuju untuk bertemu lagi, di lift yang sama. Mereka
akan meminta lelaki itu mencari mobil van, bukan mobil
biasa, untuk menjemput mereka. Kemudian di waktu yang
sudah disetujui, mereka akan berpura-pura pergi
96
berbelanja. Sopir akan mengantar mereka ke Souq;
mereka akan membeli beberapa barang, dan kemudian
pergi ke tempat kencan. Kadang-kadang lelaki itu
bersikap hati-hati dan tidak muncul; di saat lain mereka
menunggu dengan gelisah. Jika lelaki itu mendapatkan
van, para gadis itu akan memastikan bahwa tak seorang
pun ada di sekitar dan kemudian dengan cepat melompat
ke mobil di bagian belakang. Si lelaki akan mengendarai
dengan hati-hati menuju apartemen, sebagaimana mereka
hati-hati menyelundupkan para gadis ini. Jika mereka
tertangkap, hukumannya sangat berat. Benar,
kemungkinan masing-masing pihak akan dihukum mati.
Mengapa perlu memakai mobil van, mudah
dijelaskan. Di Arab Saudi, lelaki dan perempuan tidak
diizinkan berada dalam mobil yang sama kecuali jika
mereka keluarga dekat. Jika para mutawa curiga, mereka
akan menghentikan kendaraan itu dan memeriksa tanda
pengenal. Lelaki bujang juga tidak diizinkan menerima
tamu perempuan di apartemen atau rumah mereka.
Sedikit mencurigakan, para mutawa akan mengelilingi
rumah orang asing dan membawa setiap orang di
dalamnya, lelaki dan perempuan, ke penjara.
Aku sangat khawatir terhadap teman-temanku. Aku
peringatkan mereka terus-menerus dengan
konsekuensinya. Mereka masih muda, sembrono dan
bosan dengan kehidupan mereka. Tetapi mereka santai
menceritakan aktivitas lain yang mereka lakukan sebagai
hiburan. Mereka menekan sembarang nomor telepon
hingga seorang asing menjawabnya. Beberapa lelaki, asal
bukan orang Saudi atau Yaman, akan menjawabnya.
Teman temanku itu akan bertanya apakah ia sendirian
dan membutuhkan teman perempuan. Secara umum,
jawabannya ya, karena sangat sedikit perempuan yang
tersedia di Arab Saudi dan sebagian besar pekerja asing
97
bekerja dengan visa berstatus bujangan. Segera setelah
lelaki itu memenuhi syarat, gadis-gadis ini akan
memintanya menjelaskan bentuk tubuhnya. Merasa
tersanjung, biasanya lelaki itu akan memenuhi
persyaratan itu dan kemudian meminta para gadis itu
melakukan hal yang sama. Maka, Wafa dan Nadia akan
menjelaskan tubuhnya dari kepala sampai kaki, dengan
detil yang cabul. Itu sangat menyenangkan, kata mereka,
dan kadang-kadang setelah itu mereka bertemu dengan
lelaki tersebut, menurut gaya parking lot-lovers (para
pecinta di tempat parkir).
Aku heran bagaimana bisa teman-temanku kenal
dengan para pencari cinta ini. Aku heran mendengar
mereka melakukan segala seluk beluk percintaan kecuali
penetrasi. Mereka tidak mau mengambil risiko kehilangan
keperawanan, karena mereka menyadari konsekwensi
yang akan mereka hadapi pada malam perkawinan. Suami
mereka akan segera mengembalikan mereka. Para
mutawa akan memeriksa. Mereka mungkin akan
kehilangan nyawa, kalau tidak, mereka akan sulit mencari
tempat hidup.
Kata wafa, dalam kencan dengan lelaki ini, ia dan
Nadia tidak pernah melepas cadar. Mereka akan melepas
semua pakaian, namun tetap memakai cadar. Si lelaki
akan menggoda, meminta dan bahkan mencoba memaksa
mereka membuka cadar, tapi Nadia dan Wafa berkata
bahwa mereka merasa aman jika lelaki tidak melihat
wajah mereka. Mereka berkata, jika lelaki itu serius,
mereka mungkin akan mempertimbangkan untuk
menunjukkan wajah mereka. Tapi, tentu saja, tak satupun
dari mereka yang serius. Mereka hanya sekadar ingin
bersenang-senang. Teman-temanku dengan putus asa
mencoba menemukan sebuah lalan keluar dari masa
depan mereka, yang telah terbayang di hadapan mereka
98
seperti malam gelap yang tak berujung.
Randa dan aku menangis ketika kami mendiskusikan
perilaku teman-teman tersebut. Aku merasa sangat benci
pada adat istiadat negeriku di mana para perempuan
sama sekali tak memiliki hak dan kebebasan sehingga
gadis-gadis seperti Wafa dan Nadia berperilaku putus asa.
Perbuatan mereka jelas akan dibayar dengan nyawa bila
mereka tertangkap.
Tak sampai setahun, Nadia dan Wafa tertangkap.
Sial, perbuatan mereka telah diendus oleh para anggota
dari lembaga yang menamakan dirinya Komite Amar
Ma'ruf Nahi Munkar, yang berkeliaran di jalan-jalan di
Riyadh untuk menangkap orang-orang yang melanggar
larangan Al quran. Segera setelah Nadia dan Wafa masuk
ke bagian belakang mobil van, segerombolan orang Saudi
muda yang fanatik menghentikan kendaraan itu. Mereka
mengamati area itu selama berminggu-minggu setelah
salah satu anggota komite, ketika sedang berpatroli,
mendengar-dengar cerita dari seorang Palestina tentang
dua perempuan bercadar yang mengajak berbuat cabul di
dalam lift.
Nyawa Wafa dan Nadia selamat, karena mereka
terbukti masih perawan. Para anggota Komite Amar Ma'ruf
Nahi Munkar, Dewan Syariah, dan terutama ayah-ayah
mereka, tidak percaya dengan cerita mereka bahwa
mereka meminta tolong pada lelaki kecannya untuk
mengantar mereka pulang karena sopir mereka terlambat
menjemput. Aku rasa itu cerita terbaik yang bisa mereka
karang dalam keadaan terjepit seperti itu.
Dewan Syariah bertanya kepada setiap lelaki yang
bekerja di area itu dan menemukan empat belas orang
yang mengatakan bahwa mereka pernah didekati oleh dua
perempuan bercadar. Tak satupun dari semua lelaki itu
yang mengaku pernah terlibat dalam aktivitas mesum
99
bersama gadis-gadis itu.
Setelah tiga bulan di penjara yang suram, karena
kurangnya bukti pelanggaran seksual, Komite Amar Ma'ruf
Nahi Munkar melepaskan Wafa dan Nadia dan
menyerahkan hukuman kepada ayah mereka masingmasing.
Sangat mengherankan, ayah Wafa, seorang mutawa
yang keras, sambil duduk bersama menanyai anak
perempuannya tentang alasan ia melakukan tindakan
yang tak senonoh. Ketika anak gadisnya menangis dan
mengungkapkan rasa putus asa dan muak, si ayah ikut
bersedih. Kendati bersimpati, si ayah tetap meminta Wafa
berhenti menggoda. Ia dinasehati untuk belajar Alquran
dan menerima kehidupan biasa yang sudah ditetapkan
untuk perempuan, pindah jauh dari kota. Ayah Wafa
dengan tergesa-gesa mengatur perkawinan Wafa dengan
seorang mutawa badui dari sebuah desa kecil. Lelaki itu
berusia lima puluh tiga tahun, sementara Wafa tujuh belas
tahun, dan ia menjadi istri yang ketiga.
Ironis, ayah Nadia amat sangat marah. Ia menolak
berbicara pada anak perempuannya dan mengurungnya di
kamar sampai ada keputusan hukuman.
Beberapa hari kemudian, ayahku pulang kantor lebih
awal dan memanggil aku dan Randa ke ruang duduknya.
Sambil duduk, kami tidak percaya dengan cerita ayah
bahwa Nadia akan ditenggelamkan ke dalam kolam
renang keluarga oleh ayahnya, esok pagi, Jumat, jam
sepuluh. Kata ayah, seluruh keluarga Nadia akan
menyaksikan eksekusi itu.
Hatiku berdebar, takut ketika ayah bertanya pada
Randa apakah ia atau aku pernah menemani Wafa atau
Nadia berbuat memalukan itu. Aku bergerak maju dan
mulai menyatakan tak tahu apa-apa, namun ayah
berteriak dan mendorongku ke sofa. Randa menangis dan
100
menceritakan pada ayah hari ketika kami pergi membeli
abaya dan cadar pertamaku. Ayah duduk tak bergerak,
matanya tak berkedip, sampai Randa selesai bicara. Ia
kemudian bertanya tentang klub perempuan yang kami
bentuk, klub yang bernama Lively Lips. Ayah berkata,
sebaiknya kami mengatakan yang sebenarnya, karena
Nadia sudah mengakui semua aktivitas kami di hari-hari
yang telah lalu. Saat lidah Randa kelu, ayah
mengeluarkan kertas klub kami dari mapnya. Ia telah
menyelidiki kamarku, menemukan catatan dan daftar
anggota. Sekali dalam seumur hidupku, mulutku kering,
bibirku terkunci seperti diikat.
Ayah dengan kalem meletakkan kertas itu kembali
ke atas tumpukan di dalam map. Ia melihat dengan tajam
ke mata Randa dan berkata: 'hari ini kau kuceraikan.
Ayahmu akan mengirim sopir dalam satu jam lagi untuk
mengambilmu kembali. Kamu tak boleh berhubungan
dengan anakku.'
Aku merasa ngeri ketika ayah perlahan-lahan
menoleh ke arahku. 'Kamu memang anakku. Ibumu
perempuan baik-baik. Namun, jika kamu ikut
berpartisipasi dalam aktivitas mesum bersama Wafa dan
Nadia, aku akan menegakkan hukum Alquran dan
menguburmu. Berkonsentrasilah pada sekolahmu
sementara aku akan mencarikan jodohmu yang cocok.'
Ayah berhenti sebentar, menatap lekat dan tajam ke
mataku: 'Sultana, terimalah masa depanmu dengan
patuh, karena kamu tak punya pilihan.'
Ayah membungkuk ke arah kertas dan mapnya,
kemudian tanpa memandang Randa dan aku lagi, ia
meninggalkan ruangan.
Dengan rasa terhina, aku mengikuti Randa ke
kamarnya dan terdiam ketika ia mengumpulkan
perhiasannya, pakaiannya, dan buku-bukunya ke atas
101
tempat tidur besar. Wajahnya tanpa ekspresi. Aku tak bisa
mengucapkan apa-apa. Bel pintu berbunyi sangat cepat,
dan secara tak sadar aku membantu para pelayan mengangkut
barang-barang Randa ke mobil. Tanpa kata
perpisahan, Randa meninggalkan rumahku, tapi bukan
hatiku.
Jam sepuluh keesokan harinya, aku duduk sendiri.
Menatap kosong balkon kamarku. Aku memikirkan Nadia
dan membayangkan ia diikat dengan rantai yang berat,
kerudung hitam dibebatkan di kepalanya, tangan-tangan
yang mengangkatnya dari lantai dan memasukkannya
kedalam air kolam renang keluarga yang jernih. Aku
menutup mata dan merasakan geletar tubuhnya,
mulutnya yang megap-megap, paru-paru yang menjerit
karena serbuan air. Aku ingat kilatan mata coklatnya dan
gaya khasnya mengangkat dagu ketika tertawa. Aku ingat
sentuhan lembut kulit kuning langsatnya, dan memikirkan
dengan ngeri tindakan kejam padanya. Aku pandang
jamku dan terlihat sekarang sudah jam 10.10. Dadaku
terasa berat menyadari Nadia tak akan pernah tertawa
lagi.
Itulah saat yang paling dramatis dalam sejarah
masa mudaku. Aku sadar keinginan teman-temanku untuk
bersenang-senang, sejelek atau sesedih apa pun itu,
seharusnya tidak menyebabkan Nadia mati atau Wafa
menikah dini. Tindakan kejam seperti itu adalah
penjelasan terburuk atas kebijaksanaan dari orang-orang
yang merusak sekaligus memanfaatkan tanpa perasaan
hidup dan mimpi kaum perempuan.
102
9
Setelah kepergian Randa yang tiba-tiba, perkawinan Wafa,
dan kematian Nadia, aku merasa tak terlalu bersemangat
hidup. Aku merasa tubuhku tak lagi memerlukan udara
segar untuk hidup. Aku membayangkan diriku tidur di
musim dingin. Aku ingin merasakan nafas-nafas pendek
dan detak jantung rendah seperti yang dialami makhlukmakhluk
liar yang mengasingkan dirinya selama berbulanbulan.
Aku ingin berbaring di ranjang, memencet hidung
dengan jari-jariku, dan menutup rapat-rapat mulutku.
Hanya saat paru-paruku memaksa udara keluar, dengan
menyesal aku mengaku tak kuasa mengendalikan kerja
organ-organ vitalku.
Para pelayan ikut merasakan kepedihanku, karena
aku memang anggota keluarga yang paling peka dan
selalu menunjukkan perhatian kepada mereka. Sedikit
uang gaji yang dibagi-bagikan setiap bulan oleh Omar
tampak merupakan sebuah harga yang mahal untuk
meminta mereka menjauh dari orang-orang yang mereka
103
cintai.
Untuk membangkitkan semangat hidupku, pelayan
Filipinaku, Marci, mulai menghidupkan kembali pikiranku
dengan kisah-kisah di negaranya. Perbincangan panjang
telah mencairkan hubungan antara majikan dan pelayan.
Suatu hari dengan malu-malu, ia mengungkapkan
cita-cita hidupnya. Dengan berkerja sebagai pelayan di
keluarga kami, ia ingin menabung uang yang cukup dan
kemudian kembali ke Filipina untuk belajar ilmu
keperawatan. Perawat Filipina sangat dibutuhkan di
seluruh dunia, dan dianggap sebagai karir yang
menguntungkan bagi perempuan di Filipina.
Katanya, setelah lulus sekolah, ia ingin kembali ke
Arab Saudi dan bekerja di salah satu rumah sakit modern.
Ia tersenyum ketika mengatakan bahwa perawat Filipina
mendapat gaji 3.800 Riyal Saudi per bulan. Hampir $1000
sebulan. Bandingkan dengan $200 sebulan yang ia dapat
dengan bekerja menjadi pelayan di rumah kami. Dengan
gaji besar, katanya, ia bisa membantu seluruh keluarga
nya di Filipina.
Ketika Marci masih berusia tiga tahun, ayahnya
tewas dalam kecelakaan di pertambangan. Ibunya sedang
mengandung tujuh bulan anaknya yang kedua. Hidup
mereka susah. Saat ibu mereka bekerja dua waktu
sebagai pelayan di hotel lokal, anak-anak diasuh oleh
nenek Marci. Ibu Marci berulang kali mengatakan bahwa
hanya ilmu pengetahuan satu-satunya solusi untuk keluar
dari kemiskinan, dan dengan cermat ia menabung untuk
pendidikan anak-anaknya.
Dua tahun sebelum Marci mendaftar di sekolah
perawat, adik laki-lakinya, Tony, ditabrak mobil dan
menderita luka parah. Kakinya hancur dan harus
diamputasi. Perawatan medisnya telah menghabiskan
biaya yang dipersiapkan untuk sekolah Marci, hingga
104
celengan kecil pun ludes.
Mendengar cerita hidup Marci, aku menangis. Aku
bertanya kepadanya bagaimana ia bisa tetap tersenyum
dari hari ke hari, minggu ke minggu. Marci tersenyum
lebar. Itu mudah, katanya, karena ia memiliki mimpi dan
cara untuk merealisasikannya.
Pengalaman hidup di lingkungan yang sangat miskin
di Filipina membuat Marci merasa sangat beruntung
dengan pekerjaan yang hanya cukup untuk mengisi
piringnya tiga kali sehari. Menurutnya, masyarakat di
kampungnya mati bukan karena kelaparan, tetapi kurang
gizi sehingga mereka mudah diserang penyakit, sesuatu
yang tak akan terjadi di dalam masyarakat yang sehat.
Marci begitu pandai mengkisahkan cerita tentang
masyarakatnya sehingga aku ikut merasa menjadi bagian
dari ceritanya, negerinya, dan budayanya yang kaya. Aku
tahu, selama ini aku menganggap remeh Marci dan orang
Filipina lainnya, karena aku tak mengacuhkan mereka
selain memandang mereka sebagai bangsa yang tak
memiliki ambisi. Betapa salahnya aku!
Beberapa minggu kemudian, Marci merasa cukup
percaya diri untuk bercerita tentang temannya, Madeline.
Dengan cara itu, ia berharap bisa menguak pertanyaan
tentang nilai-nilai moral di negeriku. Melalui Marci, kali per
tamanya aku tahu bahwa para perempuan dari negaranegara
Dunia Ketiga telah dijadikan budak seks di
negeriku, Arab Saudi.
Marci dan Madeline berteman sejak masa kanakkanak.
Semiskin-miskinnya keluarga Marci, keluarga
Madeline lebih miskin lagi. Madeline dan tujuh saudaranya
biasa mengemis di jalan raya besar yang menghubungkan
propinsi mereka dengan Manila. Kadang-kadang, sebuah
mobil besar yang membawa orang-orang asing berhenti
dan menjatuhkan beberapa koin ke telapak tangan
105
mereka yang terulur. Ketika Marci belajar di sekolah,
Madeline pergi kesana kemari mencari makanan.
Pada usia yang masih muda, Madeline memiliki
mimpi dan ingin mewujudkannya. Ketika ia berumur
delapan belas tahun, ia menjahit baju dari jas bekas
sekolah Marci dan pergi ke Manila. Di sana ia mendatangi
sebuah agen pengirim tenaga kerja Filipina ke luar negeri.
Madeline melamar kerja sebagai pelayan. Dengan tubuh
mungil dan cantik, seorang pemilik agensi berkebangsaan
Lebanon dengan lihai menawarinya pekerjaan di sebuah
rumah pelacuran di Manila; di sana ia bisa mendapatkan
penghasilan besar, melebihi yang ia bayangkan dengan
bekerja sebagai pelayan! Madeline, meskipun dibesarkan
di lingkungan yang sangat miskin, adalah seorang Katolik
yang taat; ia menolak tawaran orang Libanon itu. Dengan
mengeluh kesal, laki-laki itu menyuruhnya mengisi
formulir lamaran dan menunggu.
Orang Libanon itu mengatakan bahwa ia baru saja
menerima kontrak mencari lebih dari tiga ribu pekerja
Filipina untuk ditempatkan di wilayah Teluk Persia, dan
Madeline akan mendapat prioritas karena orang-orang
kaya Arab selalu meminta pelayan yang cantik. Laki-laki
itu mengedipkan mata dan menepuk pantat Madeline
ketika gadis ini meninggalkan ruang.
Madeline sangat gembira sekaligus takut ketika
menerima konfirmasi pekerjaan sebagai pelayan di
Riyadh, Arab Saudi. Pada saat yang sama, rencana Marci
untuk mendaftar sekolah perawat melayang, dan ia
memutuskan mengikuti langkah Madeline untuk mencari
pekerjaan di luar Filipina. Ketika Madeline berangkat ke
Arab Saudi, Marci bergurau bahwa ia akan menyusul.
Mereka berpelukan sebagai ucapan selamat tinggal dan
berjanji akan saling menulis surat.
Empat bulan kemudian, ketika Marci tahu dirinya
106
juga akan bekerja di Arab Saudi, dia masih belum
mendengar kabar dari Madeline. Setelah sampai di Arab
Saudi, dia tidak tahu dimana bisa menemukan Madeline
selain di kota Riyadh. Karena Marci akan bekerja pada
sebuah keluarga di kota ini, ia bermaksud mencarinya.
Aku mengingat kembali malam ketika Marci
memasuki rumah kami. Ibu bertanggung jawab terhadap
rumah tangga dan penempatan para pelayan. Aku ingat,
Marci tampak sedikit takut, dan langsung lengket dengan
para pelayan Filipina kami yang lebih tua.
Karena rumah kami memiliki lebih dari dua puluh
pelayan, Marci tidak terlalu mendapat perhatian. Sebagai
pelayan yang belum berpengalaman, karena masih
berusia sembilanbelas tahun, ia ditugaskan membersihkan
kamar dua anak perempuan termuda di rumah ini, yakni
kamarku dan kamar Sara. Aku tidak begitu
memerhatikannya selama enam belas bulan. Dengan
sabar dan tenang ia bekerja di rumah, bertanya apakah
aku membutuhkan sesuatu.
Aku terkejut ketika Marci mengaku bahwa para
pelayan Filipina bersyukur dengan pekerjaan mereka,
karena baik aku maupun Sara tidak pemah memukul atau
meninggikan suara mencela. Mataku berkilat-kilat, dan
aku bertanya apakah ada yang pernah dipukul. Aku
bernafas lega ketika ia mengatakan, tidak, bukan di
rumah kami. Ia katakan, Faruq memang orang yang sulit
dan selalu berbicara dengan nada keras dan menghina.
Tapi satu-satunya tindakan kasar yang ia lakukan
hanyalah menendang tulang kering kaki Omar beberapa
kali. Aku tertawa, sedikit bersimpati pada Omar.
Marci berbisik ketika ia mengatakan padaku gosip
dari para pelayan. Katanya, istri kedua ayah, perempuan
dari salah satu negara teluk, mencubit dan memukul para
pelayan perempuan setiap hari. Seorang gadis malang
107
dari Pakistan menderita geger otak karena dipukul sampai
jatuh dari tangga. Ketika dikatakan bekerja lambat, ia
dengan tergesa-gesa berjalan menuju ruang cuci dengan
keranjang berisi seprai dan handuk kotor. Secara tak
sengaja ia menabrak istri ayah. Dengan sangat marah,
istri ayah memukul pelayan itu di perutnya, hingga jatuh
berguling di tangga. Ketika gadis itu terbaring merintih,
istri ayah berlari menuruni tangga untuk menendangnya
dan berteriak padanya agar menyelesaikan kerjaannya.
Ketika tak bergerak, gadis itu dituduh berpura-pura.
Akhirnya, gadis itu dibawa ke dokter; ia masih juga tidak
kembali membaik, terus menerus memegang kepalanya
dan merintih ngilu.
Atas perintah istri ayah, dokter istana mengisi
formulir yang mengatakan gadis itu terjatuh dan
menderita geger otak. Secepat mungkin gadis itu harus
dikirim kembali ke Pakistan. Ia tidak mendapatkan dua
bulan gaji dan dikirim ke orang tuanya hanya dengan
uang lima puluh Riyal Saudi, setara dengan $15.
Aku begitu terkejut. Marci ingin tahu sebabnya.
Sebagian besar pelayan dianiaya di negeriku; rumah kami
adalah pengecualian yang langka. Kukatakan padanya,
aku sering pergi ke rumah teman-temanku dan, harus
kuakui bahwa sangat sedikit perhatian yang diberikan
pada para pelayan. Tapi Aku tidak pernah menyaksikan
mereka dipukul. Memang, aku pernah melihat beberapa
temanku mengeluarkan kata-kata menghina pada pelayan
mereka, tapi aku mengacuhkannya karena aku tak
melihat serangan fisik.
Marci mendesah letih, dan mengatakan bahwa
pelecehan fisik dan seksual biasanya disembunyikan. Ia
mengingatkan bahwa aku tinggal hanya lima yard dari
istana yang menyimpan penderitaan banyak gadis muda,
dan aku tak mengenal mereka. Dengan lembut ia
108
memintaku membuka mata, untuk melihat bagaimana
perempuan dari negeri lain dianiaya di negeri kami.
Dengan sedih aku mengangguk setuju.
Dari percakapan ini, Marci menjadi lebih mengenal
sifat empatiku. Ia ingin membuatku lebih percaya dengan
menceritakan padaku seluruh kisah tentang temannya,
Madeline. Percakapan kami itu terasa seolah-olah baru
terjadi kemarin. Aku ingat betul percakapan itu. Sekarang
pun aku bisa membayangkan wajah Marci yang sungguh
sungguh di hadapanku.
'Nona, aku ingin menceritakan kepada Anda tentang
sahabat karibku, Madeline. Anda adalah seorang putri.
Mungkin suatu saat Anda bisa membantu kami,
perempuan-perempuan Filipina yang malang.' Memang,
pagi itu aku sendirian, dan mulai merasa bosan meringkuk
di ranjang, sehingga aku mengangguk, ingin sekali
mendengarkan gosip apa saja, termasuk dari seorang
Filipina. Kunyamankan diriku di ranjang; Marci dengan
patuh menyelipkan bantal di belakang kepalaku, sesuai
dengan yang kuinginkan.
Kukatakan padanya: 'Sebelum kamu mulai bercerita,
ambilkan aku semangkok buah segar dan segelas laban.'
(Laban adalah minuman seperti dadih yang umum di
Timur Tengah). Setelah sesaat, ia kembali dengan
nampan berisi buah dan minuman dingin. Aku
mengeluarkan kakiku dari bawah selimut dan menyuruh
Marci menggosok-gosoknya sambil ia bercerita tentang
temannya yang bernama Madeline.
Kalau diingat kembali, aku merasa malu dengan
perilaku egoisku yang kekanak-kanakan. Aku tergugah
oleh cerita yang tragis, namun tak nyaman duduk dan
mendengarkan hingga semua keinginanku terpenuhi.
Sekarang setelah lebih tua dan lebih bijak, aku hanya bisa
mengenang kembali dengan menyesal atas kebiasaan
109
Saudi yang hinggap dalam diriku. Tak satupun orang
Saudi yang kukenal pernah menunjukkan sedikit perhatian
pada kehidupan para pelayan; jumlah anggota keluarga
mereka; mimpi mereka dan aspirasi mereka. Masyarakat
dari dunia ketiga ada di sini untuk melayani kami orangorang
Saudi yang kaya. Tak lebih dari itu. Bahkan ibuku,
yang kuanggap baik dan pengasih, jarang menyatakan
minatnya pada persoalan pribadi pelayan; mungkin itu
disebabkan karena ia harus mengurus tanggung jawab
rumah yang sangat besar dan memuaskan tuntutan ayah.
Aku tak memiliki alasan seperti itu. Aku ngeri ketika
sekarang mengetahui bahwa Marci dan pelayan-pelayan
lain tak lebih dari sekadar robot untuk melakukan
perintah-perintahku. Dan aku ngeri, mengira Marci dan
pelayan-pelayan rumah tangga menganggapku orang
baik, karena aku sendiri yang bertanya tentang kehidupan
mereka. Ini adalah kenangan menyesakkan bagi orang
yang menganggap dirinya peka.
Dengan termenung, wajah tanpa ekspresi, Marci
mulai menggosok-gosok kakiku dan mengawali ceritanya.
'Nona, sebelum aku meninggalkan negaraku, aku
memohon kepada laki-laki Libanon itu untuk memberiku
alamat majikan Madeline. Katanya, itu tidak boleh; ia
tidak diizinkan memberitahu. Ia berbohong, Nona.
Kukatakan, aku punya titipan dari ibunya yang harus
kusampaikan padanya. Setelah mengemis-ngemis,
akhirnya ia luluh, dan memberiku nomor telpon dan nama
wilayah di Riyadh tempat Madeline bekerja.'
'Apakah majikannya seorang pangeran?'
'Tidak Nona. Ia tinggal di distrik yang disebut Al
Malaz, sekitar tiga puluh menit naik mobil dari sini.'
Istana kami berada di area Al Nasiriah, sebuah
lokasi prestisius yang didiami oleh banyak keluarga
kerajaan, distrik paling kaya di Riyadh. Dahulu aku pernah
110
pergi ke wilayah Al Malaz, dan teringat di sana banyak
istana bagus dari masyarakat bisnis kelas atas Saudi.
Aku tahu, Marci dilarang pergi meninggalkan
lingkungan istana, kecuali untuk pergi khusus berbelanja
sebulan sekali bersama para pelayan lain dengan Omar
sebagai pengaturnya. Karena para pelayan kami bekerja
keras tujuh hari dalam seminggu, lima puluh dua minggu
setahun, aku heran bagaimana mungkin ia menyelinap
pergi mengunjungi temannya.
Aku tertarik bertanya: 'Bagaimana kamu pergi ke Al
Malaz?'
Marci ragu-ragu sejenak. 'Nona, Anda tahu sopir
Filipina bernama Antoine?'
Kami memiliki empat orang sopir, dua orang Filipina
dan dua orang Mesir. Aku biasanya disopiri oleh Omar
atau orang Mesir lain. Orang Filipina disuruh mengantar
berbelanja bahan makanan dan pergi ke sana ke mari.
'Antoine? Yang selalu tersenyum dan masih muda itu?'
'Ya, Nona. Aku dan dia suka bertemu dan ia mau
mengantar mencari temanku.'
'Marci! Kamu punya kekasih!' Aku tertawa. 'Dan
Omar. Bagaimana kamu menghindari masalah dengan
Omar?'
'Kami menunggu hingga Omar pergi mengantar
keluarga ke Taif, setelah itu baru kami ambil kesempatan.'
Marci tersenyum melihat aku senang. Ia tahu tak ada
yang lebih menyenangkanku selain berhasil menipu lakilaki
di rumah ini. 'Pertama, aku menelpon nomor yang
diberikan kepadaku saat masih di Filipina. Tak seorang
pun yang mengizinkanku berbicara dengan Madeline.
Kukatakan bahwa aku punya pesan yang harus
disampaikan dari ibunya. Setelah bersusah payah
meyakinkan, aku diberi tahu gambaran lokasi rumahnya.
111
Antoine pergi ke wilayah itu dan menyampaikan surat
untuk Madeline. Seorang laki-laki Yaman yang
menerimanya. Dua minggu kemudian aku menerima
telpon. Aku hampir tidak bisa mendengar suara Madeline,
karena ia berbisik, takut ketahuan kalau ia menggunakan
telepon. Padaku, ia mengatakan berada dalam situasi
yang sangat buruk, tolong datang dan bantu. Melalui
telepon, kami membuat rencana.'
Aku sisihkan makananku dan memerhatikan Marci
sepenuhnya. Aku menyuruhnya berhenti menggosokgosok
kakiku. Aku merasakan bahaya pertemuan mereka
dan tumbuh rasa ketertarikanku pada orang-orang Filipina
pemberani yang belum kukenal ini..
'Dua bulan berlalu. Kami tahu kesempatan akan
datang pada bulan-bulan musim panas yang sangat
panas. Kami takut Madeline akan dibawa majikannya ke
Eropa, tapi ternyata ia disuruh untuk tetap tinggal di
Riyadh. Ketika Anda dan keluarga, bersama-sama dengan
Omar, meninggalkan kota, aku sembunyi di kursi
belakang Mercedes hitam untuk diantar oleh Antoine ke
Madeline.'
Suara Marci serak emosi ketika menggambarkan
keadaan Madeline yang dilematis: 'Aku duduk di mobil
ketika Antoine membunyikan bel rumah. Sementara
menunggu, aku tidak bisa membantu. Namun aku
memerhatikan kondisi dinding rumah. Catnya sudah
terkelupas, pagarnya berkarat, beberapa tumbuhan hijau
tergantung di dinding rumah, layu karena tidak disiram.
Bisa kukatakan itu tempat yang buruk. Aku merasa
temanku berada dalam situasi berbahaya kalau ia bekerja
di rumah seperti ini.'
'Aku merasa tertekan, bahkan sebelum aku diizinkan
masuk. Antoine harus menekan bel sebanyak empat
sampai lima kali sebelum terdengar gerakan orang yang
112
datang untuk merespon panggilan kami. Segala
sesuatunya terjadi seperti yang diceritakan Madeline.
Mengerikan! Seorang laki-laki tua Yaman dengan pakaian
wool dililitkan di atas rok, membuka pintu. Ia tampak
mengantuk; wajahnya yang jelek menandakan ia tidak
senang dibangunkan dari tidur siangnya.
'Aku dan Antoine jadi takut. Suara Antoine terdengar
bergetar ketika ia meminta izin berbicara dengan Madeline
dari Filipina. Orang Yaman itu tak tahu bahasa Inggris,
sedang Antoine hanya bisa sedikit bahasa Arab. Mereka
berjuang untuk saling mengerti. Orang Yaman itu akhirnya
tidak mengizinkan kami masuk. Ia mengusir kami dengan
tangannya dan mulai menutup pintu saat aku melompat
keluar dari kursi belakang. Sambil menangis, kukatakan
bahwa Madeline adalah saudara perempuanku. Aku baru
saja sampai di Riyadh dan bekerja di istana salah satu
pangeran kerajaan. Aku pikir itu bisa membuatnya takut,
namun ternyata ia tetap tak ber geming. Aku lambaikan
amplop padanya dan mengatakan surat ini baru tiba dari
Filipina. Ibu kami sakit keras. Aku harus bicara dengan
Madeline sebentar saja untuk menyampaikan pesan
terakhir dari ibu kami yang sedang sekarat.
'Aku berdoa pada Tuhan agar tidak menghukumku
karena telah berbohong seperti itu! Aku pikir Tuhan
mendengarku, karena tampaknya orang Yaman itu
berubah pikiran ketika mendengar kata ibu dalam bahasa
Arab. Aku lihat ia berfikir. Kemudian ia menatap aku dan
Antoine, dan akhirnya menyuruh kami menunggu
sebentar. Ia menutup pintu, dan kami mendengar bunyi
sandalnya ketika ia masuk ke dalam rumah.
'Kami tahu orang Yaman itu masuk ke dalam rumah
untuk menanyai Madeline dan diminta menggambarkan
saudarinya. Aku memandang Antoine dengan senyuman
lemah. Tampaknya kami berhasil.'
113
Marci berhenti sejenak, mengingat kejadian saat itu.
'Nona, orang Yaman itu menakutkan. Tampangnya
separuh baya dan membawa pisau bengkok di
pinggangnya. Aku dan Antoine hampir saja masuk ke
dalam mobil dan pulang kembali ke istana. Tapi ingatan
akan temanku yang malang memberiku kekuatan.'
'Kata Madeline, ada dua orang Yaman penjaga
keamanan rumah. Keduanya mengawasi para perempuan
yang ada di dalam. Tak satupun pelayan perempuan yang
pernah diizinkan meninggalkan tempat kerjanya. Namun,
kata Madeline lewat telpon, Penjaga Yaman yang muda
lebih kejam dan tak akan mengizinkan siapa pun di pintu,
meski dengan alasan ibunya sedang sekarat. Namun
menurut Madeline, berhadapan dengan penjaga Yaman
yang tua, kita mungkin akan berhasil.
'Karena seluruh keluarga sedang berlibur ke Eropa,
penjaga Yaman yang muda itu diizinkan pulang ke Yaman
selama dua minggu untuk menikah. Saat itu, laki-laki di
rumah adalah penjaga Yaman yang tua dan tukang kebun
dari Pakistan.'
'Kulihat jam tangan, begitu juga Antoine. Akhirnya,
kami mendengar langkah kaki yang berjalan diseret ketika
laki-laki tua itu kembali. Pintu terbuka dengan pelan. Aku
menggigil, karena aku merasa seperti memasuki pintu
neraka. Penjaga Yaman yang tua itu menggerutu dan
membuat gerakan dengan tangannya bahwa Antoine
harus menunggu di luar. Hanya aku yang diizinkan
masuk.'
Aku tegang membayangkan ketakutan yang mesti
ditanggung Marci. 'Bagaimana kamu tetap berani? Kalau
aku, aku akan panggil polisi!'
Marci menggelengkan kepalanya. 'Polisi tidak akan
menolong orang Filipina di negeri ini. Kami akan
114
dilaporkan kepada majikan dan kemudian akan di penjara
atau dideportasi, sesuai dengan kehendak ayah Anda.
Polisi di negeri ini melayani yang kuat bukan yang lemah.'
Aku tahu apa yang dikatakannya benar. Orang
Filipina satu derajat lebih rendah dari kami perempuan
Saudi. Bahkan aku, seorang putri, tidak akan pernah
dibantu jika polisi harus melawan kehendak laki-laki di
keluargaku. Tapi aku lagi tidak ingin memikirkan
persoalanku saat itu; dengan tekun aku mendengarkan
petualangan Marci.
'Teruskan, ceritakan padaku, apa yang kamu
temukan di dalam?' Aku bayangkan kerja tersembunyi
sebuah monster Frankenstein Saudi! Karena merasa
mendapat perhatian dari tuannya, Marci menjadi
bersemangat. Ia mulai mengeluarkan ekspresi wajah dan
menggambarkan pengalamannya dengan suka hati.
'Dengan mengikuti langkah pelan penjaga Yaman
yang tua itu, aku dapat melihat sekitar. Blok-blok beton
tidak pernah dicat. Sebuah blok bangunan kecil di dekat
situ tak berpintu, hanya ruang terbuka dengan kain buruk
tua menutup dari atas. Dilihat dari kusutnya keset kaki,
kamar kecil yang terbuka dan bau sampah, aku tahu
orang Yaman tua itu pasti tinggal di sana. Kami melewati
kolam renang keluarga, tapi kolam itu tidak berair kecuali
sisa kotoran yang berwarna hitam di bagian terdalamnya.
Tiga kerangka tulang yang sangat kecil tampak seperti
sisa-sisa tulang anak kucing terletak di bagian dangkal
kolam.'
'Anak kucing? Oh Tuhan!' Marci tahu betapa aku
sangat menyukai semua bayi binatang. 'Kematian yang
menyedihkan!'
'Tampaknya seperti anak kucing. Aku kira mereka
lahir di kolam renang yang kosong itu dan induknya tidak
bisa membawa mereka keluar.'
115
Aku merasa ngeri dan putus asa.
Marci melanjutkan. 'Rumah itu sangat besar tapi
pemandangannya sama jeleknya seperti dindingnya.
Pernah dicat tapi badai pasir telah membuatnya jelek. Di
sana ada kebun, namun semua tanamannya mati karena
tidak disiram. Aku melihat empat atau lima burung dalam
kandang yang digantung di bawah pohon besar, tampak
menyedihkan dan kurus, tanpa nyanyian di hatinya.'
'Melalui pintu depan, orang Yaman itu meneriakkan
sesuatu dalam bahasa Arab kepada orang yang tak
kelihatan. Ia menganggukkan kepalanya padaku dan
memintaku masuk. Aku ragu-ragu di jalan masuk ketika
bau udara yang busuk menusuk hidungku. Dengan sangat
takut dan gemetar, aku memanggil nama Madeline.
Orang Yaman itu berbalik dan kembali untuk tidur
siang yang sempat terganggu.
'Madeline datang dari jalan masuk yang gelap.
Dengan cahaya yang sangat remang, padahal aku
baru saja melewati cahaya terang di luar, aku hampir
tidak melihat ia berjalan ke arahku. Ia mulai berlari ketika
tahu yang datang benar-benar teman lamanya, Marci.
Kami berpelukan. Aku terkejut melihat dia sangat bersih
dan wangi. Ia lebih kurus dari ketika aku bertemu
dengannya terakhir kali.'
Perasaan lega membanjiri tubuhku, karena
sebelumnya aku mengira Marci akan mengatakan bahwa
ia menemukan temannya dalam keadaan sekarat,
terbaring di tikar kotor, berjuang keras untuk
menyampaikan pesan terakhir agar tubuhnya dibawa
kembali ke Manila.
'Apa yang terjadi kemudian?' Aku ingin cepat
mengetahui akhir cerita Marci.
Suara Marci kemudian berbisik, seolah-olah
116
kenangan itu terlalu menyakitkan untuk diingat. 'Setelah
kami menyudahi tangisan dan pelukan yang melegakan,
Madeline mengajakku menuju jalan masuk yang panjang.
Ia menggenggam tanganku dan membimbingku menuju
ruangan kecil di sebelah kanan. Setelah mengarahkanku
ke sofa, ia duduk di lantai menghadap ke arahku.'
'Tiba-tiba ia menangis. Ketika ia menyembunyikan
wajahnya ke pangkuanku, aku membelai rambutnya dan
berbisik agar ia bercerita apa yang terjadi. Setelah
berhenti menangis, ia menceritakan hidupnya sejak
meninggalkan Manila satu tahun yang lalu.
'Di bandara, Madeline bertemu dengan dua penjaga
Yaman. Keduanya memegang kartu yang bertuliskan
nama Madeline dalam bahasa Inggris. Madeline pergi
dengan dua penjaga Yaman itu, karena ia tak tau apa
yang bisa dilakukan. Ia takut pada penampilan liar
keduanya, dan mengatakan bahwa ia cemas akan
keamananan dirinya ketika mereka membawanya dengan
cara yang kasar ke dalam kota. Ketika sampai di rumah
hari sudah larut malam; tidak ada lampu, sehingga ia
tidak bisa memerhatikan keadaan sekitar yang tak
terawat.
'Pada saat itu, seluruh keluarga sedang pergi ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ia diantar ke
kamarnya oleh seorang perempuan Arab yang sudah tua
dan tidak bisa berbahasa Inggris. Ia diberi biskuit dan
kurma serta teh panas. Ketika meninggalkan kamar,
perempuan tua itu menyampaikan catatan pada Madeline
bahwa tugas-tugasnya akan diberitahukan besok.'
'Perempuan tua itu pasti neneknya,' kataku.
'Mungkin Madeline tidak mengatakannya. Aku
memang tidak tahu. Hati Madeline ciut ketika sinar
matahari menerangi rumah barunya. Ia melompat melihat
ranjang tempat ia tidur, karena seprainya sangat kotor;
117
gelas dan piring semalam dikerumuni kecoak.
'Dengan tak bergairah, Madeline bergerak ke kamar
mandi dan mendapati shower yang tidak berfungsi. Ia
mencoba membersihkan tubuhnya dengan sisa sabun
yang kotor dan air suam-suam kuku. Ia berdoa pada
Tuhan agar menenangkan hatinya. Kemudian perempuan
tua itu mengetuk pintu.
'Tak ada pilihan, ia mengikuti perempuan itu ke
dapur tempat ia menerima daftar kewajiban. Madeline
membaca tulisan cakar ayam dan mengetahui bahwa
pekerjaannya adalah membantu memasak, membersihkan
rumah dan menjaga anak-anak. Perempuan tua itu
memberi isyarat dengan tangan agar Madeline
menyiapkan sarapannya sendiri. Setelah sarapan, ia mulai
membersihkan periuk dan panci.
'Bersama dengan Madeline, di sana ada tiga pekerja
perempuan lain: tukang masak tua dari India, seorang
pelayan yang cantik dari Sri Lanka dan seorang pelayan
sederhana dari Bangladesh. Tukang masak yang tua itu
berumur lebih kurang enam puluh tahun; sedang dua
pelayan yang muda-muda itu kira-kira berumur dua puluh
lima tahunan.
'Tukang masak itu tak mau berbicara dengan siapa
pun; ia kembali ke India dua bulan berikutnya, dan
mimpinya adalah kebebasan dan pulang. Sedangkan salah
satu pelayan yang masih muda pendiam tidak bahagia,
karena kontraknya baru akan selesai setahun lagi. Pelayan
cantik dari Sri Langka tidak banyak bekerja dan
menghabiskan sebagian besar waktunya di depan cermin.
Ia sangat menunggu-nunggu kepulangan keluarga
majikan. Ia mengisyaratkan dengan sangat jelas pada
Madeline bahwa ia sangat dicintai oleh majikannya.
Ia berharap majikannya akan membelikannya
kalung emas sekembalinya dari Mekkah.
118
'Madeline sangat terkejut ketika pembantu cantik itu
menyuruhnya berputar sehingga bentuk tubuhnya terlihat.
Perempuan itu kemudian meletakkan tangan di
pinggul Madeline dan mengatakan dengan menyeringai
bahwa majikannya akan menganggap Madeline terlalu
kurus untuk seleranya, tapi mungkin salah satu putranya
akan berminat. Madeline tidak mengerti maksud
perkataan itu dan melanjutkan kerja yang tak ada
ujungnya.
'Empat hari kemudian, keluarga itu kembali dari
Mekkah. Madeline langsung tahu bahwa majikannya
berasal dari keluarga kelas bawah; mereka kasar dan tata
kramanya buruk; perilaku mereka segera membuktikan
asumsi Madeline tersebut. Mereka mendadak kaya tanpa
usaha keras, dan pendidikan mereka hanya dari membaca
Alquran, yang karena kebodohan, maknanya mereka
putar-balikkan sesuai dengan keinginan mereka.
'Bagi kepala rumah tangga, status subordinat
perempuan yang diindikasikan dalam Alquran, dipahami
sebagai budak. Perempuan lain yang bukan Muslim
dianggap sebagai pelacur. Keadaan tidak berubah dengan
kenyataan bahwa ayah dan dua putranya bepergian ke
Thailand empat kali dalam setahun untuk mengunjungi
rumah pelacuran di Bangkok dan membeli pelayan seks
dari perempuan-perempuan Thailand yang muda dan
cantik. Mengetahui bahwa beberapa perempuan Timur
dijual, mereka menjadi yakin bahwa semua perempuan
yang bukan Muslim adalah untuk dibeli. Ketika seorang
pelayan disewa, itu mereka anggap bisa dimanfaatkan
seperti seekor binatang, menurut tingkah laki-laki di
rumah itu.
'Melalui ibu mereka, Madeline segera tahu bahwa ia
diperkerjakan untuk melayani hasrat seksual dua anak
laki-laki remaja mereka. Sang ibu memberitahu Madeline
119
bahwa ia harus melayani Basil dan Fads di setiap hari
yang berbeda. Informasi ini disampaikan tanpa
mengindahkan perasaan Madeline sama sekali.
'Takjub melihat pelayan yang seksi, sang ayah
memutuskan bahwa Madeline adalah sesuai dengan
seleranya. Ia mengatakan pada putra-putranya bahwa
mereka bisa tidur dengan pelayan baru itu setelah ia
memuaskan kesenangannya.'
Aku menarik nafas dan kemudian menahannya; aku
tahu apa yang baru saja dikatakan Marci. Aku tak ingin
mendengarnya.
'Nona Sultana, di malam pertama keluarga itu
pulang, sang ayah memperkosa Madeline!' Ia terisak-isak.
'Itu baru permulaan, karena ternyata sang ayah
sangat menyukai Madeline sehingga memperkosanya
setiap hari !'
'Mengapa ia tidak lari ? Minta tolong seseorang?'
'Nona, ia mencobanya. Ia memohon pada pelayanpelayan
lain agar membantunya! Tukang masak tua dan
pelayan muda yang jelek tidak mau terlibat, sebab
mereka bisa kehilangan gaji. Pelayan yang cantik
membenci Madeline, dan mengatakan bahwa gara-gara
Madeline, ia tidak mendapatkan kalung emasnya. Sang
istri dan si perempuan tua tidak diperlakukan dengan baik
oleh majikan; mereka mengabaikannya dan mengatakan
bahwa Madeline disewa untuk menyenangkan laki-laki di
rumah itu!'
'Aku akan melompat jendela dan lari !'
'Ia sering mencoba lari namun selalu tertangkap,
akhirnya setiap orang di rumah diperintah untuk
menjaganya. Suatu kali, ketika semua orang sedang tidur,
ia pergi ke atap dan menjatuhkan catatan ke trotoar
memohon pertolongan. Catatan itu diambil oleh tetangga
120
Arabnya dan diberikan ke penjaga Yaman, dan Madeline
dipukul!'
'Apa yang terjadi setelah kamu mendapati
Madeline?'
Wajah Marci sedih saat ia melanjutkan. 'Aku
mencoba segala cara. Aku menelpon kedutaan kami di
Jeddah. Aku mengatakan pada laki-laki yang
menjawabnya dengan mengatakan kami sering menerima
keluhan seperti itu tapi tak ada yang dapat mereka
lakukan. Negeri kami bergantung pada uang yang dikirim
dari para pekerja di luar negeri; pemerintah kami tidak
ingin menentang pemerintah Arab Saudi dengan
mengajukan keluhan formal. Akan menjadi apa kami,
masyarakat Filipina yang miskin, tanpa uang dari luar
negeri?
'Antoine mendiskusikan dengan beberapa sopir
untuk pergi ke polisi, tapi para sopir itu mengatakan
bahwa polisi akan lebih memercayai cerita yang
disampaikan oleh majikan Saudi dan Madeline bisa jadi
akan terjebak dalam situasi yang lebih buruk.'
Aku berteriak: 'Marci! Seburuk apa?'
'Tidak, Nona. Aku tak tahu apa yang dapat
kulakukan. Antoine menjadi takut dan mengatakan kita
tak bisa berbuat apa-apa. Aku akhirnya menulis surat
pada ibu Madeline dan menceritakan keadaan anaknya.
Ibu Madeline pergi ke agen penempatan tenaga
kerja di Manila, namun justru diusir. Ia pergi ke walikota
di kota kami, namun pejabat ini berkata tak dapat
membantu.
Tak seorang pun ingin terlibat.'
Di mana temanmu itu sekarang?'
'Aku menerima surat darinya sebulan yang lalu. Aku
bersyukur ia telah dikirim kembali ke Filipina di akhir
121
kontraknya selama dua tahun. Dua orang Filipina yang
baru, lebih muda dari Madeline, menggantikannya.
Percayakah Anda, nona, Madeline marah padaku. Ia pikir
aku meninggalkannya tanpa mencoba membantunya.
'Percayalah aku telah melakukan semua yang
kubisa. Aku menulis surat padanya dan menjelaskan
semua yang terjadi. Namun aku tak menerima
balasannya.'
Aku tak bisa mengatakan apa pun untuk membela
nama baik orang-orang sebangsaku. Aku menatap wajah
Marci.
Ia akhirnya memecah keheningan. 'Itulah nona, apa
yang terjadi pada temanku di negara ini.'
Aku bisa katakan Marci sangat bersedih karena
temannya. Aku sendiri didera duka cita. Bagaimana bisa
orang menanggapi cerita mengerikan seperti itu? Aku tak
bisa. Karena perilaku laki-laki di negeriku, aku merasa
malu, aku tak lagi merasa lebih tinggi di hadapan gadis
muda yang beberapa saat sebelumnya adalah pelayanku.
Diliputi oleh penyesalan yang mendalam, aku
mengubur kepalaku dalam bantal dan menyuruh Marci
pergi dengan mengibaskan tanganku. Selama beberapa
hari, aku diam dan menyendiri; aku berfikir tentang
banyak sekali pelecehan yang menyiksa pikiran orangorang,
Saudi atau asing, yang hidup di negeri yang
kusebut rumahku.
Berapa banyak lagi Madeline lain yang ada di luar
sana, menggapai-gapai minta perhatian dan tak
menemukan pertolongan apa pun. Dibalut seragam resmi
orang-orang yang membayar? Laki-laki Filipina, di negeri
Marci, agak sedikit lebih baik dari laki-laki di negeriku,
karena mereka mengambil langkah seribu menjauhi
keterlibatan pribadi.
122
Ketika aku terbangun dari rasa malu yang
mengganggu, aku mulai menginterogasi teman-temanku
dan menguber ketidakpedulian mereka terhadap nasib
para pelayan perempuan mereka. Karena kegigihanku,
aku mendapat banyak laporan dari pihak pertama tentang
tindakan-tindakan menjijikkan dan tak terucapkan yang
dilakukan oleh laki-laki dari kebudayaanku terhadap
perempuan dari semua bangsa.
Aku mendengar tentang Shakuntala dari India, anak
yang pada usia tiga belas tahun dijual oleh keluarganya
seharga 600 riyal Saudi ($170). Ia bekerja di siang hari
dan dilecehkan pada malam hari dengan cara yang sama
dengan yang dialami Madeline. Namun Shakuntala dibeli.
Ia adalah harta milik yang tak akan dikembalikan
Shakuntala tak akan pernah bisa pulang ke rumah lagi. Ia
adalah harta milik penyiksanya.
Aku mendengar dengan ngeri ketika seorang ibu
yang dengan tertawa membiarkan pelayan Thailandnya
diperkosa oleh anak lelakinya di rumah. Ia berkata bahwa
anak laki-lakinya membutuhkan seks, dan kesucian
perempuan Saudi memaksa keluarga itu untuk
menyediakan perempuan bagi mereka. Ia berkata dengan
yakin bahwa perempuan Timur tak peduli tidur dengan
siapa. Anak laki-laki adalah Raja di mata ibu mereka.
Tiba-tiba aku sadar dengan kejahatan yang dapat
menyusup. Aku bertanya kepada Faruq mengapa ia dan
ayah bepergian ke Thailand dan Filipina tiga kali setahun.
Ia merengut dan mengatakan padaku itu bukan
urusanmu. Tapi aku tahu jawabannya, karena banyak
saudara laki-laki dan ayah teman-temanku melakukan
perjalanan yang sama ke negeri indah yang menjual anak
gadis mereka dan perempuan pada setiap jahanam yang
memiliki uang.
Aku sadar bahwa aku telah mengetahui sedikit
123
tentang laki-laki dan hasrat seksual mereka. Permukaan
hidup tak lebih dari bagian muka sebuah gedung, dengan
sedikit usaha aku menyibak kejahatan yang tersembunyi
di balik kulit tipis kesopanan antara dua jenis kelamin.
Untuk kali pertamanya di masa mudaku, aku
mengerti tugas maha berat yang menghadang kaum
perempuan. Aku tahu tujuanku tentang kesetaraan
perempuan akan sia-sia, karena aku akhirnya tahu bahwa
laki-laki sangat mencintai diri mereka sendiri dan kondisi
itu sangat mengerikan. Kami, perempuan, hanyalah
budak, dan dinding-dinding penjara kami tak dapat diukur
karena penyakit 'superior' yang aneh ini tinggal dalam
sperma semua laki-laki dan diwariskan dari generasi ke
generasi, penyakit mematikan yang tak dapat
disembuhkan, yang tempatnya ada pada laki-laki dan
korbannya adalah perempuan.
Kepemilikan tubuh dan jiwaku akan segera
berpindah dari ayahku ke orang asing yang akan kusebut
suamiku, karena ayah telah memberitahuku bahwa aku
akan menikah tiga bulan setelah umurku enam belas
tahun. Aku merasa rantai tradisi mengungkungku dengan
ketat; aku hanya memiliki waktu enam bulan yang singkat
untuk menikmati kebebasanku. Aku menunggu nasibku
terbentang, seorang anak yang sama tak berdayanya
dengan serangga yang terperangkap dalam jaringan jahat
yang bukan buatannya.
124
10
Pada tanggal 12 januari 1972 jam sepuluh malam, aku
dan semua saudariku mengikuti dengan seksama ramalan
masa depan Sara oleh Huda, budak Sudan kami yang
sudah tua. Setalah mengalami perkawinan dan perceraian
yang traumatis, Sara belajar astrologi dan yakin bahwa
bulan dan bintang memainkan peran menentukan dalam
kehidupannya. Huda, yang mengisi telinga kami semenjak
dini dengan berbagai cerita tentang ilmu hitam, sangat
senang menjadi pusat perhatian dan bisa dijadikan
selingan dari hidup monoton di Riyadh.
Kami semua tahu di tahun 1899, pada usia delapan
tahun, Huda pergi menghilang dari ibunya yang sedang
sibuk menggali ubi rambat sebagai bahan makan malam
keluarga, dan ditangkap oleh pedagang budak dari Arab.
Ketika kami masih kecil, ia menjadi penghibur di rumah
selama berjam-jam dengan kisah penangkapan dan
pengurungan dirinya.
125
Huda selalu memerankan kembali peristiwa
penangkapannya dengan bakat yang hebat, yang
memberi keceriaan pada kami, tak peduli berapa kali ia
mengulang-ulang ceritanya. Ia mendekam di atas sofa
dan menyanyi dengan pelan, berpura-pura menggaruk
pasir. Dengan mengeluarkan bunyi ciut-ciut liar, ia
merenggut sarung bantal yang ada di belakang
punggungnya dan kemudian dikenakan menutupi
kepalanya, terengah-engah dan membayangkan
menendang penyiksanya. Ia mengerang dan
menghempaskan badannya ke lantai dan menendang
serta berteriak memanggil ibunya. Akhirnya, ia melompat
ke meja dan mengintai dari jendela ruang tamu,
menjelaskan air biru Laut Merah yang dilewati oleh kapal
yang membawanya dari Sudan ke padang pasir Arabia.
Matanya menjadi liar ketika ia membayangkan
berkelahi dengan pencuri yang mengambil makanannya
yang hanya sedikit. Ia mengambil buah persik atau buah
pir dari keranjang buah dan dengan lapar melahap
semuanya kecuali bijinya. Kemudian ia berjalan ke
sekeliling ruangan, tangan diletakkan ke belakang
punggung, sambil memohon pada Allah untuk
pembebasannya ketika ia dibawa ke pasar budak.
Huda diijual demi sebuah senapan pada keluarga
bani Rashid dari Riyadh. Huda tersandung ketika ia
digiring dari jalanan di Jeddah melewati badai pasir
dahsyat menuju benteng Mismaak, garnisun bani Rashid
di ibu kota.
Dalam permainan dramanya itu, Huda kemudian
bergerak dengan tiba-tiba dari satu perabot ke perabot
lainnya. Kami akan menjerit sambil tertawa ketika Huda
melompat-lompat di sekeliling ruangan menghindari
peluru dari para leluhur keluarga kami Abdul Aziz muda
dan enam belas anak buahnya saat menyerang garnisun
126
dan menaklukkan bani Rashid, merebut kembali negeri
milik bani Saud. Huda melemparkan tubuh gemuknya ke
atas kursi dan berjuang mencari perlindungan ketika
prajurit padang pasir membunuh musuh-musuh mereka.
Katanya, ia diselamatkan oleh kakekku. Huda akan
mengakhiri permainan dramanya dengan bergulat di lantai
dengan seorang anak yang ada didekatnya dan
menciumnya berkali-kali, bersumpah ia telah mencium
kakekku yang menyelamatkan dirinya. Begitulah cerita
bagaimana Huda masuk ke keluarga kami.
Ketika kami tumbuh besar, ia mengganti ceritacerita
drama itu dengan menakut-nakuti kami dengan
cerita cerita ilmu sihir. Ibu biasanya menolak cerita-cerita
Huda dengan senyuman, namun setelah aku terbangun
dan berteriak tentang nenek sihir dan obat pengasih, ibu
melarang Huda menjejalkan kisah-kisah gaibnya pada
anak-anak kecil. Sekarang ibu sudah tiada. Huda kembali
bersemangat dengan kebiasaan lamanya.
Kami tertarik ketika Huda menatap tajam pada garis
telapak tangan Sara dan mengedipkan matanya seolaholah
ia melihat kehidupan Sara terbentang di hadapannya,
layaknya sebuah ramalan.
Sara tampaknya tak banyak terpengaruh. Ia purapura
mengharapkan kata-kata, ketika Huda dengan
sungguh-sungguh mengatakan padanya bahwa ia akan
gagal merealisasikan cita-cita hidupnya. Aku mengerang
dan bersandar ke tumitku; aku sangat ingin Sara
menemukan kebahagiaan yang patut didapatkannya.
Aku merasa jengkel pada Huda, dan dengan keras
menolak ramalannya sebagai omong kosong belaka. Tak
seorang pun mengacuhkanku ketika Huda terus meneliti
dengan cermat garis kehidupan Sara. Perempuan tua itu
menggosok tulang dagunya yang kurus dengan tangannya
dan berkomat kamit: 'Hmm, Sara. Aku melihat di sini
127
bahwa kamu akan segera menikah.'
Sara mendengus dan menarik tangannya dari
genggaman Huda. Mimpi buruk menikah lagi bukanlah
sesuatu yang ingin didengarnya.
Huda tertawa lembut dan mengatakan pada Sara
agar tidak lari dari masa depan. Dia menambahkan bahwa
Sara akan mendapatkan perkawinan penuh cinta dan
melahirkan enam anak kecil yang akan memberinya
kebahagiaan.
Sara mengernyitkan alisnya, merasa khawatir.
Kemudian ia mengangkat bahunya dan melepaskan
apa yang tak bisa dipegangnya. Ia melihat padaku dan
tersenyum tipis. Ia menyuruh Huda membaca telapak
tanganku, sambil mengatakan jika Huda bisa meramalkan
tindakan apa yang akan dilakukan saudarinya yang sulit
diprediksi ini, maka ia baru akan percaya pada
kemampuan Huda. Suadari-saudariku yang lain tertawa
lebar dan setuju dengan apa yang dikatakan Sara, dari
pandangan mereka bisa kukatakan bahwa mereka sangat
mencintaiku, adik kecil yang selalu menguji kesabaran
mereka.
Ketika aku menjatuhkan diri di hadapan Huda, aku
angkat kepalaku dengan kesombongan yang tak kusadari.
Dengan suara keras dan berlagak bos, aku buka telapak
tanganku dan minta diramal apa yang akan kulakukan
dalam satu setahun yang akan datang.
Huda tak menghiraukan sikapku yang kasar dan
mempelajari telapak tanganku yang terbuka, yang serasa
berjam-jam sebelum ia mengungkapkan ramalan nasibku.
Sikapnya mengejutkan kami semua; ia menggelenggelengkan
kepala, berkomat kamit sendiri dan mengerang
keras memenungkan masa depanku. Akhirnya, ia
menatap wajahku dan dengan sangat yakin mengatakan
128
ramalannya sehingga aku takut dan merasakan angin sihir
panas yang jahat dalam kata-kata itu.
Dengan suara dalam yang aneh, Huda mengungkapkan
bahwa ayah akan segera memberitahukan
perkawinanku. Aku akan menemukan kesengsaraan dan
kebahagiaan pada seorang laki-laki. Tindakanku di masa
depan akan membawa kebahagiaan sekaligus kesedihan
pada keluarga yang kucintai. Aku akan menjadi penerima
warisan cinta yang agung dan kebencian yang jahat. Aku
adalah kekuatan baik dan jahat. Aku adalah teka-teki bagi
semua yang mencintaiku.
Dengan teriakan keras yang menusuk, Huda
menjulurkan tangannya ke udara dan memohon Allah agar
ikut campur tangan dalam hidupku dan melindungiku dari
diriku sendiri. Ia membuatku bergeser dari tempat duduk
ketika ia menyergap dan merangkul leherku dan mulai
meratap dengan jeritan melengking tinggi.
Nura melompat berdiri dan melepaskanku dari
pelukan Huda yang menyesakkan. Saudari-saudariku
menenangkanku ketika Nura membawa Huda keluar dari
ruangan, dengan masih berkomat-kamit berdoa pada
Allah untuk melindungi anak perempuan terkecil Fadila
yang terkasih.
Aku gemetar karena pengaruh kuat ramalan Huda.
Aku mulai terisak-isak dan bicara ngelantur bahwa dulu
Huda pernah membual bagaimana ia menjadi penyihir,
ibunya (ibu Huda) juga penyihir, dan kekuatan sihir
mengalir dari air susu ibu ke bayi yang menyusunya.Tentu
saja, gumamku, hanya penyihir yang bisa mengetahui
orang yang sejahat aku!
Tahani, salah satu kakakku, menyuruhku diam,
permainan bodoh sudah usai, tidak perlu didramatisir.
Sara, yang berusaha menenangkan suasana, menghapus
air mataku dan mengatakan bahwa aku sedih karena
129
takut; bahwa hidupku tidak akan seperti yang diramalkan
Huda. Di samping usaha menenangkan dari Sara,
saudariku yang lain mulai bercanda dan mengingat
dengan gelak tawa 'permainan' yang berhasil kulakukan
pada Faruq selama bertahun-tahun. Mereka
mengingatkanku dengan suatu permainan yang paling
mereka sukai yang, karena kedekatan, mulai kami
bicarakan lagi.
Permainan itu terjadi ketika aku meminta salah satu
teman perempuanku untuk menelpon Faruq dengan
berpura-pura menyukainya. Selama berjam-jam kami
mendengar Faruq mencelotehkan omong kosong di
telepon dan membuat rencana yang sangat terperinci
untuk bertemu dengan sopir teman perempuanku itu di
belakang rumah yang sedang dibangun, yang tak jauh
tempatnya. Temanku meminta agar Faruq menggendong
bayi domba untuk memudahkan sopir mengenalinya. Ia
mengatakan bahwa orang tuanya sedang keluar kota,
sehingga Faruq bisa aman mengikuti sopir itu ke
rumahnya untuk melakukan pertemuan rahasia.
Posisi bangunan yang dimaksud berada di seberang
jalan depan rumah temanku. Aku, saudari-saudariku, dan
temanku itu berkumpul bersama di balkon kamar
tidurnya. Kami tertawa sampai sakit perut saat melihat
Faruq yang malang berdiri berjam-jam, menggendong
bayi domba dan menengok ke kanan dan ke kiri mencari
sopir yang dijanjikan. Parahnya lagi, temanku itu
melakukannya tak hanya sekali dua kali, namun sampai
tiga kali! Karena sangat ingin bertemu temanku itu, Faruq
kehilangan akal sehatnya.
Terdorong oleh gelak tawa dan pandangan saudarisaudariku,
aku membuang jauh-jauh ramalan Huda dari
pikiranku. Bagaimanapun, Huda telah berumur lebih dari
delapan puluh tahun, dan mungkin ia sudah pikun.
130
Aku kembali khawatir ketika ayah mengunjungi kami
malam itu dan mengatakan bahwa ia telah menemukan
suami yang cocok untukku. Dengan hati ciut aku hanya
dapat berfikir bahwa ramalan pertama Huda telah terbukti
benar. Karena ketakutan, aku lupa bertanya pada ayah
nama calon suamiku, lalu melarikan diri ke kamar dengan
mata gelap dan tenggorokan pahit empedu. Aku berbaring
dan terjaga hampir sepanjang malam memikirkan katakata
Huda. Untuk kali pertamanya di masa mudaku, aku
takut akan masa depanku.
Nura kembali ke rumah kami keesokan paginya
untuk memberitahu bahwa aku akan menikah dengan
Karim, salah satu sepupu keluarga kerajaan. Ketika masih
kecil, aku sering bermain dengan adik dari calon suamiku
itu, tapi aku rasa ia tak banyak membicarakannya kecuali
komentarnya bahwa abangnya itu suka berlagak bos. Ia
sekarang berumur dua puluh delapan tahun, dan aku akan
menjadi istri pertamanya. Nura mengatakan padaku
bahwa ia telah melihat fotonya; ia sangat tampan. Tidak
hanya itu; ia menyelesaikan pendidikannya di London
sebagai pengacara. Lebih luar biasa lagi, ia berbeda dari
sebagian besar sepupu kerajaan dan ia memiliki posisi
yang pasti dalam dunia bisnis. Baru-baru ini, ia membuka
firma hukum sendiri di Riyadh. Nura menambahkan bahwa
aku sangat beruntung, karena Karim telah mengatakan
pada ayah bahwa aku harus menyelesaikan sekolahku
dulu sebelum berkeluarga. Ia tidak menginginkan
perempuan yang tidak bisa dijadikan teman berbagi.
Aku sedang tidak ingin digurui, aku
memberenggutkan wajah pada kakakku, dan menarik
selimut ke kepalaku. Nura menarik nafas panjang ketika
aku berteriak bahwa bukan aku yang beruntung, tetapi
Karim!
Setelah Nura pergi, aku menelpon saudara
131
perempuan Karim, orang yang tidak begitu kukenal, dan
mengatakan padanya untuk menasehati abangnya agar
mempertimbangkan kembali rencana menikahiku. Aku
mengancam, jika menikah denganku, ia tidak boleh
beristri lagi atau aku akan meracuni istri-istri itu pada
kesempatan pertama. Di samping itu, kukatakan padanya,
ayah sulit mencarikan suami untukku semenjak aku
mengalami kecelakaan di laboratorium sekolah. Ketika
saudari Karim bertanya padaku apa yang terjadi, aku
berpura-pura malu tapi akhirnya mengaku bahwa aku
dengan ceroboh menumpahkan sebotol zat asam;
akibatnya, wajahku menjadi sangat menakutkan. Aku
tertawa senang ketika ia menggantung telepon dan
dengan terburu-buru menceritakan pada abangnya.
Kemudian pada malam harinya, ayah dengan sangat
marah datang ke rumah membawa dua orang bibi Karim.
Aku dipaksa berdiri tegak sementara mereka
meneliti seluruh tubuhku, mencari tanda-tanda bekas luka
di wajah atau anggota badan yang bentuknya tidak serasi.
Aku sangat marah dengan pemeriksaan itu,
sehingga aku membuka mulutku dan mengatakan pada
mereka untuk memeriksa gigiku, jika mereka berani. Aku
mencondongkan tubuh ke arah mereka dan mengeluarkan
suara gemertak gigi yang keras. Mereka lari keluar, kaget,
ketika aku meringkik seperti kuda dan mengangkat
telapak kakiku ke wajah mereka, sebuah penghinaan yang
sangat parah di Arab.
Ayah berdiri dan memandangku lama. Ia tampak
berusaha menahan emosinya. Aku heran, ia justru
menggelengkan kepalanya dan mulai tertawa. Aku
mengira ia akan menamparku atau mengomeliku, tak
pernah terbayang dalam pikiranku yang paling liar pun
bahwa beliau akan tertawa. Aku tersenyum kacau, dan
kemudian aku juga mulai tertawa. Terdorong rasa
132
penasaran, Sara dan Faruq masuk ke ruangan dan berdiri
dengan senyum yang penuh tanya di wajah mereka.
Ayah menjatuhkan tubuh ke sofa, menghapus air
mata yang menetes di wajahnya dengan dengan ujung
thobe (rok panjang yang biasa dikenakan laki-laki
Saudinya. Ia melihat ke arahku dan berkata: 'Sultana,
apakah kamu lihat wajah mereka ketika kamu hendak
menggigit mereka? Yang satu nampak seperti kuda! Nak,
kamu memang menakjubkan. Aku tak tahu apakah akan
kasihan atau iri kepada sepupumu, Karim.' Kata ayah
sambil membersihkan hidungnya. 'Karena pasti, hidup
denganmu akan menjadi percintaan yang bergelora.'
Merasa sengit dengan sikap setuju ayah, aku duduk
di lantai dan memiringkan tubuhku ke pangkuannya. Aku
ingin membuat situasi ini bertahan lama ketika ia
memegang bahuku dan tersenyum pada putrinya yang
mengelikan ini. Dalam situasi yang akrab tersebut, aku
jadi berani dan meminta ayah apakah aku bisa bertemu
dengan Karim sebelum pernikahan.
Ayah menoleh dan melihat ke Sara; gurat ekspresi
Sara menyentuh hati ayah. Ia menepuk sofa di
sampingnya dan menyuruh Sara duduk. Tak ada kata
yang terucap di antara kami bertiga, tapi kami
berkomunikasi melalui ikatan keluarga.
Faruq, kaget dengan perhatian yang diberikan pada
perempuan di keluarganya, menyandar ke pintu dengan
mulut melongo, lidahnya kelu.
133
11
Sangat menyenangkan ayah, namun sedikit
mengecewakanu, keluarga Karim tidak membatalkan
pertunangan kami. Sebagai gantinya Karim dan ayahnya
datang ke kantor ayahku, dan dengan sopan mereka
meminta agar Karim diizinkan bertemu denganku, tentu
saja dengan pengawasan yang sepantasnya. Dari
kerabatnya, Karim telah mendengar perilakuku yang suka
memberontak dan sangat ingin tahu apakah aku benarbenar
gila atau hanya karena terlalu bersemangat.
Ayah memang tidak merespon permohonanku untuk
bisa bertemu Karim, tapi berbeda halnya jika yang
meminta itu dari keluarga laki-laki. Setelah didiskusikan
panjang lebar dengan beberapa anggota keluarga, bibi
dan kakakku Nura, ayah memberikan jawaban
menyenangkan atas permintaan Karim.
Ketika ayah menyampaikan berita itu padaku,
dengan sangat gembira aku menari-nari di sekeliling
ruangan. Aku akan melihat terlebih dahulu laki-laki yang
134
akan kunikahi! Aku dan kakak-kakakku sangat gembira,
karena peristiwa seperti itu tak pernah terjadi dalam
masyarakat kami; kami adalah tawanan yang pernah
merasakan melonggarnya rantai tradisi.
Orangtua Karim, ayahku dan Nura memutuskan
bahwa Karim dan ibunya akan datang ke rumah dalam
dua minggu di saat minum teh sore hari. Aku dan Karim
akan ditemani oleh Nura, Sara, dua bibiku, dan ibu Karim.
Dengan adanya kemungkinan mengendalikan
hidupku di masa yang akan datang, muncul harapan,
sebuah khayalan yang tak berani kubayangkan kemarin.
Aku merasa gembira dan ingin tahu apakah Karim
sudah sesuai dengan harapanku. Namun aku terasuki
pikiran yang tak menyenangkan tentang kemungkinan
Karim tak menyukaiku! Oh betapa aku ingin cantik seperti
Sara, sehingga hati-laki-laki akan berdebar-debar penuh
hasrat.
Sekarang aku berdiri berjam-jam di depan cermin
mengutuk tubuhku yang kecil, rambut berombak yang
pendek. Hidungku tampak terlalu kecil untuk wajahku,
mataku tidak berkilau. Mungkin lebih baik aku
bersembunyi di balik cadar sampai malam pernikahan!
Sara ketawa-ketawa kecil melihat aku menderita dan
ia mencoba meyakinkanku; laki-laki menyukai perempuan
yang mungil, khususnya yang berhidung kecil bangir dan
mata yang ceria. Nura, yang pendapatnya selalu
dihormati, berkata dengan tertawa bahwa semua
perempuan dalam keluarga menganggapku sangat cantik.
Hanya saja aku tak pernah memerhatikan
kecantikanku; mungkin sudah waktunya aku merawat
tubuhku.
Tiba-tiba, karena sangat ingin dianggap sebagai
perempuan cantik yang menjadi dambaan, kukatakan
135
kepada ayah bahwa aku tak punya pakaian layak pakai.
Perempuan Saudi memang memakai cadar saat di luar
rumah, namun penutup berwarna gelap itu akan dibuang
saat memasuki rumah teman perempuan. Karena kami
tak bisa membuat lawan jenis terpesona , kecuali kepada
suami, dengan gaya pakaian yang dipilih secara hati-hati,
maka kami para perempuan berusaha saling membuat
terpesona satu sama lain. Di sini, kami berpakaian benarbenar
untuk perempuan lain! Sebagai contoh, untuk
datang pada pesta minum teh, perempuan di negeriku
akan dengan cermat memilih pakaian berbahan kain satin
berjelujur emas-perak, berhiaskan permata dan batu
delima yang mahal.
Banyak teman asing terpesona dengan garis leher
yang tertutup kalung dan pakaian minim yang
tersembunyi di balik abaya-abaya kami yang tak menarik.
Aku diberitahu bahwa dengan gaya pakaian yang ada di
balik abaya dan cadar hitam, kami, perempuan Saudi,
mirip burung eksotik yang berwarna warni. Sudah pasti,
dengan balutan kain hitam, kami membutuhkan lebih
banyak waktu dan usaha untuk memilih pakaian-pakaian
pribadi dibandingkan perempuan Barat yang bebas
memamerkan pakaian mereka, sesuai dengan mode
terakhir.
Ayah, karena gembira melihatku tertarik dengan
perkawinan yang ia pikir akan kukacaukan, dengan cepat
meluluskan permintaanku. Nura dan suaminya
menemaniku pergi berbelanja ke Harrods, London.
Dengan susah payah aku katakan kepada wanita
penjaga toko Harrods bahwa aku akan bertemu
tunanganku minggu depan. Hanya karena aku putri Saudi,
aku tidak ingin mereka mengira aku tak punya pilihan
dalam hidupku. Aku merasa kecewa karena tak seorang
pun kagum atau terkejut pada kesombongan yang
136
kuungkapkan. Orang-orang yang bebas tidak bisa
mengerti nilai kemenangan kecil orang-orang yang hidup
dengan tali penambatan.
Ketika di London, Nura mempersiapkan make-over
kosmetik untukku dan memperlihatkan pilihan-pilihan
warna untuk pakaianku. Ketika dikatakan bahwa warna
hijau zambrud adalah warna yang paling sesuai denganku,
aku membeli tujuh belas pasang pakaian dengan warna
itu. Rambutku, yang susah diatur ditarik ke belakang
dengan gulungan lembut. Ketika aku berjalan melintasi
distrik pertokoan di London, dari pantulan jendela toko
aku menatap dengan sangat takjub pada diriku yang
tampak sangat berbeda.
Sara dan Marci membantuku berpakaian di hari
pesta itu. Aku mengutuk dan menjerit karena tidak bisa
kembali meniru gaya rambut Londonku saat Huda tibatiba
muncul di pintu kamarku. 'Hati-hati,' ia berteriak,
matanya menyipit. 'Pertama kau akan bahagia, tapi
kemudian kamu sengsara bersama suamimu.' Aku
melempar sisirku padanya, dan dengan keras memintanya
untuk tidak merusak hariku dengan bualannya. Sara
menjewer telingaku dan mengatakan kepadaku untuk
malu pada diri sendiri; Huda hanyalah seorang perempuan
tua. Hatiku tak tersentuh sama sekali, begitu yang
kukatakan kepada Sara. Sara mengatakan, hal itu
disebabkan karena aku tak memiliki hati nurani. Kami
saling mendongkol sampai bel pintu berbunyi; kemudian
ia memelukku dan mengatakan aku tampak cantik dalam
bungkusan pakaian hijau zambrud.
Aku benar-benar akan bertemu calon suamiku tanpa
memakai abaya! Suara hatiku yang berdebar keras
memenuhi gendang telingaku. Merasa semua orang akan
memandang gerak-gerikku, pipiku menjadi merah,
sehingga merusak penampilan sempurna yang aku
137
rencanakan. Oh, aku ingin kembali ke masa kecilku yang
aman!
Aku tak menginginkan perasaan seperti itu. Karim
bukan hanya seorang laki-laki paling tampan yang pernah
kulihat; matanya yang penuh perasaan memerhatikan
setiap gerakanku dan membuatku merasa menjadi
makhluk tercantik di dunia ini. Dan dari menit-menit
perkenalan yang menegangkan itu, aku tahu ia tak akan
pernah membatalkan pertunangan. Aku merasa memiliki
bakat tersembunyi yang mengejutkan, sesuatu yang
paling membantu perempuan yang harus bermain-main
untuk mencapai tujuannya. Aku sadar aku adalah
penggoda yang alami. Dengan sangat mudah aku
mengerutkan bibirku dan melihat ke Karim dengan mata
merunduk. Khayalanku melambung: Karim hanya salah
satu dari sekian banyak pelamarku.
Ibu Karim yang memerhatikanku dengan seksama,
resah dengan kelakukan liarku. Sara, Nura, dan bibibibiku
saling bertukar pandang sedih. Namun Karim
terhipnotis, dan tak peduli dengan yang lain.
Sebelum pergi bersama ibunya, Karim bertanya
padaku apakah boleh menelponku di suatu malam dalam
minggu ini untuk mendiskusikan rencana perkawinan.
Aku membuat malu bibi-bibiku dengan tidak
meminta izin pada mereka terlebih dahulu, dan segera
menjawab:
'Tentu saja, kapan pun, tapi sebaiknya setelah jam
sembilan.' Aku memberi senyuman harapan ketika Karim
mengucapkan selamat tinggal.
Aku mendendangkan lagu kesukaanku, balada cinta
Libanon, ketika Nura, Sara, dan bibiku mengatakan
kepadaku secara rinci kesalahan yang telah kulakukan.
Menurut mereka, ibu Karim pasti bersikeras untuk
138
membatalkan perkawinan, karena aku menggoda anaknya
dengan mata dan bibirku. Kukatakan, mereka semua
cemburu karena aku mendapat kesempatan melihat calon
suamiku sebelum perkawinan dilangsungkan. Aku
meleletkan lidah ke bibi-bibiku dan mengatakan kepada
mereka bahwa mereka terlalu tua untuk memahami
getaran hati anak muda; aku meninggalkan mereka yang
terbelalak, terkejut dengan keberanianku. Kemudian aku
mengunci diri dalam kamar mandi, dan mulai menyanyi
sekeras-kerasnya.
Kemudian aku berfikir tentang penampilanku. Jika
aku tidak suka Karim, aku bisa pastikan dia tidak suka
padaku. Aku suka Karim, jadi akan kubuat dia jatuh cinta
padaku. Bagaimanapun tindakanku sudah bagus; jika aku
merasa ia menjijikkan dan ingin pertunangan dibatalkan,
aku akan makan dengan tidak sopan, bersendawa di
hadapan wajah ibunya, dan menumpahkan teh panas ke
pangkuannya. Jika Karim dan keluarganya masih tidak
yakin bahwa aku bukan istri yang cocok untuk Karim, aku
mungkin berpikir untuk bunuh diri. Beruntunglah Karim
dan ibunya; mereka selamat dari sore yang mengejutkan
karena aku merasa dia cukup menarik dan kepribadiannya
menyenangkan.
Aku begitu lega mengetahui aku tidak akan menikahi
laki-laki tua, dan aku pikir cinta akan tumbuh subur dalam
perkawinan kami.
Dengan pikiran-pikiran yang menyenangkan seperti
itu, aku memberi Marci enam stel pakaian yang indah dari
lemariku dan mengatakan padanya kalau aku akan
bertanya kepada ayah apakah aku bisa mengajaknya ke
rumah baruku.
Karim menelponku malam itu. Dengan sangat
gembira, ia mengatakan padaku ibunya menasehatinya
untuk membatalkan perkawinan. Ibunya gemetar marah
139
melihat keberanianku; ia meramalkan bahwa aku akan
membuat anak tertuanya sakit kepala, dan menjadi
bencana bagi seluruh keluarga.
Merasa yakin dengan tipu muslihat yang baru saja
kutemukan, aku dengan masam menjawab agar ia lebih
baik menuruti nasehat ibunya.
Karim berbisik bahwa aku adalah gadis impiannya:
anggota keluarga kerajaan, cerdas dan punya selera
humor yang tinggi. Karim menyatakan, ia tak menyukai
tipe perempuan yang disukai ibunya; yang hanya duduk
mematung, dan mencoba memenuhi semua keinginan
suami (seperti perempuan umumnya di Saudi). Ia lebih
menyukai perempuan pemberani; ia bosan dengan
perempuan biasa. Ia menambahkan, dengan bisikan yang
menggairahkan, bahwa aku membuat matanya bahagia.
Karim kemudian mengemukakan persoalan yang
membingungkan; ia bertanya apakah aku telah dikhitan.
Kukatakan padanya aku harus bertanya pada ayah.
Ia memperingatiku: 'Jangan, jangan tanyakan. Jika kamu
tidak tahu, itu berarti kamu tidak dikhitan.' Ia tampak
senang dengan jawabanku.
Dengan lugu, aku kemukakan pertanyaan karim
tentang khitan saat keluarga berkumpul untuk makan
malam. Saat itu ayah sedang berada di rumah istri
ketiganya, sehingga Faruq yang duduk di ujung meja
makan, terkejut dengan pertanyaanku. Ia meletakkan
gelasnya dengan keras dan melihat ke Sara meminta
komentar. Aku terus mencocolkan rotiku ke hum
(makanan khas Arab terbuat dari semacam kacang
panjang atau buncis), dan untuk sesaat, tidak melihat
mata saudariku gelisah. Ketika aku mengangkat kepala,
aku melihat semua orang gusar.
Faruq, yang merasa sebagai pemimpin keluarga,
140
memukulkan tangannya ke atas meja dan bertanya dari
mana aku mendengar kata itu. Menyadari telah terjadi
kesalahan, aku ingat peringatan Karim dan mengatakan
aku mendengarnya dari beberapa pembicaraan para
pelayan. Faruq tak peduli dengan ketidaktahuanku. Ia
membelalak ke arahku dan dengan kasar meminta Sara
menelpon Nura besok pagi dan menyuruhnya berbicara
pada 'anak ini'.
Dengan meninggalnya ibu kami, Nura, sebagai anak
tertua, bertanggung jawab atas pengetahuanku tentang
persoalan seperti itu. Ia sampai di rumah sebelum jam
sepuluh pagi dan langsung datang ke kamarku. Ia
dipanggil oleh Faruq. Wajahnya tampak masam ketika ia
mengatakan bahwa Faruq memberitahunya bahwa
perannya sebagai anak perempuan tertua sangat
menyedihkan. Faruq bermaksud memberitahukan pada
ayah mengenai pengamatan dan perasaan tidak
senangnya.
Nura duduk di sisi tempat tidur dan bertanya padaku
dengan suara lembut apa yang kuketahui tentang
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Aku menjawab
dengan yakin bahwa aku tahu semua yang harus
diketahui.
Kakakku tersenyum ketika berucap: 'Aku takut jika
lidahmu adalah tuanmu, adik kecil. Mungkin kamu tidak
mengetahui semua tentang kehidupan.'
Seperti yang ia tangkap, aku telah mengetahui banyak
hal tentang perilaku seks.
Di Arab Saudi, seperti di banyak dunia Arab,
persoalan seks dianggap tabu. Akibatnya, perempuan
malah selalu membicarakannya. Diskusi-diskusi berkenaan
dengan seks, laki-laki dan anak-anak, menyeruak dalam
semua perkumpulan para perempuan.
141
Di negaraku, karena sedikit aktifitas yang bisa
menghibur perempuan, kesibukan utama mereka adalah
berkumpul di istana-istana. Menghadiri pesta kaum
perempuan setiap hari dalam seminggu merupakan hal
yang biasa, termasuk di hari Jumat, yang merupakan hari
suci di dalam Islam. Kami berkumpul, minum kopi dan
teh, makan makanan manis, bermalas-malasan di sofa
yang empuk dan bergosip. Segera setelah seorang
perempuan mulai memakai cadar, praktis dia masuk
dalam kegiatan-kegiatan ini.
Sejak aku memakai cadar, aku sangat tertarik
mendengarkan cerita malam pertama dari para pengantin
baru; memang, tak ada hal detil yang diungkapkan.
Beberapa perempuan muda mengejutkan para
perempuan lain dengan menyatakan bahwa mereka
menikmati seks. Yang lainnya mengatakan mereka purapura
menikmati cumbuan suami mereka, supaya suami
mereka tak menikah lagi. Kemudian ada juga para
perempuan yang memandang hina seks sehingga mereka
menutup mata dan menahan serangan suami mereka
dengan rasa takut dan jijik. Yang sangat penting, ada
segolongan kecil perempuan yang tetap diam selama
diskusi-diskusi itu dan menjauhkan diri dari topik seks;
mereka adalah orang yang diperlakukan dengan cara
kasar oleh laki-laki dalam kehidupan mereka, banyak yang
mengalami nasib seperti yang diterima Sara.
Yakin bahwa aku telah mengerti implikasi kehidupan
perkawinan, Nura menambahkan beberapa hal. Ia
mengatakan bahwa tugasku, sebagai istri, adalah selalu
siap melayani Karim sepanjang waktu, tak peduli
perasaanku saat itu. Aku nyatakan, aku akan melakukan
hubungan seks kalau aku ingin; Karim tidak bisa
memaksaku melawan kehendak hatiku. Nura
menggelengkan kepadanya. Tak ada laki-laki, termasuk
142
Karim, yang bisa menerima penolakan.
Ranjang perkawinan adalah milik laki-laki. Aku
menyatakan bahwa Karim itu beda. Ia tak pernah
memaksa.
Nura mengatakan, tidak ada laki-laki yang bisa
mengerti dalam hal seperti itu. Aku tidak boleh
mengharapkan itu, atau aku akan hancur kecewa. Untuk
mengalihkan pokok pembicaraan, aku bertanya kepada
kakakku tentang khitan. Dengan suara lemah dan pelan,
Nura mengatakan bahwa ia disunat ketika berumur dua
belas tahun. Upacara itu dilakukan pada tiga adik-adiknya.
Sedangkan enam anak perempuan yang termuda telah
terbebas dari upacara barbar ini berkat campur tangan
dokter Barat yang menasehati ayah selama berjam-jam
agar menentang ritual itu. Nura menambahkan, aku
beruntung tidak mengalami trauma khitan.
Aku bisa melihat kakakku hampir menangis; aku
bertanya kepadanya apa yang terjadi.
Selama beberapa generasi yang tak diketahui Nura,
perempuan di keluarga kami dikhitan. Ibuku, seperti
sebagian besar perempuan Saudi, disunat ketika mulai
haid, beberapa minggu sebelum mereka menikah. Pada
saat berumur empat belas tahun, ketika Nura menjadi
perempuan dewasa, ibu mengikuti tradisi yang ia kenal
dan mengatur upacara khitan untuk Nura yang akan
diadakan di sebuah desa kecil beberapa mil dari Riyadh.
Perayaan diadakan, pesta dipersiapkan. Nura muda
mendapat perhatian layaknya orang yang terhormat.
Saat-saat sebelum ritual, Nura diberitahu oleh ibu bahwa
seorang perempuan tua akan melaksanakan upacara kecil,
sehingga Nura perlu berbaring diam. Seorang perempuan
menabuh drum, perempuan lain bernyanyi. Perempuanperempuan
yang lebih tua berkumpul di sekeliling anak
yang ketakutan itu. Nura, yang telanjang dari pinggang ke
143
bawah, dipegang oleh empat perempuan, di atas seprai
yang dibentangkan di lantai. Perempuan yang tertua
mengangkat tangannya ke udara. Dengan ketakutan,
Nura melihat perempuan itu memegang alat seperti pisau
cukur.
Nura berteriak. Ia merasakan kesakitan di daerah
alat kelaminnya. Pusing karena kaget, ia diangkat ke
udara oleh perempuan-perempuan itu dan diberi ucapan
selamat atas akil balighnya. Bukan kepalang takutnya ia
melihat darah mengalir dari lukanya. Ia dibawa ke tenda,
lukanya dibalut dan diperban.
Luka itu sembuh dengan cepat, tapi ia tidak
mengerti dampak dari upacara itu sampai malam pertama
perkawinannya; ia mangalami sakit yang tak tertahankan
dan begitu banyak darah keluar. Ketika kondisi itu
berlangsung, ia menjadi takut untuk berhubungan seks
dengan suaminya. Akhirnya, setelah hamil, ia menemui
dokter Barat yang terkejut melihat bekas lukanya. Ia
mengatakan pada Nura bahwa semua bagian luar alat
kelaminnya telah dibuang, sehingga, secara pasti,
kegiatan seksual akan selalu menyakitkan dan berdarah.
Ketika sang dokter mengetahui ada tiga lagi saudari
Nura yang telah disunat dan enam lainnya menunggu,
dokter itu memohon dengan sangat pada Nura untuk
mengupayakan agar orang tuanya datang ke kliniknya.
Tiga saudariku pergi ke dokter. Ia mengatakan,
saudari kami, Baher, lebih parah kondisinya daripada
Nura, dan ia tidak tahu bagaimana ia bisa menahan derita
berhubungan seksual dengan suaminya. Nura
menyaksikan upacara saudari kami itu, dan ia ingat ketika
Baher melawan perempuan tua itu, dan berusaha lari
beberapa meter dari para penyiksanya. Namun ia
tertangkap dan dikembalikan ke tikar, dan perlawanannya
menyebabkan ia kehilangan banyak darah.
144
Dokter terkejut, karena ibukulah yang memaksa
untuk mengkhitan anak-anak perempuannya. Ia sendiri
menderita karena ritual itu; ia yakin itu adalah kehendak
Allah. Akhirnya si dokter menyakinkan ayahku untuk sama
sekali tidak melakukan upacara khitan itu, sebab sangat
beresiko pada kesehatan. Nura mengatakan, aku selamat
dari adat yang kejam dan tak berguna itu.
Aku bertanya pada Nura mengapa ia berpikir bahwa
Karim akan menanyakan persoalan seperti itu. Nura
mengatakan, aku beruntung karena Karim adalah laki-laki
yang memiliki pendapat bahwa lebih baik bagi perempuan
untuk tidak dikhitan. Ia mengatakan banyak laki-laki
masih menuntut agar pengantin perempuan disunat. Itu
adalah persoalan dari daerah mana kamu berasal atau
tempat seorang gadis dilahirkan. Beberapa keluarga masih
terus melanjutkan praktik itu sementara yang lain
menganggapnya sebagai masa lalu yang barbar.
Nura mengatakan, Karim menginginkan istri yang
bisa sama-sama menikmati seks, bukan sekadar sebagai
objek kesenangan saja.
Nura meninggalkanku dalam keadaan termenung
menung.
Aku tahu aku beruntung menjadi salah satu anak
terkecil. Aku merasa ngeri ketika membayangkan trauma
Nura dan saudari-saudariku yang lain, yang mengalami
nasib yang sama.
Aku bahagia, Karim memerhatikan keadaanku. Aku
mulai mempunyai gagasan bahwa beberapa perempuan
mungkin bahagia di negeriku meskipun masih ada
beberapa tradisi yang sudah dibuang di masyarakat yang
beradab. Bagaimanapun, masih saja ketidakadilan dari
tradisi itu melayang-layang dalam pikiranku. Kami,
perempuan Arab, bisa mendapatkan kebahagiaan hanya
jika laki-laki yang berkuasa memiliki kepedulian; bila
145
tidak, duka cita akan mengelilingi kami. Tak peduli apa
pun yang kami lakukan, masa depan kami berhubungan
dengan tingkat kebaikan hati laki-laki yang menguasai
kami.
Karena masih ngantuk, aku kembali tidur; aku
bermimpi memakai gaun pengantin warna hijau zambrud,
menunggu mempelai laki-laki, Karim. Ia tak datang, dan
mimpiku beralih ke malam menakutkan; aku terbangun
dengan keringat dingin; aku dikejar oleh setan perempuan
tua berpakain hitam, pisau cukur di tangan, haus akan
darahku.
Aku berteriak menyuruh Marci membawakan air
dingin. Aku sangat sedih, karena aku tahu makna mimpi
yang menakutkan itu: hambatan terbesar untuk berubah
dan bebas dari adat yang kuno adalah perempuan Arab itu
sendiri. Perempuan-perempuan dari generasi ibuku tidak
terpelajar, dan tidak memiliki pengetahuan kecuali yang
dikatakan laki-laki mereka; akibat tragisnya, tradisi
khitanan masih saja dilakukan oleh setiap orang yang
dirinya sendiri menderita oleh pisau barbarisme itu. Dalam
kebingungan mereka di masa lalu dan sekarang, mereka
tanpa sadar mendukung usaha laki-laki memenjara kami
dalam ketidaktahuan dan pengasingan. Bahkan ketika
dikatakan tentang bahaya medis, ibuku tetap berpegang
teguh pada tradisi masa lalu; ia tak dapat membayangkan
jalan lain bagi putri-putrinya kecuali yang pernah ia lalui
sendiri, karena takut kalau setiap perubahan dari tradisi
akan membahayakan pernikahan mereka.
Hanya kami, perempuan terpelajar, yang bisa mengubah
jalan kehidupan perempuan. Semua ada di dalam
kekuatan kami, dalam rahim kami. Aku melihat tanggal
perkawinanku dengan beberapa rencana yang telah
kupersiapkan. Aku akan menjadi perempuan Saudi
pertama yang memulai reformasi di lingkunganku sendiri.
146
Aku akan mengubahnya melalui putra putriku, yang
kemudian akan mengubah bentuk Arab Saudi menjadi
negara yang menghargai semua warga negaranya, lakilaki
dan perempuan.
147
12
Pada acara pernikahanku, ruang persiapan dipenuhi
kegembiraan. Aku dikelilingi oleh perempuan dari
keluargaku. Tak ada suara yang bisa dikenali, karena
semua orang berbicara dan tertawa: sebuah perayaan
yang agung.
Aku berada di istana Nura dan Ahmed, yang baru
selesai dibangun beberapa minggu sebelum tanggal
perkawinanku. Nura merasa puas dengan rumahnya itu,
namun khawatir pembicaraan orang tentang rumah
besarnya yang mewah akan bocor ke seluruh kota Riyadh
sehingga semua orang bercuap-cuap terhadap banyaknya
uang yang dihabiskan dan kemewahan yang dihasilkan.
Aku sendiri benci istana baru Nura. Karena alasan
romantis, aku ingin menikah di Jeddah, dekat laut. Tapi
ayahku bersikeras untuk melakukan perkawinan
tradisional. Untuk kali ini, ketika permintaanku tidak
dikabulkan, aku tidak berteriak-teriak. Sejak beberapa
bulan yang lalu, aku telah memutuskan untuk menahan
148
amarahku kecuali untuk hal-hal yang sangat penting dan
membiarkan hal remeh temeh bergulir begitu saja. Tak
diragukan lagi, aku lelah dengan kekurangan-kekurangan
yang ada di negeriku.
Sementara Nura berseri-seri gembira, kerabat
perempuan kami memuji-muji keindahan istana itu. Aku
dan Sara saling bertukar senyum kecil, karena kami
sependapat beberapa waktu yang lalu bahwa istana ini
memiliki cita rasa yang sangat buruk.
Istana marmer Nura sangat besar. Ratusan pekerja
Filipina, Thailand, dan Yaman, di bawah pengawasan para
kontraktor Jerman yang sulit tersenyum, bekerja tanpa
henti selama berbulan-bulan untuk menciptakan
bangunan yang aneh sekali bentuknya. Tukang cat,
tukang kayu, tukang besi dan para arsitek, semua tidak
akur. Akibatnya, istana ini tak serasi di dalam dirinya.
Ruangan istana disepuh dan dihias dengan mewah
sekali. Menurut hitunganku dan Sara, setidak-tidaknya
ada 180 lukisan tergantung di tempat masuk ruangan.
Sara melompat kaget, mengatakan bahwa karya-karya
seni ini dipilih oleh orang yang tak memiliki pengetahuan
tentang maestro-maestro besar. Permadani yang berkilatkilat
bersulam burung dan binatang buas dengan segala
tipe, terbentang di lantai yang tak berujung. Hiasan kamar
tidur membuat jiwaku terasa sesak. Aku heran bagaimana
anak-anak dari darah yang sama bisa begitu berbeda
seleranya.
Walaupun Nura mendekorasi rumahnya dengan cita
rasa yang sangat buruk, namun tamannya merupakan
karya besar: sebuah danau dan halaman rumput seluas
hampir satu mil, yang dihiasi dengan bunga-bunga,
semak-semak dan pohon-pohon yang diatur dengan
indah, mengelilingi istana. Terdapat banyak kejutan yang
membuat mata terbelalak: patung, sarang burung aneka
149
warna, air mancur bahkan tempat bermain anak-anak.
Aku akan menikah dengan Karim di kebun ini, pada
jam sembilan malam. Nura tahu kalau aku sangat
menyukai mawar kuning, dan ribuan mawar kuning
dikirim dari Eropa, yang sekarang terapung-apung di
danau di samping paviliun tempat Karim akan datang
untuk menyatakanku sebagai istrinya. Dengan bangga
Nura mengatakan bahwa masyarakat telah berbisik-bisik,
inilah perkawinan dekade sekarang.
Di Arab Saudi, tidak ada pengumuman pertunangan
dan perkawinan. Persoalan ini dianggap sangat pribadi.
Tapi gossip tentang uang yang dihabiskan dan
tingkat kemewahan upacara akan tersebar ke seluruh
negeri, dan setiap golongan keluarga kerajaan berusaha
keras untuk menyainginya.
Ketika rambut di bagian pribadiku dicukur dengan
kasar, aku menampar bibiku dan berteriak. Sambil
menjerit kesakitan, aku bertanya dari mana asal adat
yang biadab ini. Bibiku yang tertua menampar wajahku
atas kekurangajaranku. Ia menatap tajam mataku dan
mengatakan bahwa aku, Sultana, adalah anak bodoh dan
sebagai seorang Muslim, aku seharusnya tahu bahwa,
demi kebersihan, nabi menganjurkan agar semua rambut
kemaluan dan bulu ketiak dicukur empat puluh hari sekali.
Dengan sengaja aku berteriak bahwa praktik itu tak
lagi masuk akal. Muslim modern telah memiliki air panas
dan sabun untuk membersihkan kotoran. Kita tak perlu
lagi menggunakan pasir gurun untuk menghilangkannya
Bibiku, yang sadar akan sia-sia saja beradu argumentasi
denganku, melanjutkan tugasnya. Aku mengejutkan
semua yang hadir dengan teriakan bahwa, jika Nabi bisa
berbicara di zaman baru yang memiliki fasilitas-fasilitas
modern ini, aku rasa Beliau akan menghapuskan tradisi
yang bodoh ini. Tentu, aku mengatakan dengan keras,
150
persoalan ini saja membuktikan bahwa kita orang Saudi
adalah sama dengan keledai yang tak mendapatkan
ilham; layaknya keledai, kita mengikuti jejak jalan
melelahkan yang sama di depan kita, meskipun jalan itu
akan membawa kita terjun ke dalam jurang. Hanya jika
kita tumbuh seperti kuda jantan yang bersemangat,
dengan kemauan keras diri kita sendiri, kita akan maju
dan meninggalkan era primitif di belakang kita.
Kerabatku saling bertukar pandangan, cemas.
Mereka ketakutan dengan jiwaku yang suka memberontak
dan merasa nyaman hanya dengan perempuan yang puas
apa adanya. Kegembiraan mendapatkan suami sesuai
pilihanku dianggap tak lebih dari sebuah keajaiban.
Meskipun begitu sampai upacara perkawinan selesai,
tak satupun dari kerabatku bisa bernafas lega.
Pakaianku terbuat dari kain berenda berwarna
merah cerah. Aku adalah pengantin yang pemberani.
Dengan gembira aku langgar sopan santun dalam
keluargaku, yang memohon agar aku mengganti pakaian
dengan warna buah persik lembut atau merah muda
pucat. Sebagaimana biasanya, aku tak mau mengalah.
Aku tahu aku benar. Bahkan saudari-saudariku
akhirnya mengakui bahwa kulitku dan mataku lebih cantik
dengan warna cerah.
Aku sangat gembira ketika Sara dan Nura
mengenakan pakaian warna itu dan memasangkan
kancing di seputar pinggangku.
Saat menyedihkan datang ketika Nura mengenakan
hadiah Karim; batu merah delima dan berlian di leherku.
Aku tak bisa menghilangkan bayangan ibuku di hari sedih
perkawinan Sara. Saat itu aku masih kanak-kanak dan
duduk di lantai, memerhatikan ibuku memasangkan
perhiasan yang tak diinginkan di leher Sara. Itu terjadi
151
baru dua tahun yang lalu. Aku buang kemurunganku dan
tersenyum ketika aku menyadari bahwa ibu pasti
melihatku dari jarak jauh dengan sinar kepuasan di
matanya. Dalam balutan korset yang ketat ini, aku hampir
tak bisa bernafas ketika menunduk untuk mengambil
buket bunga-bunga musim semi yang seluruhnya terbuat
dari batu mulia, dan didesain khusus untuk upacara ini
oleh Sara.
Melihat wajah tersenyum saudariku, aku mengatakan:
'Aku siap.'
Ini saat awal baru bagiku, sebuah kehidupan yang
lain.
Tabuhan gendang menenggelamkan orkestra yang di
datangkan dari Mesir. Dengan diapit Nura dan Sara di
sisiku, aku melangkah dengan bangga menuju para tamu
di taman yang menunggu-nungguku dengan tak sabar.
Seperti semua perkawinan ala Saudi yang lain,
upacara resmi sudah dilakukan lebih dulu. Dengan Karim
dan keluarganya di satu bagian istana, sedang aku dan
keluargaku di bagian lainnya, seorang tokoh agama
masuk dari satu ruangan ke ruangan lainnya, bertanyatanya
apakah kami menerima pernikahan ini. Karim dan
aku tidak diizinkan mengucapkan kata-kata janji dengan
saling berhadapan.
Selama empat hari empat malam, kami sekeluarga
berpesta. Pesta akan terus berlanjut tiga hari tiga malam
lagi setelah kemunculan kami di hadapan para tamu
perempuan. Upacara malam ini hanyalah panggung yang
diciptakan untuk pecinta pesta keindahan, kemudaan, dan
harapan. Malam yang semarak.
Sejak hari pertama kami bertemu, aku tak pernah
melihat Karim. Meskipun demikian, masa saling kenal
terus berlanjut melalui percakapan telepon yang
152
menyenangkan selama berjam-jam. Sekarang aku melihat
Karim, ditemani oleh ayahnya, berjalan perlahan menuju
paviliun. Ia begitu tampan, dan ia akan menjadi suamiku.
Karena suatu alasan yang aneh, aku kaget dengan
debar jantungnya. Aku mendengar getaran suaranya dan
menghitung getaran itu. Khayalanku merasuk ke dadanya,
sangat romantis, dan aku pikir; hati ini milikku.
Aku sendiri memiliki kekuatan untuk membuatnya
berdebar dengan kebahagiaan atau dengan kesengsaraan.
Itu saat yang menenangkan bagi gadis muda.
Akhirnya, ia berdiri tinggi dan lurus di hadapanku.
Emosiku tiba-tiba menyeruak. Aku merasa bibirku
bergetar dan mataku berkaca-kaca, berjuang melawan air
mata yang hendak mengucur. Ketika Karim membuka
penutup wajahku, kami berdua tertawa, sangat bahagia.
Para perempuan mulai bertepuk tangan dengan
keras dan menghentak-hetakkan kaki mereka. Di Arab
Saudi sangat jarang terjadi pengantin wanita dan laki-laki
begitu saling menyukai dan bergembira.
Aku tenggelam dalam mata Karim dan begitu juga
dia. Aku diliputi perasaan tak percaya. Aku adalah anak
kegelapan, dan suamiku, bukannya objek yang
menakutkan, justru adalah pembebas yang manis dari
kesengsaraan masa mudaku.
Karena kami ingin sekali sendirian, setelah upacara
kami hanya memiliki waktu sebentar untuk menerima
ucapan selamat dari teman-teman dan kerabat
perempuan. Karim melempar koin emas dari tas beludru
kecil ke arah rombongan-rombongan tamu yang sedang
bergembira, sementara aku menyelinap pergi untuk
berganti dengan pakaian bepergian.
Aku ingin berbicara kepada ayah, tapi ia tergesagesa
berangkat dari taman segera setelah tugasnya
153
selesai. Pikirannya sudah bebas, putri terkecil dan ternakal
dari istri pertamanya sudah menikah dengan selamat, dan
sekarang tidak lagi menjadi tanggung jawabnya. Aku
rindu sekali dengan kebersamaan keluarga, sesuatu yang
selalu kuimpikan namun tak pernah menjadi kenyataan.
Untuk bulan madu, Karim menjanjikan bepergian
kemana pun dan melakukan apa pun yang kuinginkan.
Setiap keinginanku adalah perintah baginya.
Layaknya anak kecil yang riang, aku mendata semua
tempat yang ingin kulihat dan segala hal yang ingin
kulakukan.
Tempat perhentian pertama kami adalah Kairo, dan
dari sana ke Paris, New York, Los Angeles kemudian
Hawai.
Kami memiliki delapan minggu kebebasan yang
sangat berharga, terbebas dari keadaan tak
menyenangkan di Arabia.
Dengan pakaian stelan sutra berwarna hijau zambrud,
aku memeluk saudari-saudariku, mengucapkan
selamat tinggal. Sara menangis keras, ia tak ingin
melepasku. Ia berbisik, 'Beranilah,' dan hatiku tersentuh
karena aku mengerti dengan sangat baik bahwa kenangan
buruk Sara akan malam perkawinan tidak akan pernah
hilang. Setelah bertahun berlalu mungkin pikirannya
tentang bulan madu akan lenyap belaka.
Pakaian desainerku kututupi dengan abaya hitam
dan cadar, kemudian aku masuk meringkuk di kursi
belakang Mercedes hitam bersama suamiku. Empat belas
tasku sudah dibawa ke bandara.
Demi privasi, Karim membeli semua tempat duduk
kelas pertama dalam setiap penerbangan yang kami
lakukan. Pramugari Libanon tersenyum lebar ketika
mereka melihat tindakan bodoh kami. Kami seperti anak
154
remaja, karena kami tidak pernah tahu seni berpacaran.
Akhirnya, kami sampai di Kairo, melewati bea cukai
dan naik kendaraan menuju vila mewah di tepi Sungai Nil.
Vila itu, milik ayah Karim, dibangun di abad kedelapan
belas oleh pedagang Turki yang sangat kaya.
Setelah dikembalikan oleh ayah Karim ke
kemegahan aslinya, Vila itu dibagi menjadi tiga puluh
kamar dengan tingkatan-tingkatan yang tidak lazim dan
jendela yang melengkung mengarah ke taman yang
subur. Dindingnya dilapisi ubin berwarna biru muda
lembut, dengan makhluk-makhluk yang terpahat rumit
sebagai latar belakangnya. Aku merasa tergoda dengan
rumah itu. Aku berkata kepada Karim bahwa rumah ini
adalah tempat yang sangat sempurna untuk memulai
sebuah perkawinan.
Dekorasi vila yang sempurna bertolak belakang dengan
dekorasi istana Nura yang berkilat-kilat. Aku tibatiba
menyadari bahwa uang tidak dengan otomatis
memberikan selera artistik yang tinggi kepada orangorang
di negaraku, bahkan dalam keluargaku sendiri.
Aku baru berusia enam belas tahun, masih anakanak,
tapi suamiku bisa memahamiku, dan ia
membantuku mengenali dunia orang dewasa. Ia, seperti
aku sendiri, tidak setuju dengan cara perkawinan di negeri
kami. Ia mengatakan bahwa orang-orang asing
seharusnya tidak berhubungan intim, sekalipun mereka
suami-istri. Menurut pendapatnya, laki-laki dan
perempuan harus memiliki waktu untuk memahami
rahasia satu sama lain, mana-mana saja yang bisa
menumbuhkan hasrat. Karim mengatakan kepadaku, ia
telah memutuskan seminggu sebelumnya bahwa dia dan
aku akan berpacaran dulu setelah pernikahan. Dan, bila
aku sudah siap, aku akan menjadi orang yang akan
mengatakan: 'Aku ingin mengenalmu seutuhnya.'
155
Kami menghabiskan hari-hari dan malam-malam
kami dengan bermain. Kami makan malam, berkuda
mengelilingi piramida, berjalan-jalan menelusuri pasar
Kairo yang padat, membaca buku dan berbincang. Para
pelayan bingung dengan pasangan yang riang gembira
saling memberikan ciuman selamat malam dan masuk ke
kamar masing-masing.
Pada malam keempat, aku mendorong suamiku ke
ranjangku. Setelah itu, dengan kepalaku yang mengantuk
di atas bahu Karim, aku membisikkan bahwa aku akan
menjadi salah satu dari istri-istri yang masih muda dan
nakal di Riyadh, yang dengan gembira mengakui: aku
menikmati seks dengan suamiku.
Aku belum pernah pergi ke Amerika, dan sangat
ingin memiliki opini tentang masyarakat yang
menyebarkan kebudayaannya ke seluruh dunia namun
tampaknya tidak begitu mengenal dunia mereka sendiri.
Orang-orang New York, dengan sikap kasar mereka
yang lancang, membuatku takut. Aku bahagia ketika kami
sampai di Los Angeles, dengan nuansa santai yang terasa
lebih familiar untuk orang Arab.
Di California, setelah berminggu-minggu melakukan
perjalanan dan berjumpa dengan orang-orang Amerika
dari hampir setiap negara bagian, aku mengatakan
kepada Karim bahwa aku menyukai orang-orang asing
yang berbicara keras ini, orang-orang Amerika. Ketika ia
tanyakan padaku mengapa, aku dengan susah payah
mengemukakan apa yang aku rasakan dalam hatiku. Aku
akhirnya berkata: 'Aku percaya campuran kebudayaan
yang mengagumkan menghasilkan peradaban yang lebih
dekat dengan realitas dibanding kebudayaan lain yang
larut dalam sejarah.' Aku yakin Karim tidak mengerti apa
yang kumaksudkan dan aku mencoba menjelaskannya.
'Begitu sedikit negara yang memberikan kebebasan
156
kepada semua warga negaranya tanpa kekacauan; hal itu
terjadi di negara besar ini. Rasanya mustahil bila sejumlah
besar orang tetap berada di jalur kebebasan bagi semua
orang ketika ada begitu banyak pilihan. Coba bayangkan
apa yang akan terjadi di dunia Arab; bila ada sebuah
negara sebesar Amerika di negeri kita, akan terjadi
perang dalam satu menit, karena setiap laki-laki pasti
hanya memiliki satu jawaban benar untuk kebaikan
semua! Di negeri kita, laki-laki melihat penyelesaian tak
jauh dari hidungnya sendiri. Di sini, itu berbeda.'
Karim melihat ke arahku dengan takjub. Sangat
tidak biasa seorang perempuan tertarik pada skema besar
dari segala hal. Ia menanyaiku sampai malam untuk
mengetahui gagasanku tentang berbagai persoalan.
Tampak jelas bahwa suamiku tidak biasa dengan
perempuan yang memiliki opini sendiri. Ia tampak benarbenar
terkejut ketika mengetahui aku memikirkan
persoalan politik dan negara di dunia. Akhirnya, ia
mencium leherku dan berkata bahwa kau akan
melanjutkan pendidikan segera setelah kembali ke Riyadh.
Jengkel dengan nada izinnya, aku mengatakan
padanya aku tidak menyadari kalau pendidikanku
berkembang karena diskusi. Rencana bulan madu delapan
minggu berubah jadi sepuluh minggu. Hanya setelah
telepon dari ayah Karim, kami dengan terpaksa menyeret
badan kami pulang. Kami berencana untuk tinggal di
istana ayah dan ibu Karim sampai istana kami sendiri
dibangun.
Aku tahu ibu Karim benci melihatku; sekarang ia
berkuasa untuk membuatku sengsara. Aku berfikir
tentang ketidakacuhanku pada tradisi, yang menimbulkan
caci makinya, dan mengutuk diriku sendiri karena tidak
berfikir tentang masa depanku dengan menjauhkan diri
dari ibu mertuaku pada pertemuan pertama. Aku tahu
157
kalau Karim, seperti laki-laki Arab lainnya, tidak akan
pernah memihak istrinya untuk melawan ibunya. Itu
semua terserah padaku untuk datang dengan tanda
perdamaian.
Aku merasakan goncangan tak menyenangkan
ketika pesawat bersiap mendarat di Riyadh. Karim
mengingatkan cadarku. Aku berjuang menutupi diriku
dengan pakaian hitam dan merasakan kerinduan yang
dahsyat akan manisnya bau kebebasan yang mulai
menghilang sesaat setelah kami memasuki wilayah udara
Saudi.
Dengan rasa takut yang menyesak di tenggorakan,
kami memasuki istana ibu Karim untuk memulai
kehidupan perkawinan kami. Saat itu, aku tak menyadari
bahwa ibu Karim begitu tak menyukaiku sehingga ia telah
mengatur cara untuk mengakhiri kebahagiaan perkawinan
kami.
158
13
Jika ada satu kata yang bisa menggambarkan perempuan
Saudi generasi ibuku, kata itu adalah menunggu. Mereka
menghabiskan hari-hari mereka dengan menunggu.
Perempuan di zaman itu dilarang mendapatkan
pendidikan dan kesempatan bekerja, sehingga tak banyak
yang dikerjakan kecuali menunggu menikah, menunggu
melahirkan anak, menunggu menjadi nenek, dan
menunggu menjadi tua.
Di negeri Arab, usia memberi kesempurnaan bagi
perempuan, karena mereka akan mendapatkan
penghormatan setelah memenuhi kewajiban melahirkan
banyak anak lelaki, yang dengan cara ini, mereka mampu
melanjutkan garis keturunan dan nama keluarga.
Mertua perempuanku, Norah, menghabiskan
hidupnya menunggu menantu perempuan yang akan
memberinya penghormatan, yang menurutnya menjadi
haknya sekarang. Karim adalah anak lelaki tertuanya,
putra yang paling dicintai. Adat Saudi zaman dahulu
159
menuntut agar istri putra pertama melakukan apa pun
yang diperintah ibunya. Seperti semua perempuan muda,
aku tahu tradisi ini, tapi aku cenderung tak
menghiraukannya hingga tiba saatnya aku menghadapi
fakta tradisi itu.
Tentu saja, keinginan memiliki anak laki-laki sudah
umum di dunia mana saja. Tapi negeri Arab melebihi
tempat lain. Di sini, setiap perempuan menanggung
tekanan yang sangat tinggi sepanjang masa produktifnya
untuk bisa melahirkan anak laki-laki. Anak laki-laki adalah
alasan satu-satunya bagi sebuah perkawinan, kunci
kepuasan hati suami. Anak laki-laki merupakan harta
berharga sehingga sebuah ikatan yang kuat berkembang
antara ibu dan putranya. Tak satupun, selain cinta
terhadap perempuan lain, bisa memisahkan keduanya.
Sejak kami menikah, ibu Karim menganggap aku
sebagai pesaingnya, bukan sebagai anggota keluarga
yang diterima dengan balk. Aku dianggap orang yang
akan memisahkan Norah dan putranya. Kehadiranku
hanya memperkuat keadaan hatinya yang umumnya tidak
bahagia. Beberapa tahun sebelumnya, kehidupan Norah
berubah tiba-tiba dan hal itu meracuni pandangannya.
Sebagai istri pertama dari ayah Karim, Norah telah
melahirkan tujuh orang anak, tiga di antaranya laki-laki.
Ketika Karim berumur empat belas tahun, ayah
Karim menikah lagi dengan seorang perempuan Libanon
yang sangat cantik dan mempesona. Mulai saat itu, tak
ada lagi kedamaian di dalam istana dua istri itu.
Norah, perempuan paruh baya yang bersemangat,
sungguh sangat sakit hati saat suaminya menikah untuk
kali kedua. Diliputi rasa benci, ia pergi kepada tukang sihir
dari Ethiopia yang mengabdi pada istana Raja tapi bisa
disewa oleh keluarga kerajaan yang lain dan
membayarnya dengan sejumlah besar uang agar
160
perempuan Libanon itu dikutuk mandul. Norah, yang
bangga dengan kesuburannya, yakin bahwa perempuan
Libanon itu akan dicerai jika tak bisa melahirkan anak.
Sebagaimana yang terjadi, ayah Karim tetap mencintai
perempuan Libanon itu dan mengatakan kepadanya
ia tak peduli apakah kamu akan memberiku anak atau
tidak. Setelah bertahun-tahun berlalu, Norah menghadapi
kenyataan bahwa perempuan Libanon itu tidak beranak
namun tidak dicerai. Semenjak itu Norah ingin sekali
memisahkan suaminya dari istri keduanya.
Ia pergi ke tukang sihir dan membayar lebih banyak
uang untuk membawa awan kematian pada perempuan
Libanon itu.
Ketika ayah Karim mendengar gosip tentang
kelakuan Norah meminta bantuan tukang sihir istana, ia
mendatangi Norah dengan marah. Ia berjanji jika
perempuan Libanon itu meninggal terlebih dahulu, Norah
akan diceraikan; diusir dengan arang di muka dan
dilarang berhubungan dengan anak-anaknya.
Norah, yang yakin bahwa rahim mandul adalah
akibat kekuatan tukang sihir, sekarang menjadi sangat
takut kalau perempuan Libanon itu meninggal, padahal
ilmu sihir tak dapat diubah. Semenjak saat itu, Norah
diwajibkan melindungi perempuan Libanon itu. Ia
sekarang hidup tak bahagia karena harus berusaha
melindungi jiwa perempuan yang ia coba bunuh dengan
guna-guna (voodoo).
Rumah tangga yang aneh.
Dalam ketidakbahagiaanya, Norah mencaci siapapun
yang ada di sekitarnya, kecuali anak-anaknya.
Karena aku bukan darah dagingnya namun sangat
dicintai oleh Karim, maka aku menjadi targetnya. Setiap
orang bisa melihat sikap kecemburuannya, kecuali Karim.
161
Seperti anak-anak kebanyakan, Karim tak melihat
kesalahan melekat pada ibu tersayangnya. Dengan
kematangan usianya, Norah nampaknya memperoleh
kebijaksanaan, dengan berpura-pura mengasihiku sejauh
bisa didengar oleh Karim.
Setiap pagi dengan bahagia aku berjalan mengantar
Karim sampai pagar. Ia bekerja keras di firma hukumnya
dan berangkat jam sembilan pagi. Dan ini adalah
permulaan waktu kerja yang terlalu pagi bagi siapa pun,
apalagi bagi seorang pangeran di Arab Saudi. Sangat
sedikit anggota keluarga kerajaan yang bangun sebelum
jam sepuluh atau sebelas siang.
Aku yakin Norah melihat kami dari jendela kamar
tidurnya, karena sesaat setelah pagar tertutup, Norah
akan memanggil namaku secara tergesa-gesa. Ia akan
berteriak menyuruhku menyiapkan teh panas untuknya.
Tak satupun dari tiga puluh tiga pelayan yang
bekerja di rumahnya akan melakukan perintah pekerjaan
ini.
Karena saat kecil aku banyak mengalami perlakuan
buruk oleh laki-laki di keluargaku, aku tak ingin hal itu
terulang kembali di bagian kedua hidupku, termasuk oleh
ibu Karim.
Untuk sekarang, aku tetap diam. Tapi ibu Karim
cepat mengerti bahwa aku pernah menghadapi lawan
yang lebih dahsyat dari perempuan dengan
keterbelakangan mental yang gelap. Di samping itu, ada
pepatah tua Arab yang mengatakan: 'Kesabaran adalah
kunci sebuah penyelesaian.' Untuk menang, aku merasa
lebih baik memerhatikan kata bijak yang diturunkan dari
generasi ke generasi itu. Aku akan sabar dan menunggu
kesempatan mengurangi kekuasaan Norah terhadapku.
Untungnya, aku tak perlu waktu lama menunggu.
162
Adik laki-laki Karim, Munir, baru saja kembali dari
studinya di Amerika. Rasa marahnya, karena disuruh
pulang ke Arab Saudi, benar-benar menusuk kedamaian di
rumah.
Walaupun sudah banyak tulisan yang mengulas
kehidupan monoton para perempuan di Arab Saudi, baru
sedikit yang mengupas gaya hidup boros anak-anak
mudanya. Memang, hidup kaum lelaki lebih bahagia
dibanding para perempuannya, namun masih banyak yang
kurang. Para pemuda Arab Saudi menghabiskan jam-jam
yang lesu merindukan stimulasi. Di sini tak ada bioskop,
klub atau makan malam campur karena laki-laki dan
perempuan tidak diizinkan berada dalam restoran secara
bersama kecuali mereka suami istri, kakak dan adik, atau
ayah dan putrinya.
Munir, yang baru berumur dua puluh dua tahun dan
terbiasa dengan kebebasan di masyarakat Amerika, tidak
suka kembali ke Arab Saudi. Ia baru saja lulus dari
sekolah bisnis di Washington DC, dan berencana bekerja
sebagai penghubung kontrak-kontrak pemerintah. Ketika
menunggu kesempatan untuk membuktikan
kecakapannya dalam memperoleh sejumlah besar uang,
keinginan besar bagi semua pengeran kerajaan, ia mulai
berteman dengan kelompok pangeran yang terkenal
memiliki perilaku yang beresiko. Mereka mengadakan dan
menghadiri pesta campur. Maka hadirlah para perempuan
asing dengan moralitas dipertanyakan yang bekerja di
berbagai rumah sakit dan maskapai penerbangan.
Minuman keras melimpah. Banyak dari para
pangeran ini yang kecanduan alkohol, obat-obatan atau
keduanya. Di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan,
tumbuhlah ketidakpuasan mereka pada sanak famili yang
menjalankan pemerintahan. Tak puas dengan
modernisasi, mereka menginginkan westernisasi; para
163
lelaki muda ini bergairah untuk melakukan revolusi. Tidak
mengagetkan, menganggur telah membuat mereka
bertingkah laku dan berbicara berbahaya, dan tidak lama
lagi, sikap revolusioner mereka segera diketahui umum.
Raja Faisal, yang pernah menghabiskan masa muda
dengan tanpa beban dan kemudian menjadi Raja yang
saleh, dengan tekun mengawasi tindakan-tindakan sanak
famili mudanya dan mencoba dengan caranya yang tertib,
membimbing mereka keluar dari perbuatan keterlaluan
yang disebabkan oleh hidup yang kosong.
Beberapa pangeran yang menyusahkan,
ditempatkan dalam bisnis keluarga, sementara yang lain
dikirim ke dinas tentara.
Setelah Raja Faisal mengutarakan keprihatinannya
atas perilaku tak pantas Munir kepada ayah, aku
mendengar suara teriakan keras dan marah dari ruang
kerja. Aku, seperti anggota keluarga yang lain, segera
mencari-cari tahu di ruang peta, yang berada langsung di
depan ruang kerja. Dengan mata melihat ke arah peta,
dan kuping diarahkan menangkap teriakan, kami
menghela nafas ketika mendengar Munir menuduh
keluarga yang sedang memerintah melakukan korupsi dan
menghambur-hamburkan uang. Munir bersumpah, ia dan
teman-temannya akan melakukan perubahan yang begitu
diperlukan dalam kerajaan. Dengan bibir memaki dan
keinginan memberontak, ia ribut keluar dari rumah.
Meskipun Munir mengklaim negara ini perlu
melangkah menuju masa depan, komitmennya sendiri
tidak jelas dan aktivitas yang dilakukannya kacau. Ia
adalah cerita sedih salah penilaian; alkohol dan uang yang
mudah didapat telah menyesatkannya.
Hanya sedikit orang asing yang tahu bahwa di
Kerajaan Arab Saudi, sebelum tahun 1952, alkohol tidak
dilarang bagi non Muslim. Dua peristiwa tragis, yang
164
melibatkan para pangeran kerajaan, mendorong pelarangan
alkohol oleh Raja pertama, Abdul Aziz.
Di akhir tahun 1940-an, Pangeran Nasir, si anak
Raja, kembali dari Amerika Serikat dengan tingkah laku
yang berbeda dibandingkan saat ia berangkat meninggalkan
kerajaan. Ia telah menikmati kombinasi alkohol
dan perempuan Barat yang bebas. Dalam penilaiannya,
alkohol adalah kunci untuk menjadi idola perempuan.
Selama Nasir menjabat gubernur Riyadh, ia tidak
menemukan kesulitan menjaga suplai alkohol. Nasir
mengadakan pesta-pesta terlarang, menjamu tamu lakilaki
dan perempuan. Pada musim panas tahun 1947,
setelah acara kumpul-kumpul tengah malam, tujuh orang
yang ikut berpesta meninggal karena meminum alkohol.
Beberapa yang mati adalah perempuan.
Ayah Nasir, Raja Abdul Aziz, sangat marah atas
tragedi ini sehingga ia sendiri yang memukul anaknya dan
memerintahkannya untuk dipenjara.
Kemudian, tahun 1951, Mishari, anak Raja yang lain,
ketika sedang mabuk, menembak dan membunuh wakil
konsul Inggris dan hampir membunuh istri pria itu.
Kesabaran Raja tua itu habis. Mulai saat itu, alkohol
dilarang di Kerajaan Arab Saudi, dan pasar gelap mulai
tercipta.
Reaksi masyarakat Arab Saudi hampir sama dengan
reaksi masyarakat di kebudayaan lain. Larangan justru
melahirkan penasaran. Aku tahu sebagian besar laki-laki
dan perempuan Saudi minum alkohol demi alasan sosial;
sejumlah besar dari mereka mengalami kecanduan yang
serius. Aku tak pernah menemukan rumah-rumah di Saudi
yang tidak memiliki bermacam-macam minuman alkohol
terbaik dan paling mahal untuk ditawarkan pada tamu.
Semenjak 1952, harga alkohol naik sampai 650 riyal
165
untuk satu botol Scotch ($200). Keuntungan besar bisa
didapat dengan mengimpor dan menjual minuman ilegal
ini. Sejak Munir dan dua sepupunya, yang merupakan
pangeran-pangeran tingkat tinggi, berpendapat bahwa
alkohol seharusnya dilegalkan, mereka menggabungkan
kekuatan dan segera menjadi pengangkut kaya alkohol
ilegal dari Yordania.
Jika penjaga perbatasan curiga dengan isi kargo,
mereka disogok. Satu-satunya penghalang impor ilegal
alkohol adalah kelompok-kelompok yang selalu berkeliling,
yakni Komite Amar Ma'ruf nahi Munkar.
Komite ini dibentuk oleh para mutawa, polisi syariah
yang sangat marah dengan kelancangan anggota keluarga
kerajaan, sebuah keluarga yang seharusnya menegakkan
hukum Islam namun justru sering menganggap diri tak
terikat oleh ajaran Nabi.
Komite inilah yang segera membongkar kedok Munir
dan secara tak sengaja memberikan jalan keluar untuk
mengatasi mertua perempuanku.
Saat itu hari Sabtu, hari pertama kami dalam satu
minggu (umat Muslim merayakan hari agamanya pada
hari Jumat), hari yang tak akan pernah dilupakan oleh
keluarga Karim.
Karim dengan cemberut berjalan melewati pintu
masuk, lelah karena menjalani hari yang panas di
kantornya. Ia mendatangi ibu dan istrinya yang sedang
cekcok. Ketika melihat anaknya, Norah memperpanjang
peperangan dengan anak menantunya di senja itu. Sambil
tersedu-sedu dan dengan suara keras ia mengatakan pada
Karim kalau aku, Sultana, tidak menghormatinya. Dan
tanpa alasan yang jelas, aku mulai cekcok dengan
mertuaku itu.
Ketika akan meninggalkan tempat itu, ia memukul
166
lengan bawahku, dan aku, yang sedang diliputi suasana
hati yang sangat marah, mengejarnya dan hendak
menamparnya namun dihalangi oleh Karim. Norah melihat
marah padaku dan berbalik ke Karim. Dengan cara tak
menyenangkan dan meremehkan, Ia menggambarkanku
sebagai istri yang tak pantas, dan jika ia (Karim)
mengetahui aktivitasku, ia akan menceraikanku.
Jika terjadi di hari lain, Karim mungkin akan tertawa
pada pertunjukan yang menggelikan dan kekanakkanakan
ini, karena menurutnya perempuan memiliki
waktu banyak sehingga mereka cendrung bercekcok di
antara mereka sendiri. Namun pada hari itu, ia baru
mendapat kabar dari broker Londonnya bahwa dalam
seminggu ini ia telah kehilangan lebih dari satu juta dolar
di pasar saham. Dengan suasana hati yang buruk, ia ingin
membalas kekerasan. Karena tak ada laki-laki Arab yang
pernah melawan ibunya, Karim menampar wajahku
sebanyak tiga kali. Tamparan itu dimaksudkan untuk
membuat penghinaan, karena dilakukan lebih dari tiga kali
hingga memerahkan rahangku.
Sejak berumur lima tahun, aku telah memiliki karakter
yang keras. Aku cendrung gugup ketika melihat tandatanda
kekacauan. Namun ketika bahaya datang
menghampiri, aku menjadi tak gugup lagi. Saat bahaya
sudah datang, aku menjadi ganas. Aku akan menghadapi
penyerangku; aku tak takut dan akan berkelahi sampai
akhir tanpa memikirkan akibatnya.
Peperangan terjadi, aku melempar Karim dengan
vas yang langka dan sangat mahal yang kebetulan ada di
dekatku. Ia menyelamatkan wajahnya dengan gerakan
cepat ke arah kiri. Vas itu hancur ketika mengenai lukisan
Monet yang berharga ratusan ribu dolar. Vas dan lukisan
bunga lili itu rusak. Dalam keadaan sangat marah, aku
menyambar patung gading oriental mahal dan melempar167
kannya ke kepada Karim.
Dentaman dan suara keras, bersamaan dengan
teriakan kami, menggemparkan seluruh isi rumah. Para
perempuan dan pelayan menyerbu ke arah kami dengan
tangisan keras yang tiba-tiba. Pada saat itu, Karim baru
menyadari aku sedang menghancurkan ruangan, yang
berisi barang-barang berharga yang dicintai ayahnya.
Untuk menghentikanku, ia memukulku di rahang.
Kegelapan yang pekat meliputiku.
Ketika aku membuka mata, Marci sudah berdiri di
sampingku, meneteskan air dingin dari kain basah ke
wajahku. Aku mendengar suara keras di halaman
belakang dan menganggap bahwa kegemparan
perkelahianku dengan Karim masih berlanjut.
Marci mengatakan tidak, kekacauan baru itu disebabkan
oleh Munir. Ayah Karim dipanggil oleh Raja
Faisal berkenaan dengan sebuah kontainer berisi alkohol
yang bocor menumpahkan cairan terlarang di jalan-jalan
di Riyadh. Si Sopir yang berkebangsaan Mesir berhenti di
sebuah toko untuk membeli sandwich, dan bau alkohol
yang merembes keluar, menyebabkan banyak orang
berkumpul. Saat ditahan oleh salah seorang anggota
Komite Amar Ma'ruf Nahi Munkar, si Sopir, karena
ketakutan, dengan suka rela menyebut nama Munir dan
pangeran lain. Pimpinan Dewan Syariah bersikap hati-hati
dan menghubungi Raja. Raja marah sekali.
Karim dan ayahnya meninggalkan rumah dan pergi
ke istana Raja. Para sopir dikerahkan untuk mencari
Munir. Aku merawat rahangku yang membengkak dan
merancang rencana baru untuk membalas dendam pada
Norah. Aku bisa mendengar tangis sedihnya; aku bangkit
dan berjalan menuju tangga lingkar, menghirup udara
yang berisi sedu sedahnya. Sebagai seorang perempuan
168
yang tak terlalu saleh, aku ingin melihat dan merasakan
kesenangan penuh atas penderitaan yang dialami Norah.
Aku mengikuti arah tangisannya, yang ternyata
berasal dari ruang tamu. Aku ingin tersenyum tapi tak
bisa karena rahangku sakit. Norah lunglai tak berdaya di
sudut ruang tamu, menangis sambil berseru kepada Allah
agar melindungi anaknya tercinta dari kemurkaan Raja
dan para mutawa.
Norah melihatku dan serta merta diam. Setelah
cukup lama diam, ia melihat ke arahku dengan mencela
dan berkata: 'Karim telah berjanji padaku akan
menceraikan kamu. Ia setuju dengan pepatah Arab bahwa
'orang akan mati sesuai dengan kebiasaannya'.
Karena tumbuh besar liar, maka tak ada tempat untuk
orang sepertimu di keluarga ini.'
Norah, yang mengharapkanku menangis dan mengiba-
iba, yang biasa dijumpai pada orang yang dianggap
tidak berdaya, meneliti wajahku dengan cermat.
Pada saat yang sama aku membalas bahwa aku
sendiri yang akan meminta cerai dari anaknya. Aku
menyatakan bahwa Marci sedang mengepak barangbarangku;
aku akan meninggalkan rumahnya yang
menyesakkan nafas dalam satu jam. Untuk menguatkan
penghinaan yang kulakukan, aku menoleh ke belakang
dan mengatakan bahwa aku akan mempengaruhi ayahku
agar ikut menyerukan hukuman pada Munir sebagai
contoh bagi orang-orang yang suka meremehkan hukum
Islam. Anak yang sangat dihargai itu akan dicambuk atau
dipenjara atau bisa keduanya. Aku meninggalkan Norah
dengan rahangnya menganga ketakutan.
Keadaan sudah berbalik. Suaraku terdengar sangat
meyakinkan tanpa aku sendiri menyadarinya.
Norah tidak punya cara untuk mengetahui apakah
169
aku memiliki kekuatan agar ancamanku itu bisa
terlaksana.
Ia mungkin bergembira jika anaknya menceraikan
aku; namun ia akan dibuat malu jika aku yang meminta
cerai. Di Arab, seorang perempuan menceraikan suami itu
sulit dilakukan namun bukannya tidak mungkin, karena
ayahku adalah seorang pangeran yang darahnya lebih
dekat dengan Raja pertama dibanding ayah Karim. Norah
gemetar, takut kalau-kalau aku berhasil menyerukan
hukuman bagi Munir. Ia tidak tahu bahwa ayahku lebih
suka melemparku keluar rumah karena kekurangajaranku,
dan aku tak tahu mau pergi kemana.
Perlu tindakan yang tepat untuk memperkuat
ancamanku. Ketika Marci dan aku muncul di pintu sambil
menenteng tas untuk meninggalkan rumah, pintu rumah
terbuka seperti meledak.
Secara kebetulan, Munir, yang ditemukan di rumah
temannya dan disuruh pulang, baru saja sampai di rumah
dengan salah seorang sopir. Tak menyadari situasi bahaya
yang mengancam dirinya, ia bersumpah mendukungku
ketika aku memberitahukan padanya bahwa ibunyalah
yang menyebabkan perceraian yang menanti anak lelaki
tertuanya.
Gelombang optimisme yang jahat menyapu seluruh
tubuhku ketika Norah, yang takut dengan semakin
parahnya kemarahanku, mendesakku agar tak
meninggalkan rumah. Krisis ganda merongrong ketetapan
hati Norah; ia meminta maaf atas perseteruan sengit yang
terjadi di akhir pekan itu. Setelah meminta maaf berkalikali
karena kesalahannya, dengan enggan aku tak jadi
meninggalkan rumah.
Ketika Karim pulang, aku sedang tidur, letih karena
perbuatan memalukan di sore hari itu. Aku mendengar
Karim meminta Munir untuk mempertimbangkan nama
170
baik ayahnya, sebelum melakukan tindakan yang
terlarang. Aku tidak harus bersusah payah mendengar
respon mulut besar Munir, yang menuduh Karim
membantu meminyaki mesin raksasa kemunafikan,
Kerajaan Arab Saudi.
Raja Faisal dipuja-puja oleh sebagian besar orang
Saudi karena dedikasi dan gaya hidupnya yang saleh. Di
dalam keluarganya sendiri, ia mendapatkan rasa hormat
dari pengeran-pangeran yang lebih tua. Ia membawa
negara kami dari masa kegelapan pemerintahan Raja
Sa'ud menuju sebuah posisi yang dihargai dan bahkan
dikagumi beberapa negara tetangga. Tapi terdapat
perbedaan jauh antara pangeran-pangeran senior itu
dengan pangeran-pangeran muda.
Karena rakus dengan kekayaan tanpa kerja, anak
anak muda ini membenci Raja, yang memotong upah
mereka, melarang keterlibatan mereka dalam bisnis ilegal,
dan mencaci mereka ketika tersesat dari jalan yang baik.
Bahkan tak ada kompromi antara dua kubu ini, dan
kekacauan terus terjadi.
Malam itu, meski sama-sama berada di ranjang kami
yang lebar, Karim tidur menjauh dariku. Di sepanjang
malam, aku mendengarnya bergerak-gerak dan
membolak-balik. Aku tahu ia tenggelam dalam pikiran
yang kacau. Aku jarang merasa bersalah ketika
merenungkan masalah pelik yang dihadapinya. Aku
berjanji kalau perkawinanku bisa selamat dari hari yang
menyedihkan itu, aku akan memperlembut sifatku.
Paginya, Karim berubah. Ia tidak mau bicara dan
menemuiku. Maksud baikku yang kurencanakan malam
harinya menghilang bersama datangnya cahaya pagi. Aku
berkata kepadanya dengan suara keras bahwa lebih baik
kita bercerai. Dalam hatiku, aku ingin ia mengajakku
berdamai.
171
Ia menatapku dan membalas dengan suara dingin
yang menakutkan: 'Terserah padamu, tapi kita baru akan
menyelesaikan perbedaan kita bila krisis dalam keluarga
sudah berlalu.' Karim melanjutkan bercukurnya, seolaholah
aku tak mengatakan sesuatu yang luar biasa.
Musuh baru ini, ketidakacuhan, membuatku diam
dan duduk, menyanyi-nyanyi lembut tak karuan,
sementara Karim menyelesaikan berpakaian. Ia membuka
pintu kamar dan meninggalkanku dengan gagasan
perceraian: 'Sultana, kamu tahu, kamu memperdayaku
dengan semangat prajuritmu, yang tersembunyi di balik
senyum seorang perempuan.'
Setelah dia berangkat, aku berbaring di tempat tidur
dan terisak-isak sampai lelah.
Norah membujukku ke meja perdamaian, dan
menyelesaikan perbedaan kami dengan bahasa cinta. Ia
menyuruh salah seorang sopirnya mengantarku ke pasar
perhiasan untuk membelikanku kalung berlian. Aku cepatcepat
pergi ke pasar emas dan membeli kalung emas
termahal yang dapat kutemukan. Aku menghabiskan lebih
dari 3000 Riyal Saudi ($80,000) dan tak memikirkan apa
yang akan dikatakan Karim. Sekarang aku melihat
kemungkinan perdamaian dengan perempuan yang bisa
menyebabkan duka cita yang tak berkesudahan bagiku
dan seharusnya dengan perdamaian ini perkawinanku
akan selamat.
Minggu-minggu berlalu sebelum nasib Munir
diputuskan. Sekali lagi, keluarga kerajaan tak melihat
keuntungan mempublikasikan kesialan anggotanya.
Kemurkaan Raja sedikit melunak dengan usahausaha
ayahku dan para pangeran yang berupaya
mengurangi pentingnya insiden ini sebagai kelakuan
seorang pemuda bodoh yang terpengaruh oleh kejahatan
dari Barat.
172
Menganggap aku ikut mempengaruhi ayahku dengan
entah bagaimana caranya, Norah sangat gembira dan
senang memiliki seseorang seperti aku sebagai
menantunya. Padahal sebenarnya tak demikian: aku tak
mengatakan apa pun kepada ayahku. Perhatian ayah
muncul karena aku telah menikah dengan keluarga ini dan
ia tidak ingin sebuah skandal muncul mencoreng pertalian
dengan saudara laki-laki Karim.
Ayah hanya peduli kepada dirinya sendiri dan Faruq.
Meskipun demikian, aku benar-benar senang dengan
keputusan itu dan aku adalah, tak pantas diakui, obat bius
di mata mertuaku.
Sekali lagi, para mutawa dibuat diam oleh usaha
Raja. Raja Faisal sangat dihormati oleh Dewan Syariah
sehingga seruannya didengar dan ditaati.
Munir diikutkan dalam bisnis mertuaku dan dikirim
ke Jeddah untuk mengurus kantor baru. Untuk mengobati
rasa kecewanya, ia ditawari sebuah kontrak besar
pemerintah. Dalam beberapa bulan, ia bicara pada
ayahnya bahwa ia ingin menikah. Maka dicarilah seorang
sepupu yang cocok dan kebahagiaannya pun bertambah.
Dalam beberapa bulan, ia mulai tumbuh kuat dan
bergabung dengan pangeran-pangeran kerajaan yang
hidup demi mendapatkan lebih banyak uang sampai
rekening bank mereka berlimpah dan menghasilkan inkam
mencukupi dari bunganya, yang melebihi budget negaranegara
kecil.
Sejak kami bicara terakhir kalinya, Karim telah
pindah kamar. Ayah dan ibunya tak dapat berkata dan
berbuat apa pun untuk membujuknya mempertimbangkan
kembali keputusan bercerai.
Lebih manakutkanku lagi, satu minggu setelah pisah
ranjang, aku mengetahui kalau aku hamil. Setelah berfikir
173
lama, aku memutuskan bahwa aku tak punya pilihan
kecuali menggugurkan kandunganku. Aku tahu Karim tak
akan pernah setuju untuk bercerai jika menemukan aku
sedang mengandung. Tapi orang seperti aku tak
dibutuhkan oleh suami yang berada di bawah ancaman.
Aku berada dalam dilema, karena aborsi tidak biasa
di negeri kami banyak anak sangat diharapkan oleh
sebagian besar orang dan aku tak memiliki petunjuk yang
jelas ke mana harus pergi dan siapa yang harus kutemui.
Aku sulit mencari tahu. Akhirnya, aku mengutarakan
maksudku kepada salah seorang sepupuku yang
memberitahuku bahwa adik perempuannya hamil setahun
sebelumnya ketika sedang berlibur di Nice. Ia tak
menyadari kondisinya dan kembali ke Riyadh. Takut akan
diketahui oleh ayahnya, ia berusaha bunuh diri.
Sang ibu melindungi rahasia putrinya dan menemui
seorang dokter India untuk, dengan biaya sangat mahal,
melakukan aborsi terhadap putrinya itu. Dengan hati-hati
aku berencana pergi dari istana menuju kantor dokter
aborsi itu. Marci adalah wanita kepercayaanku.
Aku sedang menunggu, sangat sedih, di dalam
kantor dokter itu ketika wajah merah Karim muncul dari
pintu. Aku adalah perempuan bercadar di antara
perempuan bercadar lainnya, namun ia mengenaliku dari
abaya sutraku dan sepatu Italiaku yang berwarna merah.
Ia menarik dan mendorongku melewati pintu,
berteriak pada resepsionis bahwa sebaiknya kantor ini
segera ditutup karena ia, Karim, akan segera
memasukkan dokter itu ke penjara.
Aku tersenyum di balik cadarku, dan dengan sangat
lembut Karim menyatakan cinta dan makian kepadaku
secara bergantian. Matanya bercahaya dan membelalak!
Rasa takutku akan perceraian ia buang dengan
174
sumpah bahwa ia tak pernah memikirkannya; perceraian
yang hampir terjadi hanya dikarenakan harga diri dan
kemarahan belaka.
Karim mengetahui rencana aborsiku dari Marci yang
membocorkannya pada pelayan lain di rumah. Pelayan itu
mengadu ke Norah, dan ibu mertuaku dengan penuh
ketakutan mencari Karim ke kantor kliennya dan dengan
histeris melaporkan bahwa aku sedang pergi membunuh
cucunya yang belum lahir.
Anak kami selamat pada saat itu juga. Aku harus
berterima kasih pada Marci.
Karim menggiringku ke dalam rumah sambil
memaki-maki.
Di dalam kamar, ia menghujaniku dengan ciuman
dan kami pun berdamai. Butuh serangkaian musibah
untuk membawa kami pada puncak kebahagiaan. Dengan
ajaib semuanya berakhir baik-baik saja.
175
14
Ekspresi hidup yang paling lengkap dan kuat adalah
kelahiran. Mengandung dan melahirkan memiliki makna
yang lebih dalam dan indah dibandingkan seni ajaib mana
pun. Hal ini kuketahui ketika aku menunggu kelahiran
anak pertamaku dengan rasa bahagia.
Aku dan Karim dengan sangat cermat merencanakan
kelahiran ini. Perhitungan dilakukan sampai pada hal-hal
yang kecil. Kami memesan tiket ke Eropa empat bulan
sebelum tanggal yang diperkirakan. Aku akan melahirkan
di rumah sakit Guy di London.
Sebagaimana terjadi pada banyak rencana yang
dilakukan secara hati-hati, beberapa peristiwa kecil
menghalangi keberangkatan kami. Ibu Karim, yang tak
bisa melihat karena terhalang cadar barunya yang terbuat
dari kain yang lebih tebal dari biasanya, kakinya
menyandung kaki seorang perempuan badui tua yang
sedang duduk di pasar dan mata kakinya terkilir; seorang
sepupu dekat yang harus menandatangani kontrak
176
penting, meminta Karim menunda keberangkatannya; dan
kakakku Nura membuat takut keluarga dengan apa yang
dikatakan oleh dokter sebagai serangan radang usus
buntu.
Segera setelah kami melewati tiga krisis tersebut,
tanda-tanda kesakitan melahirkan mulai timbul. Dokter
melarangku melakukan perjalanan. Aku dan Karim
menerima hal yang tak dapat dihindari itu dan mulai
mengatur persiapan kelahiran anak kami di Riyadh.
Sialnya, Rumah Sakit Khusus dan Pusat Penelitian
Raja Faisal yang akan memberi pelayanan medis mutakhir
untuk anggota kerajaan belum dibuka. Aku akan
melahirkan di sebuah institusi kecil di kota ini, yang
terkenal kotor dan para stafnya tak bersemangat.
Karena kami berasal dari keluarga kerajaan, kami
punya pilihan yang tak disediakan untuk orang Saudi lain.
Karim meminta tiga ruangan bersalin disulap menjadi
sebuah kamar kerajaan (royal suite). Ia menyewa tukang
kayu dan tukang cat lokal. Para dekorator interior dari
London didatangkan. Pita pengukur dan contoh-contoh
kain disediakan.
Aku dan para kakakku dipandu menuju unit itu oleh
seorang administrator rumah sakit yang angkuh. Suite itu
bernuansa biru tua dengan bed cover dan tirai jendela dari
bahan sutra. Sebuah tempat tidur bayi besar dengan
tutup sutra yang serasi dikunci dengan baut ke lantai,
menjaga jika seandainya ada seorang anggota staf yang
sembrono menyenggol tempat tidur itu dan membuat bayi
kami yang sangat berharga jatuh ke lantai! Nura tertawa
sampai terbungkuk-bungkuk ketika mendengar tindakan
pencegahan itu dan mengatakan padaku bahwa Karim
akan membuat keluarga gila dengan skemanya
melindungi anak-anak.
Aku duduk diam ketika Karim menyampaikan
177
kepadaku bahwa enam orang staf akan segera tiba dari
London untuk membantuku melahirkan. Dokter bidan
terkenal dari London bersama dengan lima orang perawat
dengan keahlian tinggi, dibayar dengan upah yang sangat
mahal untuk melakukan perjalanan ke Riyadh tiga minggu
sebelum tanggal kelahiran yang diperkirakan.
Karena aku sebentar lagi melahirkan, Sara pindah ke
istanaku sampai akhir masa kehamilanku. Ia menjagaku
seperti aku menjaga dia, aku mengamatinya dengan teliti,
kutangkap kesedihan merundung kakakku tersayang.
Kukatakan pada Karim, aku takut Sara tak akan pernah
pulih dari trauma perkawinannya yang menjijikkan,
keadaan jiwanya yang hampa sekarang menjadi
permanen, padahal dulu ia adalah orang yang selalu
gembira dan memilki sifat yang riang.
Betapa tak adilnya hidup ini! Dengan keagresifan,
aku justru lebih bisa menghadapi seorang suami yang
kejam, karena seorang penggertak cenderung tidak
berdaya di hadapan seseorang yang mau berdiri
menghadapinya. Sara yang berjiwa damai dan lembut,
mudah menjadi mangsa suami liar yang sombong.
Tapi aku berterima kasih dengan kehadiran Sara
yang tenang. Ketika tubuhku bertambah besar, aku
menjadi gelisah dan tak dapat diprediksi. Karim, karena
gembira akan menjadi ayah, kehilangan semua
kesabarannya.
Karena Asad, saudara laki-laki Karim, dan para
saudara sepupu datang dan pergi semaunya, maka ketika
meninggalkan apartemen kami di lantai dua, Sara harus
waspada untuk tetap memakai cadar. Memang, para lelaki
yang belum menikah akan ditempatkan di bagian lain,
namun mereka menjelajahi istana sepanjang waktu.
Setelah Sara berada di rumah kami selama tiga hari,
Norah mengirim pesan melalui Karim bahwa Sara tak
178
perlu memakai cadarnya ketika memasuki wilayah ruang
keluarga utama dan taman vila itu. Aku sangat gembira
dengan pelonggaran aturan yang sangat ketat membebani
hidup perempuan. Pada awalnya Sara merasa kuatir, tapi
ia segera melepaskan kain hitam itu dengan santai.
Di suatu malam yang cukup larut, Aku dan Sara
bersandar di kursi panjang rotan, menikmati udara malam
yang sejuk di taman keluarga. (Di kebanyakan istana
istana di Arab, ada taman khusus perempuan dan taman
keluarga). Tak disangka-sangka, Asad dan empat
kenalannya kembali dari sebuah pertemuan tengah
malam.
Ketika mendengar para laki-laki itu mendekat, Sara
memalingkan wajahnya ke dinding, karena ia tak ingin
keluarga mendapatkan aib lantaran ia menunjukkan
wajahnya pada orang asing. Aku tak ingin mengikuti
gerakannya, sehingga dengan keras aku berteriak pada
Asad bahwa di taman ada perempuan-perempuan yang
tak bercadar. Para lelaki teman Asad secara tergesa-gesa
melewati kami tanpa memandang dan kemudian
memasuki salah satu sisi pintu menuju ruang duduk lakilaki.
Sebagai basa-basi, saat berjalan melewati tempat
kami Asad menanyakan di mana Karim berada dan
matanya secara tak sengaja berhenti di wajah Sara.
Reaksi fisiknya begitu tiba-tiba dan membuatku
takut kalau-kalau ia mendapat serangan jantung.
Tubuhnya tersentak aneh sekali sehingga aku
bergerak secepat yang dimungkinkan oleh perutku yang
besar dan mengguncang lengannya untuk membangkitkan
kesadarannya. Aku sungguh-sungguh cemas. Apakah ia
sakit? Wajah Asad memerah, dan ia tampaknya tak dapat
bergerak tanpa dibimbing; aku membawanya ke kursi dan
menyuruh dengan suara keras pelayan untuk
179
membawakan air.
Ketika tak ada respon, Sara berdiri dan dengan
tergesa-gesa masuk ke dalam untuk mengambil air
sendiri. Asad, karena merasa malu, berusaha pergi,
namun aku meyakinkan bahwa dia hampir pingsan. Aku
bersikeras agar ia tetap duduk. Ia mengatakan ia tak apaapa,
namun ia tak dapat menjelaskan mengapa ia tadi
tiba-tiba tak dapat bergerak.
Sara kembali dengan gelas dan sebotol air mineral
dingin. Tanpa melihat Asad, ia menuangkan air dan
menyodorkan gelas ke bibir Asad. Tangan Asad
bersentuhan dengan jari-jari Sara. Mata mereka
bertatapan. Gelas terlepas dari genggaman Sara dan jatuh
ke lantai. Sara berlari melewatiku masuk ke dalam rumah.
Aku meninggalkan Asad dengan para temannya
yang turut resah dan ikut masuk ke taman. Mereka
menjadi lebih bingung melihat wajahku dibanding perutku
yang menonjol besar. Tanpa peduli aku berjalan
bergoyang-goyang melewati mereka, dan memberikan
ucapan salam di hadapan mereka. Merekapun merespon
dengan malu-malu.
Saat tengah malam, Karim membangunkanku. Ia
dicegat oleh Asad ketika sampai di taman. Karim ingin
tahu apa yang terjadi di taman. Dengan mengantuk aku
ceritakan peristiwa malam itu dan menanyakan tentang
keadaan Asad.
Aku duduk terkejut ketika Karim menjawab bahwa
Asad bersikeras ingin menikahi Sara. Ia menyatakan pada
Karim bahwa ia tak akan bisa bahagia jika Sara tak
menjadi istrinya. Padahal, beberapa minggu sebelumnya,
ia membuat sedih ibunya dengan berapi-api bersumpah
tak akan mau menikah.
Aku heran. Kukatakan pada Karim, melihat perilaku
180
Asad di taman, memang mudah menduga bahwa ia
tertarik pada Sara. Tetapi desakannya untuk menikah
sungguh tak dapat dipercaya! Setelah pandangan
menyenangkan yang sangat singkat? Aku tak percaya
dengan omong kosong itu dan kembali berbaring.
Saat Karim sedang mandi, aku memikirkan kembali
peristiwa itu dan beranjak dari tempat tidur. Aku
mengetuk pintu kamar Sara. Karena tak ada jawaban, aku
dengan perlahan mendorong pintu sampai terbuka.
Kakakku sedang duduk di balkon menatap bintang
yang bertabur di langit.
Dengan sangat sulit, aku bergerak menuju pojok
balkon dan duduk, diam.
Tanpa melihat ke arahku, Sara berkata dengan
pasti. 'Ia hendak menikahiku.'
'Ya,' aku mengiyakan dengan suara kecil.
Dengan berbinar-binar Sara melanjutkan. 'Sultana,
aku lihat masa depanku ketika aku menatap jauh
menembus jiwanya. Ini adalah laki-laki yang dilihat Huda
ketika ia mengatakan aku akan mengenal cinta. Ia juga
mengatakan, sebagai hasil dari cinta ini, aku akan
melahirkan enam orang anak ke dunia.'
Aku menutup mataku mengingat-ingat kata-kata
Huda dulu di rumah orangtua kami. Aku ingat kata-kata
tentang ambisi yang tak akan terealisasi dan kata-kata
tentang perkawinan, tapi sedikit dari pembicaraan itu
yang masih segar dalam pikiranku. Aku gemetar ketika
aku menyadari bahwa banyak ramalan Huda yang menjadi
kenyataan.
Aku berusaha keras menolak gagasan tentang cinta
pada pandangan pertama. Tapi aku tiba-tiba ingat gelora
perasaanku pada hari pertama aku bertemu Karim. Aku
menggigit lidahku dan tak bersuara.
181
Sara mengelus-elus perutku. 'Tidurlah Sultana.
Anakmu butuh istirahat. Takdirku akan menghampiriku.'
Ia mengalihkan tatapannya kembali ke bintangbintang.
'Katakan pada Karim bahwa Asad harus bertemu dan
berbicara pada ayah tentang persoalan ini.'
Ketika aku kembali ke ranjang, Karim masih belum
tidur. Aku mengulangi kata-kata Sara, dan ia
menggeleng-gelengkan kepalanya heran dan berkomat
kamit bahwa hidup ini benar-benar aneh, dan kemudian ia
memeluk perutku. Kami langsung terlelap, karena hidup
kami telah ditetapkan dengan sangat cermat, dan tak
satupun dari kita mengetahuinya.
Pagi keesokan harinya, aku meninggalkan Karim
yang sedang bercukur dan bergerak perlahan menuruni
tangga. Aku mendengar suara Norah sebelum aku
melihatnya. Ia sedang melantunkan kutipan sebuah
pepatah. Aku mengutuk sambil menarik nafas namun
mendengarkannya dengan tenang di gang masuk.
'Laki-laki yang menikahi perempuan karena
kecantikannya akan terperdaya; laki-laki yang menikahi
perempuan karena kebaikannya baru bisa dikatakan
menikah dengan benar."'
Aku sedang tidak ingin melawan sehingga aku pikir
lebih baik berbatuk-batuk untuk memberi tahu kehadiranku.
Ketika Norah mulai akan bicara lagi, aku berubah
pikiran. Aku menahan nafas dan menyiapkan telingaku
untuk mendengarkan kata-katanya.
'Asad, gadis itu sudah pernah menikah. Ia pun
segera bercerai. Siapa yang tahu alasannya?
Pertimbangkan anakku. Kamu bisa menikahi siapa pun
yang kamu inginkan. Kamu lebih baik menikah dengan
perempuan yang masih perawan, bukan dengan
182
perempuan yang sudah pernah dipakai! Di samping itu,
anakku, kamu lihat bola api, yaitu Sultana. Akankah
saudarinya berbeda dengannya?'
Aku membawa perut besarku menuju ruangan itu,
jantungku berdebar. Ia sedang memperingati Asad untuk
tak menikahi Sara. Tidak hanya itu; macan tutul tak akan
mengganti tutul-tutulnya; dalam hati Norah ia masih
membenciku. Aku adalah minuman pahit yang harus
ditelannya.
Sadar akan karakter Asad yang bebas tanpa beban,
aku tidak dalam posisi mendukung cintanya dan cinta
Sara. Sekarang aku sekadar merestui keinginan mereka.
Aku bisa dengan mudah melihat ekspresi Asad
bahwa tak seorang pun bisa mengubah kemauannya. Ia
laki-laki yang sedang dimabuk cinta.
Percakapan itu berhenti ketika mereka melihat
wajahku, namun aku dengan susah payah menutupi
kemarahanku; aku geram karena Norah mengira bahwa
perkawinan anak laki-lakinya dengan saudariku akan
menimbulkan penderitaan. Tentu saja aku tidak bisa
membantah sifatku yang suka memberontak. Itu adalah
watak dari masa kecilku dan aku tak ingin mengubahnya.
Tapi aku merasa jengkel jika dikatakan bahwa Sara
memiliki watak yang sama denganku!
Di masa kecil, aku sering mendengar banyak orang
tua berkata: 'jika kamu berdiri di dekat pandai besi, kamu
akan terkena panas jelaga, namun jika kamu berdiri di
dekat penjual parfum kamu akan ikut wangi.' Aku
menyadari itu, sejauh yang dikhawatirkan Norah, Saralah
yang membawa jelaga untuk adik kecilnya.
Perasaanku sekarang sangat marah pada ibu
mertuaku. Kecantikan Sara menimbulkan kecemburuan
banyak perempuan. Aku tahu, penampilan Sara sangat
183
dekat dengan sifat yang lemah lembut dan kecerdasan
yang berkobar-kobar. Sara yang malang!
Asad berdiri dan mengangguk ringan ke arahku. Ia
menjauh dari hadapan kami. Norah tampak seperti
seseorang yang menderita luka pisau belati saat Asad
berbalik dan berkata: 'Keputusanku sudah bulat. Jika aku
diterima oleh dia dan keluarganya, tak ada yang bisa
menghalangiku.'
Norah berteriak mencak-mencak mencela anaknya
yang tak tahu adat dan mencoba membebaninya dengan
rasa bersalah saat ia berseru bahwa ia tak akan lama lagi
di dunia ini; jantungnya melemah setiap hari. Ketika Asad
mengabaikannya, ia menggelengkan kepalanya dengan
sedih. Dengan kening berkerut, sambil berpikir, ia
menyeruput segelas kopi. Pasti ia sedang merencanakan
sesuatu terhadap Sara seperti ia membuat rencana untuk
perempuan Libanon itu.
Dengan emosi yang memuncak, aku membunyikan
bel untuk memanggil tukang masak, memintanya
menyediakan yogurt dan buah untuk sarapan. Marci
masuk ke dalam ruangan dan jemarinya yang ahli
memijat kakiku untuk menghilangkan rasa sakit. Norah
berusaha mengajak bicara, namun aku masih marah; aku
tak mau meresponnya. Ketika hendak menggigit stroberi
segar yang dikirim setiap hari dari Eropa rasa sakit akan
melahirkan membuatku terduduk di lantai. Aku takut dan
menjerit kesakitan, karena sakit yang sangat parah ini
datang terlalu cepat. Aku tahu bahwa sakit itu pasti
dimulai dengan denyutan, karena tanda-tanda sakit akan
melahirkan ini telah mulai timbul kemarin.
Kekacauan muncul ketika Norah berteriak keras
memanggil Karim, Sara, perawat khusus dan para
pelayan. Dalam sekejap, Karim menggendongku dan
membawaku cepat-cepat ke bagian belakang limusin yang
184
sangat panjang, yang dengan khusus dirancang untuk
mengantisipasi peristiwa semacam ini. Kursi-kursinya
dikeluarkan dan sebuah tempat tidur dipasang di satu sisi.
Tiga kursi kecil disediakan untuk duduk Karim, Sara dan
perawat. Dokter dari London dan suster lain telah siap
siaga dan mengikuti dengan limusin yang berbeda.
Aku berpegangan pada sandaranku sementara
perawat dengan sia-sia mencoba memeriksa detak
jantungku. Karim berteriak pada sopir untuk berjalan lebih
cepat; namun perintah itu segera dibatalkannya, dengan
menyatakan bahwa sembrono mengemudi akan
membunuh kita semua. Ia memukul bagian belakang
kepala sopir malang itu karena mengizinkan pengendara
lain memotong jalan mobil kami.
Karim mulai mengutuk dirinya sendiri karena tidak
mempersiapkan kawalan polisi. Sara berusaha sepenuh
tenaga menenangkan Karim, tapi suamiku itu sudah
seperti badai yang mengamuk. Akhirnya, perawat Inggris
berkata dengan keras di depan wajah Karim; perawat itu
menyampaikan bahwa kelakuan Karim bisa
membahayakan istri dan anaknya. Perawat itu
mengancam akan mengeluarkannya dari kendaraan jika
tidak juga diam.
Sebagai seorang pangeran terkemuka kerajaan yang
tidak pernah menerima kritik dari perempuan dalam
hidupnya, Karim kaget dan tak bisa berkata-kata. Kami
semua bernafas lega.
Petugas rumah sakit dan sejumlah besar staf yang
disuruh bersiaga sudah menunggu di pintu samping.
Petugas itu sangat gembira bahwa anak kami akan
dilahirkan di institusinya, karena pada saat itu banyak
keluarga muda kerajaan pergi keluar negeri untuk
melahirkan.
185
Aku melahirkan sangat lama dan sulit, karena aku
masih sangat muda dan berbadan mungil sedangkan
bayiku besar dan bandel. Aku tak begitu ingat saat
kelahiran itu; karena aku dibius. Ketegangan para staf
memenuhi ruangan, dan aku mendengar dokter mencerca
stafnya berkali-kali. Tak diragukan lagi, mereka semua,
begitu juga dengan suami dan keluargaku, berdoa
mengharapkan kelahiran seorang anak laki-laki. Upah
mereka akan besar jika anak laki-laki yang lahir; jika anak
perempuan yang lahir, akan muncul kekecewaan besar.
Persoalannya, aku sendiri sangat menginginkan anak
perempuan. Negeriku harus berubah, dan aku tersenyum
menantikan bayi perempuan.
Kegembiraan sang dokter dan stafnya
membangunkanku dari keadaan terbius. Seorang anak
laki-laki telah lahir! Aku yakin aku mendengar dokter itu
berbisik ke telinga perawatnya: 'Orang yang bersorban itu
akan mengisi penuh kantongku karena hadiah ini!'
Pikiranku protes atas penghinaan pada suamiku ini,
namun aku lelap dalam rasa sangat ngantuk dan katakata
itu baru teringat lagi selama beberapa minggu
kemudian. Pada saat itu, Karim memberi si dokter hadiah
sebuah jaguar hitam baru dan uang sebanyak lima puluh
ribu poundsterling. Para perawat masing-masing diberi
perhiasan emas dan lima ribu poundsterling. Si petugas
yang berasal dari Mesir bersorak kegirangan menerima
sumbangan yang digunakan untuk pembangunan ruang
bersalin. Ia sangat senang mendapat bonus tiga bulan
gaji.
Semua pikiran tentang anak perempuan menghilang
ketika putraku yang sedang menguap diletakkan di
pangkuanku. Anak perempuan akan menyusul kemudian.
Anak laki-laki ini akan dididik dengan cara yang
berbeda dan lebih baik dari generasi sebelumnya. Aku
186
merasakan kekuatan dari cita-cita menciptakan masa
depannya. Ia tak akan memiliki pikiran yang terbelakang;
saudari-saudarinya akan diberi tempat terhormat dan
dihargai; dan dia akan mengenal dan mencintai
pasangannya sebelum ia menikah. Sangat banyak
kemungkinan dari kecakapannya untuk bersinar dan
berkelip sebagai bintang baru. Dalam hati aku berbisik,
berkali-kali dalam sejarah seorang manusia menciptakan
perubahaan yang akan mempengaruhi jutaan orang. Aku
merasa bangga ketika aku membayangkan kebaikan bagi
umat manusia akan datang dari tubuh mungil yang
sekarang berada dalam pangkuanku. Sudah pasti, awal
baru bagi perempuan di Saudi Arabia bisa dimulai dari
darahku.
Karim tak begitu memikirkan masa depan anak lakilakinya.
Ia sedang keranjingan menjadi seorang ayah dan
sibuk dengan kata-kata bodoh tentang jumlah anak lakilaki
yang akan kami bikin bersama.
Kami sangat gembira!
187
15
Ujung kelahiran adalah kematian. Hidup dimulai dengan
hanya satu tiket terusan; namun terdapat banyak cara
untuk keluar. Cara pergi yang biasanya diharapkan
didasarkan pada pemenuhan kewajiban hidup. Yang
sangat menyedihkan adalah jika kematian menimpa
seseorang yang memiliki semangat hidup dan harapan.
Yang terburuk dalam hidup adalah jika masa muda
yang sedang mekar berakhir di tangan manusia lain.
Pada saat kelahiran putraku yang sangat
membahagiakan, aku dihadapkan dengan kematian kejam
dari seorang gadis yang muda dan tak berdosa.
Karim dan staf medis berusaha memisahkanku dari
perempuan Saudi lain yang berada hanya beberapa
langkah dari ruanganku. Ketika putraku tertidur di
sampingku dengan penjagaan yang ketat, anak-anak lain
ditempatkan di kamar anak-anak. Dari ruanganku, aku
ingin sekali mengetahui kisah hidup mereka. Seperti
sebagian besar keluarga kerajaan, aku menjalani hidup
terpisah dari warga negara biasa, dan sekarang aku
188
terdorong oleh sifat ingin tahuku untuk berbincangbincang
dengan para perempuan tersebut.
Aku segera tahu, jika masa kecilku suram,
kehidupan sebagian besar perempuan Saudi lebih suram
lagi.
Kehidupanku dikendalikan oleh laki-laki, namun aku
masih mendapat perlindungan karena nama keluargaku.
Mayoritas perempuan yang berkumpul di sekitar
jendela kamar bayi tak memiliki pendapat atas nasib
mereka.
Saat anak pertamaku lahir, aku berumur delapan
belas tahun. Aku bertemu gadis-gadis kecil berumur
sekitar tiga belas tahun sedang menyusui anak mereka.
Perempuan muda lain, yang baru berumur tak lebih
dari usiaku, sudah melahirkan anak kelima.
Seorang anak perempuan muda menggugah rasa
ingin tahuku. Matanya hitam penuh dengan kepedihan
ketika ia mengarahkan pandangan kepada bayi-bayi yang
sedang menangis. Ia berdiri diam cukup lama dan aku
tahu ia tak lagi menatap apa yang ada di hadapannya. Ia
terbenam dalam peristiwa jauh dari tempat di mana kami
berada.
Aku tahu, ia berasal dari sebuah desa kecil, tak jauh
dari kota ini. Biasanya, perempuan dari sukunya
melahirkan di rumah mereka sendiri, namun ia sudah
menderita sakit melahirkan selama lima hari lima malam,
sehingga suaminya membawanya ke kota untuk mendapat
bantuan medis. Aku berusaha mendekatinya selama
beberapa hari dan aku menjadi tahu bahwa ia menikah
pada usia dua belas tahun dengan laki-laki berumur lima
puluh tiga tahun; ia adalah istri ketiga, dan merupakan
istri yang paling disukai suaminya.
Muhammad, Nabi yang dicintai umat Islam,
189
mengajarkan bahwa laki-laki harus membagi waktu
mereka dengan adil di antara istri-istri mereka. Dalam
kasus ini, sang suami tinggal bersama istri mudanya, yang
disenanginya, sementara istri pertama dan kedua sering
membiarkan begitu saja kehilangan hak mereka.
Perempuan muda ini berkata, suaminya seorang
laki-laki dengan tenaga yang sangat kuat dan melakukan
'itu' beberapa kali dalam sehari. Matanya membelalak
ketika ia menggerakkan tangannya naik turun ala pompa
untuk membumbui ceritanya.
Sekarang ia takut, karena ia melahirkan anak
perempuan bukan anak laki-laki. Suaminya akan marah
kalau ia datang menjemputnya pulang ke desa, karena
anak pertama dari dua istrinya yang lain adalah anak lakilaki.
Sekarang firasatnya mengatakan, ia akan dicaci-maki
oleh suaminya.
Ia mengingat masa kecilnya, yang sekarang
tampaknya sudah lama sekali. Ia dibesarkan secara
buruk, dengan kerja keras serta pengorbanan. Ia
menggambarkan bagaimana ia membantu saudara
saudaranya yang banyak untuk mengembala kambing dan
unta, serta memeliharanya di kebun yang kecil. Aku ingin
sekali mengetahui bagaimana perasaannya kepada lakilaki
dan perempuan serta kehidupan, tapi karena ia tidak
memiliki pengetahuan, aku tak mendapatkan jawaban
yang kucari.
Ia pergi sebelum aku sempat mengucapkan salam
perpisahan. Aku merasa sedih tentang hidupnya yang
suram dan kembali ke kamarku dengan keadaan hati yang
sedih.
Cemas akan keadaan putranya, Karim menempatkan
penjagaan bersenjata di pintu kamarku. Ketika aku pergi
berjalan pagi ke ruangan bayi aku terkejut menemukan
penjaga berdiri di depan ruangan lain. Aku pikir pasti ada
190
Putri lain di rumah sakit ini. Dengan rasa ingin tahu, aku
meminta pada seorang perawat untuk memberitahuku
siapa nama Putri itu. Keningnya berkerut ketika ia
mengatakan kepadaku bahwa hanya aku seorang Putri
yang ada di rumah sakit ini.
Ia menceritakan kepadaku kisahnya, tapi
sebelumnya ia menyampaikan bahwa ia telah
dipermalukan. Ia kemudian memaki semua orang di bumi
ini sebelum ia menggambarkan apa yang terjadi di ruang
212. mengatakan bahwa hal seperti ini tak akan pernah
terjadi di negerinya, karena Inggris benar-benar beradab,
dan peristiwa ini membuat mereka menganggap dunia
selain negerinya tampak benar-benar biadab.
Imajinasiku belum dapat membawaku pada
kemarahan yang sedemikian tinggi, sehingga aku
memohon dengan sangat padanya untuk menceritakan
apa yang terjadi sebelum Karim datang berkunjung sore
itu.
Kemarin, katanya, staf rumah sakit kaget melihat
seorang gadis kecil yang akan melahirkan, dengan kaki
dibelenggu dan tangan diborgol, diantar ke ruang bersalin
dengan penjagaan bersenjata. Sekelompok mutawa (Polisi
Syariat) yang sedang marah, diikuti oleh petugas yang
ketakutan, menemani para penjaga itu. Mereka menunjuk
seorang dokter untuk menangani kasus anak itu.
Dokter yang sangat kuatir itu diberitahu bahwa gadis
ini diadili menurut hukum Syariah dan dinyatakan
bersalah karena berbuat zina. Karena ini adalah kejahatan
hudud (kejahatan melawan Tuhan), hukumannya sangat
berat. Para mutawa mengungkapkan kebenaran menurut
mereka sendiri, dan berada di sana sebagai pengemban
kesaksian untuk memberikan hukuman yang pantas.
Sang dokter, seorang Muslim dari India, tidak
memprotes para mutawa itu, namun ia dibuat marah
191
karena dipaksa melakukan sesuatu yang tak
diinginkannya. Ia mengatakan pada staf itu bahwa
hukuman yang biasa diberikan pada perbuatan zina
adalah hukum dera, namun dalam kasus ini ayahnya
bersikeras menunda kematian anaknya. Anak itu dijaga
sampai ia melahirkan, dan setelah ia melahirkan, ia akan
dirajam sampai mati.
Dagu perawat itu gemetar marah ketika ia
menceritakaan bahwa gadis itu tak lebih dari seorang
anak kecil. Ia menebak umurnya paling baru empat belas
atau lima belas tahun. Ia hanya mengetahui sedikit
tentang sejarah hidup anak itu. Ia kemudian
meninggalkan sisi tempat tidurku, untuk pergi bergosip
dengan perawat lain di gang-gang rumah sakit.
Aku memohon kepada Karim untuk mengungkap
cerita itu. Ia yang ragu-ragu, mengatakan bahwa itu
bukan urusan kita. Setelah aku memohon dengan sangat
dan mencucurkan air mata, ia berjanji untuk menyelidiki
persoalan itu.
Sara membuatku gembira ketika ia menyampaikan
cerita bagus tentang perkembangan percintaannya. Asad
telah berbicara dengan ayah dan telah menerima jawaban
positif yang diharapkan. Sara dan Asad akan menikah
dalam waktu tiga bulan ini. Aku ikut bahagia untuk
kakakku yang tak banyak mendapatkan kebahagiaan ini.
Kemudian ia memberitahuku berita baru lainnya
yang membuat perutku sakit karena khawatir. Ia dan
Asad telah membuat rencana untuk bertemu di Bahrain
akhir minggu nanti. Ketika aku protes, Sara mengatakan
ia akan bepergian untuk menemui Asad, dengan atau
tanpa pertolonganku. Ia berencana mengatakan kepada
ayah bahwa ia masih di istanaku, membantuku, seorang
ibu baru. Ia akan mengatakan kepada Norah bahwa ia
ingin kembali ke rumah ayah. Ia mengatakan tak seorang
192
pun akan menerka sebaliknya.
Aku bertanya bagaimana ia akan bepergian tanpa
izin ayah, karena aku tahu ayah yang menyimpan semua
paspor keluarga, terkunci dalam laci di kantornya. Di
samping itu, ia akan diminta surat izin dari ayah atau
kalau tidak, ia tak akan pernah diizinkan masuk pesawat.
Aku khawatir ketika Sara mengatakan padaku bahwa ia
telah meminjam paspor dan surat izin dari teman
perempuannya yang berencana melakukan perjalanan ke
Bahrain untuk mengunjungi kerabatnya tapi harus
dibatalkan ketika salah satu kerabatnya itu sakit.
Karena para perempuan Saudi memakai cadar, dan
penjaga keamanan di bandara tak akan berani meminta
mereka membuka cadar untuk dilihat wajahnya, maka
banyak perempuan Saudi yang saling meminjamkan
paspor mereka. Surat izin adalah kesulitan tambahan;
namun surat itu juga dipinjamkan bersama dengan
paspor. Sara akan mendapatkan surat resmi pada tanggal
terakhir rencana perjalanan ke negara tetangga, dan
mencapnya pada menit-menit terakhir, kemudian
memberi surat mandatnya pada teman yang sama.
Begitulah detilnya, di ruang operasi bawah tanah di
mana tak ada satu lelakipun di negeri kami pernah
memikirkannya. Aku selalu tertawa geli ketika dengan
mudah para perempuan menipu penjaga bandara, namun
sekarang yang akan melakukannya kakakku. Aku merasa
cemas.
Dalam usaha mencegah Sara melakukan tindakan
yang sangat berbahaya itu, aku menceritakan kembali
kisah seorang gadis muda yang sedang menunggu
dihukum rajam. Sara, seperti aku, putus asa, namun
rencananya tetap tak tergoyahkan. Dengan ragu-ragu
bercampur takut yang terus meningkat, aku setuju akan
melindunginya. Ia tertawa lebar ketika memikirkan
193
pertemuannya dengan Asad tanpa pengawasan. Ia telah
mengatur untuk meminjam apartemen teman di Manama,
ibu kota negara kecil, Bahrain.
Sara mengangkat putraku dari bedung sutranya.
Dengan mata gembira, ia mengagumi
kesempurnaan bayiku, dan berkata bahwa dirinya juga
akan segera menikmati kesenangan menjadi ibu, karena
ia dan Asad menginginkan enam anak kecil yang
diramalkan dengan pasti oleh Huda.
Aku menunjukkan air muka bahagia yang
diharapkan kakakku namun kekhawatiran tetap
menyelimutiku.
Karim kembali lebih awal malam ini dengan
membawa informasi tentang gadis yang dihukum itu. Ia
mengatakan, gadis itu tertangkap berbuat asusila dan
menjadi hamil setelah berhubungan seks dengan sejumlah
pemuda. Karim jijik dengan perilaku itu. Ia mengatakan,
karena menganggap remeh hukum di negara kita, ia telah
membuat malu nama orang tuanya; tak ada jalan lain
yang dapat dilakukan keluarganya.
Aku bertanya pada suamiku tentang hukuman untuk
pemuda yang ikut melakukan perbuatan zina itu, namun
ia tak punya jawaban. Aku mengatakan pasti hanya akan
menerima omelan jelek dan bukannya hukuman mati; di
dunia Arab, kesalahan atas hubungan seks yang tak syah
dibebankan pada pundak perempuan. Karim membuatku
heran dengan ketenangannya menerima eksekusi yang
telah direncanakan untuk anak itu, tak peduli betapapun
itu merupakan kejahatan. Meskipun aku menangis
mendesaknya untuk melakukan beberapa usaha
mencegah hukuman itu dengan memohon pada Raja,
yakni orang yang sering berhasil bersama dengan ayah
melenturkan hukuman yang sangat keras, Karim menolak
permintaanku dengan kejengkelan yang tak
194
disembunyikan dan bersikeras agar persoalan itu
diabaikan.
Aku menarik diri dan cemberut ketika ia
mengucapkan selamat tinggal. Ia menghujani putra kami
dengan ciuman dan menjanjikan kehidupan sempurna,
sementara aku duduk kesal dan tak meresponnya.
Aku sedang bersiap-siap meninggalkan rumah sakit
ketika perawat Inggris masuk ke dalam kamarku dengan
wajah pucat karena marah. Ia membawa berita tentang
gadis yang dihukum itu. Ia memiliki ingatan yang luar
biasa dan mengingat setiap detil yang menyakitkan,
dengan kejernihan yang sempurna, seperti yang
diceritakan oleh dokter India. Gadis yang dihukum itu
melahirkan anak perempuan pagi-pagi sekali. Tiga
mutawa diberitahu tentang kemarahan komunitas asing,
dan mereka berdiri dengan penjagaan bersenjata di pintu
masuk ruang bersalin untuk memastikan agar tak ada
simpati dari orang asing yang akan membantu gadis itu
melarikan diri. Setelah melahirkan, gadis itu didorong
dengan kursi kembali ke kamarnya. Para mutawa
memberitahu dokter bahwa ibu yang baru melahirkan itu
akan dipindahkan hari itu, dan dibawa keluar untuk
dirajam karena dosanya melawan perintah Tuhan. Nasib
anak yang baru lahir tidak jelas karena keluarganya
menolak membesarkan bayi tersebut sebagai anggota
keluarga mereka.
Dengan ketakutan di matanya, perawat itu
mengatakan bahwa gadis muda itu dengan berurai air
mata mengatakan kepada dokter peristiwa yang
membawanya kepada situasi tragis itu. Namanya Amal,
dan ia adalah anak seorang pemilik toko di Riyadh. Ia
baru berumur tiga belas tahun ketika peristiwa yang
menghancurkan dunianya itu terjadi. Ia baru saja
memakai cadar.
195
Saat itu malam Kamis (malam minggu kalau di dunia
Barat). Orangtua Amal sedang bepergian ke Emirat untuk
berakhir pekan dan tak akan kembali sampai Sabtu siang.
Tiga pelayan Filipina mereka sedang tidur, dan sopirnya
berada di ruangan kecilnya di gerbang jauh dari
kediaman utama. Saudara Amal yang lain, yang sudah
menikah, tinggal di daerah lain di kota ini. Dari
keluarganya hanya ia dan kakak laki-lakinya yang
berumur tujuh belas tahun yang tinggal di rumah.
Abangnya dan tiga pelayan Filipina diperintahkan untuk
menjaganya. Abangnya mengambil kesempatan untuk
menjamu teman-temannya ketika orangtua mereka tidak
dirumah. Amal mendengar suara musik yang sangat keras
sampai tengah malam; ruang tempat bermain para anak
muda itu, tepat berada di bawah kamar tidurnya. Ia pikir
abangnya dan teman-temannya sedang mengisap
marijuana, zat yang akhir-akhir ini memikat abangnya.
Akhirnya, ketika dinding kamar Amal mulai bergetar
karena suara bass stereo, ia memutuskan untuk turun
meminta kakaknya dan teman-temannya mengecilkan
suara musik mereka. Karena hanya mamakai pakaian
tidur yang tipis ia tidak bermaksud memasuki ruangan itu.
Ia hanya melongokkan kepalanya di jalan masuk dan
berteriak agar mereka tenang dan tidak berisik. Karena
cahaya temaram, dan ruangan gelap, dan karena
abangnya tidak merespon teriakannya, ia masuk ke dalam
untuk mencarinya.
Saudara Amal tidak ada. Pemuda-pemuda di
ruangan itu bangkit nafsunya oleh obat-obatan dan bicara
tentang perempuan, sebab secara tiba-tiba Amal diterkam
oleh beberapa pemuda itu dan ditekan ke lantai.
Ia berteriak memanggil kakaknya dan berusaha
memberitahu pemuda-pemuda itu bahwa ia adalah anak
perempuan si empunya rumah. Namun jeritannya tidak
196
terdengar oleh otak yang sedang mabuk. Pakaiannya
direnggut dari tubuhnya. Ia dengan brutal diperkosa oleh
teman-teman abangnya, yang berubah menjadi
gerombolan yang liar. Suara musik yang keras meredam
suara serangan itu, dan tak seorang pun mendengar
teriakan minta tolongnya. Amal pingsan setelah laki-laki
ketiga memperkosanya.
Abangnya berada di kamar mandi, namun ia juga
mabuk dan ia merosot di dinding dan tertidur sampai pagi.
Kemudian ketika fajar mulai menyinsing dan menerpa
kepala para penyerangnya serta identitas Amal
sebenarnya terungkap, pemuda-pemuda itu melarikan diri
dari rumah.
Amal dibawa ke rumah sakit terdekat oleh sopir dan
pelayan Filipina. Dokter di ruang gawat darurat menelpon
polisi. Para mutawa pun terlibat. Sebagai anak perempuan
yang dipingit, Amal tidak bisa mengenali nama para
penyerangnya; yang ia tahu hanya mereka adalah kenalan
abangnya. Nama-nama mereka didapat dari kakak Amal.
Tapi pada saat mereka dikumpulkan dan ditanya
dihadapan polisi, mereka dengan susah payah mengarang
cerita. Sesuai dengan versi mereka tentang malam itu,
mereka tidak memakai obat-obatan.
Mereka mengakui hanya bermain dengan musik
yang keras dan melakukan kesenangan yang tak berdosa.
Mereka mengatakan gadis itu memasuki ruangan dengan
pakaian tidur yang tipis dan membujuk mereka untuk
bercinta. Gadis itu mengatakan kepada mereka bahwa ia
baru saja membaca buku tentang seks di kamar atas dan
diliputi oleh rasa sangat ingin tahu. Mereka bersumpah
bahwa awalnya mereka menolak, namun gadis itu terus
merayu dengan cara yang berani duduk di pangkuan
mereka, menciumi mereka dan meraba-raba tubuh
mereka akhirnya mereka tak lagi bisa menahannya. Gadis
197
itu datang tanpa muhrim dan memutuskan untuk
bersenang-senang dengan beberapa anak lelaki. Mereka
mengatakan bahwa gadis itu tak pernah puas dan
memohon pada mereka semua untuk ikut berpartisipasi.
Orang tuanya kembali dari Emirat. Ibu Amal lebih
percaya kepada cerita anaknya; walaupun sangat sedih, ia
tidak bisa meyakinkan suaminya bahwa anak mereka tak
berdosa. Ayah Amal, yang selalu merasa tak nyaman
dengan anak perempuan, terpukul oleh peristiwa itu,
namun merasa bahwa anak-anak lelaki itu hanya
melakukan apa yang akan dilakukan lelaki di dalam
kondisi seperti itu. Dengan hati berat, ia menyimpulkan
bahwa anak perempuannya harus dihukum karena telah
mencoreng nama baiknya. Abang Amal, takut akan
hukuman yang berat karena menggunakan obat-obatan,
tidak maju untuk membersihkan nama adiknya.
Para mutawa memberikan dukungan moral kepada
ayah Amal karena pendiriannya yang sangat kuat dan
menyiraminya dengan pujian karena keyakinan
agamanya.
Gadis itu akan mati hari ini. Dipenuhi oleh rasa duka
cita dan takut, aku hampir tidak mendengar keterangan
selanjutnya dari perawat Inggris itu. Aku merasa
kebahagiaanku menghilang ketika aku membayangkan
gadis yang tak berdosa itu, dan kegagalan usaha sang ibu
untuk menyelamatkannya dari kematian yang kejam.
Aku sendiri tak pernah menyaksikan hukum rajam.
Tapi Omar pernah menyaksikannya tiga kali dan dengan
gembira menggambarkan kepada kami nasib yang
menunggu para perempuan lemah yang tidak dengan
hati-hati menjaga kehormatan mereka yang sangat
berharga.
Ketika aku berumur dua belas tahun, seorang
perempuan dari salah satu desa kecil tak jauh dari Riyadh
198
dinyatakan bersalah karena berzina. Ia dihukum rajam
sampai mati. Omar dan para sopir tetangga kami
memutuskan untuk pergi dan menyaksikan pemandangan
itu.
Orang berkerumun sangat banyak di sana sejak
pagi-pagi sekali. Mereka gelisah dan menunggu melihat
seseorang yang begitu jahat. Omar mengatakan, saat
orang-orang yang berkerumun marah karena tak sabar di
bawah panas matahari, seorang perempuan muda berusia
sekitar dua puluh lima tahun ditarik dengan kasar keluar
dari mobil polisi. Ia mengatakan perempuan itu sangat
cantik, benar-benar jenis perempuan yang akan melawan
perintah Tuhan.
Tangan perempuan itu diikat. Kepalanya menunduk.
Dengan upacara resmi, seorang laki-laki membacakan
dengan keras kejahatan perempuan itu pada kerumunan.
Sehelai kain kotor digunakan untuk menyumbat mulutnya
dan sehelai kerudung hitam ditutupkan ke kepalanya. Ia
dipaksa berlutut. Seorang laki-laki yang sangat besar,
algojo, mencambuk perempuan itu di punggungnya
sebanyak lima puluh cambukan.
Sebuah mobil truk datang, dan kemudian
menuangkan sejumlah besar tumpukan batu. Laki-laki
yang telah selesai membacakan kejahatan yang dilakukan
perempuan itu menginformasikan pada kumpulan orangorang
tersebut bahwa eksekusi dimulai. Kata Omar,
orang-orang yang berkumpul di situ, yang sebagian besar
laki-laki, dengan ramai-ramai mengambil batu dan mulai
melemparkannya kepada perempuan itu. Orang yang
dianggap bersalah itu langsung merosot ke tanah dan
tubuhnya dilempari dari segala arah. Kata Omar, batubatu
itu terus menghantam tubuhnya seolah-olah tak
akan berakhir. Beberapa kali serangan batu itu berhenti
ketika seorang dokter memeriksa urat nadi perempuan
199
itu. Setelah hampir dua jam, dokter akhirnya
mengumumkan kematian perempuan itu dan pelemparan
batu pun dihentikan.
Perawat Inggris itu menyela lamunan sedihku ketika
ia kembali ke ruanganku dengan sangat marah. Polisi dan
para mutawa sudah membawa gadis itu untuk menjalani
hukumannya. Ia mengatakan bahwa jika aku berdiri di
jalan keluar kamarku, aku bisa melihat wajahnya, karena
gadis itu tidak memakai cadar. Aku mendengar keributan
hebat di jalan masuk. Dengan cepat, aku memasang
cadarku. Tanpa kusadari kakiku pun beranjak melangkah.
Pesakitan itu begitu rapuh dan kekanak-kanakan,
berjalan di tengah kawalan para penjaga yang
menggiringnya menemui ajal. Dagunya menempel di
dada, sehingga sangat sulit melihat ekspresi wajahnya.
Tapi aku melihat bahwa dia adalah seorang anak
yang cantik. Ia mengangkat wajahnya sekilas dengan
takut dan menatap pada lautan manusia yang
menontonnya dengan rasa ingin tahu yang sangat besar.
Aku melihat ketakutannya yang amat sangat. Tak ada
sanak keluarga yang mengantarnya ke pemakaman itu,
hanya orang asing yang menatapnya pergi menuju
perjalanan yang gelap.
Aku kembali ke ruanganku. Aku memeluk putraku
dengan lembut dan lega karena ia bukan dari jenis
kelamin yang lemah. Aku menatap wajahnya yang mungil
dengan takjub. Akankah ia juga menjunjung tinggi dan
memperkuat sistim yang begitu tidak adil bagi ibu dan
saudara perempuannya? Aku memikirkan kemungkinan
bahwa semua bayi perempuan seharusnya dibunuh saat
mereka lahir di negeriku. Mungkin sikap jahat laki-laki di
negeri kami akan melunak dengan ketidakhadiran kami,
para perempuan. Aku merasa ngeri, dan pertanyaan itu
muncul dalam pikiranku. Bagaimana seorang ibu bisa
200
melindungi putri-putri mereka dari hukum negeri ini?
Mata perawat Inggris itu basah oleh air mata. Ia
terisak dan bertanya kepadaku mengapa aku, seorang
Putri, tidak mencegah kegilaan itu. Aku mengatakan
kepadanya bahwa aku tidak bisa menolong orang yang
dihukum; perempuan tidak dibolehkan mengeluarkan
pendapat di negeriku, meskipun ia perempuan dari
keluarga kerajaan. Dengan sedih kukatakan kepada
perawat itu bahwa bukan hanya kematian seorang gadis
yang bisa ditetapkan, kehidupan mereka pun sulit, dan
kematian mereka tak akan tercatat. Dengan getir, aku
berpikir tentang orang yang sebenarnya bersalah namun
sekarang bebas berkeliaran, tanpa memikirkan atau peduli
kepada kematian tragis akibat perbuatan mereka.
Karim datang dengan wajah gembira. Ia telah mengatur
kepulangan kami ke istana seteliti rencana perang.
Pengawalan polisi memudahkan perjalanan kami melintasi
lalu lintas yang sibuk di kota Riyadh yang sedang
berkembang. Karim menyuruhku diam ketika aku
menceritakan kejadian di rumah sakit. Ia tidak memiliki
hasrat untuk mendengarkan kesedihan seperti itu selagi
putranya berada di pangkuannya, yang mulai menempuh
takdirnya sebagai pangeran di negeri yang tak akan
menyakitinya dan akan mengasuh orang seperti dia.
Perasaanku sangat menderita ketika kulihat suamiku
tidak begitu memperdulikan nasib gadis dari kalangan
rendah. Aku menarik nafas dan merasa kesepian serta
takut tentang apa yang aku dan putri-putriku nanti hadapi
di tahun-tahun yang akan datang.
201
16
Tahun 1975 berisi kenangan suka dan duka bagiku; di
tahun ini aku, keluargaku dan negaraku menghadapi
kebahagiaan yang amat sangat namun, juga kesedihan
yang mematahkan hati.
Dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya,
Abdullah anak yang kucintai merayakan ulang tahun
keduanya. Ada hiburan sebuah sirkus kecil dari Prancis
yang didatangkan dengan pesawat pribadi kami. Sirkus itu
tinggal selama seminggu di istana ayah Karim.
Sara dan Asad selamat dalam kencan mereka yang
sangat berani. Sekarang mereka telah menikah dan
sedang menunggu anak pertama. Asad, yang sangat
mengharapkan kelahiran anaknya, terbang ke Paris dan
membeli semua persediaan pakaian bayi yang ada di tiga
toko besar. Norah, ibu yang tak dipercayainya,
mengatakan pada orang yang mau mendengar bahwa
Asad telah kehilangan akalnya. Terbungkus dalam cinta
202
yang kuat, kakakku yang lama menderita akhirnya
bersinar oleh perasaan bahagia.
Faruq sedang belajar di Amerika Serikat dan sudah
tak lagi terlibat dengan urusan saudari-saudarinya. Ayah
menjadi takut ketika Faruq memberitahukan telah jatuh
cinta pada perempuan kelas pekerja Amerika. Tapi ayah
langsung lega setelah Faruq berubah dan segera
menyampaikan pada kami bahwa ia lebih suka memiliki
istri seorang Saudi. Kami kemudian tahu bahwa
perempuan Amerika itu menampar kepala Faruq ketika
keduanya sedang bertengkar, gara-gara Faruq menuntut
kepatuhan dari perempuan itu.
Kami para pasangan modern Saudi mengalami masa
pelonggaran kekangan terhadap perempuan setelah usaha
selama bertahun-tahun oleh Raja Faisal dan istrinya Iffat.
Seiring dengan majunya pendidikan, muncul kebulatan
tekad untuk melakukan perubahan di negara kami.
Beberapa perempuan tak lagi menutupi wajah mereka,
menyingkirkan cadar mereka dan dengan berani menatap
muka atau menundukkan pandangan para laki-laki
dewasa Muslim yang berani menentang mereka.
Mereka masih menutup rambut mereka dan
memakai abaya, namun keberanian beberapa orang ini
memberi harapan kepada kita semua. Kami keluarga
kerajaan tak akan pernah diizinkan mendapatkan
kebebasan seperti itu; kelas menengahlah yang
menunjukkan kekuatan mereka. Sekolah-sekolah untuk
perempuan sekarang sudah dibuka tanpa demonstrasi
masyarakat karena mengikuti celaan para mutawa. Kami
merasa pasti bahwa pendidikan perempuan akhirnya akan
membawa persamaan hak. Sayangnya, hukuman mati
bagi perempuan dari kalangan fundamentalis yang tak
berpendidikan masih terjadi. Satu langkah kecil lagi, ingat
kami satu sama lain.
203
Tiba-tiba, selama periode enam bulan, Karim dan
aku telah memiliki empat buah rumah baru. Istana baru
kami di Riyadh akhirnya selesai. Karim memutuskan
putranya lebih baik dibesarkan dengan menghirup udara
laut yang segar, sehingga kami membeli vila baru di tepi
laut di Jeddah. Ayahku memiliki apartemen bagus di
London hanya empat jalan jauhnya dari Pusat
Perbelanjaan Harrods, dan ia menawarkan properti itu
dengan harga murah kepada beberapa anak-anaknya
yang mungkin tertarik. Saudari-saudariku yang lain dan
suami-suami mereka telah memiliki apartemen di London,
dan Sara bersama Asad sedang dalam proses membeli
apartemen di Venice. Karim dan aku sangat ingin meraih
kesempatan memiliki rumah di kota yang penuh warna,
yang sangat disukai oleh orang Arab. Dan akhirnya,
sebagai hadiah ulang tahun perkawinan yang ketiga, dan
karena aku telah memberinya seorang putra laki-laki yang
sangat berharga, Karim membelikan aku sebuah vila indah
di Kairo.
Pada saat kelahiran Abdullah, seorang tukang emas
langganan keluarga diterbangkan ke Riyadh dari Paris
untuk membawa berlian, ruby dan zambrud pilihan yang
telah ia desain menjadi tujuh kalung khusus, beserta
giwang dan gelangnya. Tak perlu dikatakan, aku merasa
sangat dihargai karena melakukan apa yang ingin aku
lakukan.
Aku dan Karim menghabiskan sebanyak mungkin
waktu di Jeddah. Menyenangkan, Vila kami terletak di
tempat yang sering didambakan keluarga kerajaan.
Kami main triktrak sambil melihat putra kami, yang
diawasi para pelayan Filipina, berkecupak-kecupak di
dalam air biru hangat yang dipenuhi dengan ikan-ikan
eksotik. Meskipun perempuan diizinkan berenang, mereka
harus mengenakan abaya hingga mereka masuk ke air
204
setinggi leher. Baru setelah itu, mereka boleh melepaskan
abaya. Salah satu pelayan mengambil abaya yang
kuacungkan dengan tanganku, sehingga aku bisa
berenang dengan bebas, sejauh yang diizinkan bagi para
perempuan di Arab Saudi.
Saat itu akhir Maret, bulan yang tidak panas, sehingga
kami tidak lama-lama di air setelah tengah hari.
Aku menyuruh para pelayan mengangkat bayiku
yang sedang tertawa dan membilasnya di tempat
pancuran air hangat yang mudah dibawa-bawa. Kami
memandang bayi kami menendang-nendangkan kakinya
yang montok. Kami tersenyum lebar dan bangga; Karim
meremas tanganku dan menyatakan rasa bersalah dengan
kebahagiaan seperti ini. Kemudian aku menyalahkan dia
karena, demi mendapatkan kesenangan hidupnya sendiri,
para laki-laki telah memberi kesialan pada kami semua
perempuan Saudi.
Sebagian besar orang Arab percaya pada mata
jahat; kami tak pernah membicarakan keras-keras
kegembiraan hidup atau kecantikan anak-anak. Karena,
beberapa roh jahat mungkin akan mendengar dan
mencuri kesenangan kami itu atau menyebabkan duka
cita dengan mengambil orang yang kami cintai. Untuk
mencegah mata jahat ini, bayi-bayi dilindungi dengan
tasbih biru yang disematkan ke pakaian. Seberapa pun
maju pikiran kami, anak kami tidak akan terlepas dari
keyakinan ini.
Sesaat kemudian, kami terhenyak kaget ketika Asad
berlari ke arah kami dengan kata-kata 'Raja Faisal tewas!
Dibunuh oleh salah satu anggota keluarga!' Kami duduk
dan terbungkam diam ketika Asad menceritakan sedikit
detil peristiwa yang ia ketahui dari sepupu kerajaan.
Sebab kematian Raja Faisal adalah percekcokan
tentang pembukaan stasiun televisi yang terjadi sepuluh
205
tahun sebelumnya. Raja Faisal ingin sekali menjalankan
modernisasi bagi negeri kami yang terbelakang. Karim
menyatakan pernah mendengar Raja berkata: tak peduli
orang Saudi suka atau tidak, mengeluh atau berteriak, ia
akan terus menarik maju Arab Saudi menuju abad dua
puluh.
Persoalan yang ia hadapi berkaitan dengan
kelompok agama yang sangat ekstrim adalah kelanjutan
dari situasi menyakitkan yang juga dialami oleh penguasa
pertama dan ayah Faisal, Abdul Azis. Orang-orang
beragama yang fanatik ini dengan sangat marah
menentang pembukaan stasiun radio, dan Raja pertama
mengatasinya dengan memerintahkan Alquran dibaca dan
dipancarkan lewat siaran radio itu. Orang-orang beragama
fanatik itu tidak bisa menemukan sedikitpun kesalahan
dalam metode penyebaran kata-kata Allah yang sangat
cepat seperti itu. Bertahun-tahun kemudian, ketika Raja
Faisal bekerja keras menyediakan stasiun televisi bagi
masyarakat, ia, seperti ayahnya, menghadapi banyak
tantangan dari para ulama konservatif.
Tragisnya, anggota keluarga kerajaan ikut-ikutan
dalam protes-protes seperti itu. Pada bulan September
1965, ketika aku masih kecil, aku melihat salah satu
sepupuku tertembak dan terbunuh oleh polisi saat ia
memimpin sebuah demonstrasi menentang pembangunan
stasiun televisi beberapa mil di luar Riyadh. Pangeran
pembelot ini, yang bergandengan tangan dengan para
pengikutnya, menghancurkan stasiun. Kejadian ini
berakhir bentrok dengan polisi, dan ia terbunuh. Hampir
sepuluh tahun berlalu, namun kebencian terus
menggelumbung dalam hati saudara laki-laki pangeran
itu, sehingga ia sekarang membalas dendam dengan
menembak dan membunuh pamannya, Raja Faisal.
Karim dan Asad terbang ke Riyadh, sementara Aku
206
dan Sara bersama-sama dengan saudara sepupu kerajaan
yang lain, berkumpul di istana. Kami semua saling
melepaskan kesedihan. Sangat sedikit para sepupuku
perempuan yang tak mencintai Raja Faisal, karena ia
adalah satu-satunya orang yang berbuat untuk perubahan
dan kebebasan. Dalam usaha memberdayakan
perempuan, beliau memiliki wibawa baik di kalangan
agamawan maupun di dalam keluarga kerajaan. Belenggu
perempuan ia rasakan seolah-olah sebagai belenggu yang
melilit dirinya. Beliau memohon kepada ayah kami untuk
mendukungnya dalam usaha perubahan sosial ini. Pada
suatu waktu aku sendiri mendengar beliau mengatakan
bahwa meskipun terdapat peran yang berbeda antara lakilaki
dan perempuan, sebagaimana diajarkan oleh Allah,
satu jenis kelamin tidak boleh mengusai jenis kelamin
lainnya. Dengan suara yang tenang, beliau nyatakan
bahwa dirinya tak akan bahagia hingga setiap warga
negara, laki-laki dan perempuan, menjadi penentu bagi
nasib mereka sendiri. Beliau percaya bahwa hanya melalui
pendidikan, perempuan dapat diberdayakan, karena
kebodohanlah yang membuat kita berada dalam
kegelapan. Memang, tak ada penguasa sebelum Raja
Faisal yang memperjuangkan keadaan menyedihkan dari
perempuan. Jika direnungkan, perjuangan singkat
mencapai kebebasan mulai tergelincir mundur ketika
hidup Raja Faisal direnggut oleh peluru dari keluarganya
sendiri. Amat sayang, kami para perempuan tahu bahwa
satu satunya kesempatan kami untuk bebas terkubur
bersama Raja Faisal.
Kami marah dan benci kepada orang yang
menembak Raja, yang juga merupakan salah seorang
sepupu kami, Faisal ibnu Musaid, pembunuh harapan dan
mimpi. Salah satu sepupuku berteriak bahwa orang yang
membunuh ayah mereka sendiri adalah orang gila.
207
Lahir dalam lingkungan terkemuka kerajaan Saudi,
saudara tiri Raja Faisal, orang itu telah membuat kacau
semua yang berkaitan dengan keluarga dan tanggung
jawab singgasana. Seorang putra kerajaan yang fanatik,
mau mati demi mencegah pembangunan stasiun televisi,
dan seorang putra lagi membunuh Raja Faisal yang kami
hormati dan cintai.
Tak ada sakit yang lebih pedih daripada memikirkan
Arab Saudi tanpa bimbingan Raja yang bijaksana seperti
Raja Faisal. Tak pernah sebelumnya aku menyaksikan
duka cita nasional seperti itu. Seolah-olah seluruh negeri
dan semua penduduknya diliputi penderitaan yang
mendalam. Pemimpin keluarga kami yang terbaik harus
menerima hantaman dari salah satu anggotanya sendiri.
Tiga hari kemudian, anak perempuan Sara
mengejutkan ibunya dengan lahir begitu cepat dan
mudah. Fadila yang mungil, demikian bayi itu diberi nama,
mengikuti nama ibu kami. Ia bergabung dengan bangsa
ini dalam suasana murung. Kesedihan kami masih dalam
dan sulit pulih, namun Fadila kecil menghidupkan kembali
pikiran dan kegembiraan kami melalui kehidupan barunya.
Sara, takut akan masa depan anak perempuannya,
meyakinkan Asad untuk menandatangani dokumen yang
mengatakan bahwa anak perempuan mereka akan bebas
memilih suaminya tanpa campur tangan keluarga. Sara
mendapat mimpi buruk bahwa Ia dan Asad terbunuh
dalam kecelakaan pesawat dan anak perempuan mereka
dibesarkan oleh keluarga kami menurut adat yang kaku.
Sambil menatap tajam Asad, Sara mengatakan lebih
baik jadi pembunuh daripada melihat anak perempuannya
menikah dengan laki-laki jahat. Asad, yang masih mabuk
cinta pada istrinya, menenangkan dengan
menandatangani kertas kontrak dan membuatkan
rekening di Bank Swiss atas nama bayi mereka sebanyak
208
satu juta dolar. Anak perempuan Sara akan memiliki
dukungan finansial dan legal untuk mengenyahkan mimpi
buruk.
Faruq kembali dari liburan musim panas di Amerika
Serikat. Seingatku, kali ini ia lebih menjijikkan. Dengan
bangga ia mengatakan pada kami petualangannya dengan
para perempuan Amerika. Ia memaklumkan bahwa, benar
seperti yang pernah dikatakannya, mereka semua adalah
pelacur!
Ketika Karim menyela dengan menyatakan bahwa ia
telah bertemu dengan banyak perempuan Amerika yang
bermoral tinggi jika lagi berada di Washington, Faruq
tertawa dan mengatakan bahwa itu semua telah banyak
berubah. Ia menyatakan bahwa ia bertemu dengan para
perempuan di bar yang melakukan inisiatif menggodanya
untuk bercinta bahkan sebelum ia sempat memintanya.
Karim merespon, itulah masalahnya; jika perempuan
sendiri yang pergi ke bar, ia kemungkinan besar sedang
mencari laki-laki untuk seks semalam atau hanya
bersenang-senang. Bagaimanapun, lanjut Karim,
perempuan di Amerika sama bebasnya seperti laki-laki.
Karim menyarankan Faruq untuk datang ke gereja
atau acara kebudayaan, di sana ia akan terkejut pada
tingkah laku perempuan. Faruq tetap tak berubah. Ia
mengatakan bahwa ia telah menguji moral perempuan
dari semua kalangan Amerika; mereka semua pasti
pelacur, tentu saja menurut pengalaman Faruq.
Seperti sebagian besar Muslim, Faruq tak pernah
mau melihat atau memahami adat dan tradisi dari agama
atau negeri lain. Satu-satunya pengetahuan yang dimiliki
sebagian besar orang Arab tentang masyarakat Amerika
berasal dari film-film dan acara televisi Amerika yang
bermutu rendah. Yang lebih penting lagi, laki-laki Saudi
melakukan perjalanan sendiri. Karena mereka dijauhkan
209
secara paksa dari persahabatan dengan kaum perempuan,
mereka hanya tertarik pada perempuan asing. Buruknya
lagi, mereka hanya mencari perempuan yang bekerja di
bar-bar sebagai penari telanjang atau di tempat
pelacuran. Pandangan yang miring seperti ini mendistorsi
opini orang Saudi tentang moralitas Barat. Karena
sebagian besar perempuan Saudi tidak melakukan
perjalanan, mereka percaya cerita yang dikatakan oleh
suami dan saudara laki-laki mereka. Hasilnya, mayoritas
orang Arab benar-banar percaya bahwa sebagian besar
perempuan Barat bersetubuh dengan siapa saja.
Kuakui, kakakku tampan dan eksotik, sehingga akan
menarik banyak lawan jenisnya. Tapi aku tahu dengan
pasti bahwa tidak setiap perempuan Amerika pelacur!
Kukatakan pada Karim, aku ingin sekali memiliki
kesempatan bepergian dengan Faruq. Betapa
menyenangkan jika berdiri di belakang Faruq dan
mengangkat tulisan yang berisi: LAKI-LAKI INI DIAM
DIAM MENGHINAMU DAN MENGANGGAPMU JIJIK! JIKA
KAMU KATAKAN YA PADA LAKI-LAKI INI, IA AKAN
MEWARTAKANMU SEBAGAI PELACUR KE SELURUH DUNIA!
Sebelum kembali ke Amerika, Faruq mengatakan
kepada ayah tentang kesiapannya untuk memperoleh istri
pertama. Hidup tanpa seks itu menderita, katanya, dan ia
ingin ada perempuan baginya setiap kali ia kembali ke
Riyadh untuk berlibur. Dan yang paling penting, inilah
saat baginya untuk memiliki putra. Karena tanpa anak
laki-laki, seorang pria tak ada harganya di Arab Saudi,
dan akan dianggap rendah oleh semua orang yang ia
kenal.
Tentu saja istrinya itu tak akan hidup bersama
dengannya di Amerika Serikat; melainkan tinggal di istana
ayah, yang akan dijaga dengan hati-hati oleh Omar dan
pelayan-pelayan lain. Faruq mengatakan, ia mesti bebas
210
menikmati aturan moral yang longgar di Amerika.
Ia mensyaratkan istrinya harus selain perawan,
tentu saja muda, tak lebih dari tujuh belas tahun, sangat
cantik, dan patuh. Dalam dua minggu, Faruq bertunangan
dengan sepupu kerajaan, tanggal perkawinan ditentukan
pada bulan Desember, saat dia memiliki waktu lebih dari
sebulan di antara masa sekolah.
Melihat kakakku itu, aku mengakui beruntung
menikah dengan laki-laki seperti Karim. Pasti, suamiku
jauh dari sempurna. Tetapi Faruq adalah tipe khas lakilaki
Saudi; memiliki orang seperti itu sebagai tuan, akan
membuat hidup terasa berat dan membosankan.
Sebelum Faruq kembali ke Amerika, seluruh
keluarga berkumpul di vila kami di Jeddah. Pada suatu
malam, para pria banyak minum dan karenanya suka
berdebat. Setelah makan malam, persoalan apakah
perempuan boleh mengendarai mobil muncul sebagai
bahan pembicaraan. Aku, Karim, Asad dan Sara setuju
untuk mendorong perubahan atas budaya bodoh yang tak
ada dasarnya sama sekali dalam Islam. Kami memberikan
contoh tentang perempuan yang menjadi pilot pesawat
terbang di negara-negara industri sementara kami tidak
diizinkan untuk mengendarai mobil! Banyak keluarga
Saudi yang tidak mampu memiliki lebih dari satu sopir,
dan apa yang dilakukan jika keluarga harus berangkat
ketika si sopir sedang tidak ada? Apa yang akan terjadi
jika muncul keadaan darurat medis sementara sopir tidak
ada? Tidakkah laki-laki Saudi berfikir begitu picik akan
kemampuan perempuan dengan memilih anak laki-laki
berumur dua belas atau tiga belas tahun (yang umum
terjadi di Arab Saudi) untuk mengemudi dibandingkan
perempuan dewasa?
Faruq, ayah dan Ahmed merasa topik pembicaraan
ini menjengkelkan. Faruq menyatakan bahwa perempuan
211
dan laki-laki akan bertemu di padang pasir untuk
melakukan hubungan seksual! Ahmed mencemaskan
tentang cadar yang menghalangi penglihatan. Ayah
mengemukakan kemungkinan kecelakaan mobil, dan
mudahnya perempuan diserang atau terluka di jalan selagi
menunggu polisi lalu lintas. Ayah melihat ke sekeliling
ruangan untuk mendapatkan dukungan dari menantunya
yang lain bahwa perempuan yang berada di belakang setir
mobil akan membahayakan diri mereka sendiri dan orang
lain. Suami saudari-saudariku yang lain menyibukkan diri
dengan mengisi gelas mereka atau pergi ke kamar mandi.
Akhirnya, dengan kepercayaan diri yang keterlaluan,
seolah-olah memiliki ide brilian yang akan memenangkan
perdebatan, Faruq mengatakan; karena perempuan lebih
mudah dipengaruhi ketimbang laki-laki, perempuan akan
meniru anak muda di negeri ini, yang melakukan balap
mobil di sepanjang jalan. Biasanya, perempuan tidak akan
berfikir panjang kecuali berusaha menyamai anak muda
tersebut, dan akibatnya, tingkat kecelakaan yang sudah
tinggi akan semakin tinggi.
Kakakku itu masih membuatku marah! Faruq keliru
kalau percaya bahwa aku telah kehilangan semangat
masa muda. Aku jadi naik pitam melihat tampang puas
dirinya. Mengejutkan semua orang, aku melompat ke arah
Faruq, menjambak rambutnya dan menariknya sekuat
tenaga. Ayah dan Karim segera memaksaku melepaskan
jambakan. Tawa kakak-kakak perempuanku yang
terbahak memenuhi ruangan sementara suami-suami
mereka menatapku dengan pandangan bercampur antara
takut dan kagum.
Faruq mencoba berdamai denganku sehari sebelum
ia berangkat ke Amerika. Kebencianku begitu tinggi
sehingga aku dengan sengaja mengarahkannya ke
percakapan tentang pernikahan dan desakan laki-laki di
212
negeri kami bahwa seorang istri harus perawan sementara
para suami telah mencoba mencicipi sebanyak mungkin
perempuan. Faruq menganggap pembicaraan itu serius
dan mulai mengutip Alquran dan memberitahuku tentang
pentingnya kesucian bagi perempuan.
Trik-trik lama yang biasa kulakukan di masa dahulu,
muncul lagi pada diriku. Aku menggelengkan kepalaku
dengan sedih dan menarik nafas dalam-dalam. Faruq
bertanya apa yang ada dalam hatiku. Aku mengatakan
padanya bahwa kali ini ia harus percaya padaku. Aku
setuju dengannya bahwa semua perempuan harus
perawan ketika mereka menikah. Aku menambahkan,
dengan kebencian tersembunyi yang tak dapat ia lihat,
bahwa watak para gadis muda kita sudah begitu berubah
dan jarang yang benar-benar perawan di antara mereka.
Pada Faruq yang penuh tanda tanya di wajahnya,
aku katakan dengan meyakinkan, bahwa perilaku
perempuan Saudi sedikit berubah ketika berada di Arab,
untuk apa perempuan mau kehilangan jiwa mereka? Dan
ketika para perempuan di negeri kita bepergian,
kutegaskan, mereka mencari pasangan seks dan
memberikan hadiah keperawanan yang sangat berharga
pada orang asing.
Faruq menjadi marah sekali memikirkan lelaki selain
dirinya, seorang Saudi, merusak keperawanan perempuan
Saudi! Ia menanyakan, dengan nada sangat marah, dari
mana aku tahu informasi itu. Dengan wajah memelas, aku
meminta dengan sangat pada saudaraku itu untuk tidak
membocorkan pembicaraan ini, karena ayah dan Karim
akan malu. Kukatakan padanya bahwa kami para
perempuan sering mendiskusikan persoalan itu dan topik
yang sekarang terkenal adalah: keperawanan sudah tidak
ada lagi di negeri ini!
Faruq mengerutkan bibirnya dan tenggelam dalam
213
pikirannya. Ia bertanya padaku apakah yang dilakukan
gadis muda di malam pertamanya, karena jika tak ada
darah keperawanan, gadis itu akan mendapatkan malu
dan dipulangkan ke ayahnya. Di Arab, seprai yang
berdarah dengan bangga diperlihatkan pada ibu mertua.
Dengan begitu, ia bisa menunjukkan pada teman
dan kerabatnya bahwa ibu mertua telah menerima
seorang menantu perempuan yang terhormat dan suci.
Aku mencondongkan diri lebih dekat dan
mengatakan pada Faruq bahwa sebagian besar
perempuan muda melakukan operasi untuk memperbaiki
selaput dara mereka. Aku tambahkan bahwa sebagian
besar perempuan muda berkali-kali memberikan
keperawanan mereka pada para lelaki yang tak menaruh
curiga. Sangat mudah membodohi laki-laki. Di Eropa, ada
banyak dokter yang memiliki keahlian untuk melakukan
operasi keperawanan, dan hanya sedikit yang diketahui
buka praktik di Arab Saudi.
Untuk semakin membuat takut Faruq, aku berbisik
bahwa jika kebetulan seorang gadis tidak bisa melakukan
operasi selaput dara sebelum perkawinannya, maka
mudah saja baginya untuk meletakkan beberapa helai hati
domba di dalam vaginanya sebelum melakukan hubungan
seks. Seorang suami tak akan tahu perbedaannya, bahwa
hati kambinglah yang telah ia perawani dan bukan
istrinya!
Ketakutan baru mencengkram abangku yang egois.
Ia segera menelepon temannya, seorang dokter.
Sambil memegang telepon, wajahnya menjadi pucat saat
teman itu menyatakan bahwa operasi keperawanan
memang mungkin dilakukan. Kalau tentang hati kambing,
dokter itu belum pernah mendengarnya, namun itu
terdengar seperti sebuah rencana kotor yang dapat
dilakukan seorang perempuan tidak bermoral cepat atau
214
lambat.
Karena merasa benar-benar terganggu, Faruq dua
kali kembali ke rumah pada hari itu, meminta nasehatku
bagaimana caranya ia bisa terhindar dari tipu daya seperti
itu. Aku mengatakan padanya, tak cara yang bisa
dilakukan, kecuali ia terus menjaga pengantin barunya
siang dan malam semenjak ia lahir. Ia hanya sekadar bisa
menerima kenyataan bahwa orang yang dinikahinya
adalah manusia juga, yang mungkin pernah melakukan
kesalahan di masa mudanya.
Faruq yang gelisah dan patah hati kembali ke Amerika
Serikat.
Ketika aku ceritakan pada Karim, Sara dan Asad
tentang gurauanku, Sara tidak bisa mengendalikan
kegembiraannya. Karim dan Asad bertukar pandang
dengan gelisah dan menatap pada istri-istri mereka
dengan pikiran baru.
Pernikahan Faruq tinggal menunggu waktu.
Pengantinnya sangat cantik. Betapa kasihan aku
padanya. Tapi aku dan Sara tertawa keras ketika kami
melihat Faruq kalut karena cemas. Kemudian suamiku
mengomeliku atas kenakalan yang kubuat. Faruq
mengakui padanya bahwa ia sekarang takut melakukan
hubungan seks. Bagaimana kalau dirinya ditipu? Ia tak
akan pernah tahu dan terpaksa hidup dalam keraguan
dengan istrinya dan semua istrinya yang akan datang.
Mimpi buruk paling ngeri bagi laki-laki Saudi adalah
kebersamaan dalam berhubungan seks dengan
perempuan yang dinikahinya. Jika perempuan itu pelacur,
itu takkan mambuat malu, tapi istrinya merepresentasikan
nama keluarga dan akan melahirkan anak-anaknya.
Pikiran bahwa seorang suami telah ditipu, lebih berat
ketimbang yang bisa dipikul oleh abangku.
215
Aku telah mengaku pada suamiku bahwa terkadang
aku berbuat jahat dan menyatakan tanpa ragu-ragu
bahwa di hari pembalasan nanti aku siap bertanggung
jawab atas banyak dosa yang telah kulakukan. Sekalipun
begitu, pada malam perkawinan Faruq, aku tersenyum
puas. Aku menemukan dan memanfaatkan ketakutan
terbesar Faruq.
216
17
Tangan Nura gemetar ketika ia membaca Alquran, kitab
suci kami. Ia menunjukkan sebuah ayat padaku.
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di
antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila
mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah
mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka
menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang
lain kepadanya. (QS. 4:15)
Aku memandang Nura, dan kemudian satu per satu,
pada kakak-kakakku yang lain. Tatapanku berhenti pada
wajah Tahani yang terpukul. Semua harapan untuk
temannya yang bernama Samira sudah hilang.
Sara, yang biasanya tenang dan bisa mengendalikan
diri, sekarang berbicara. 'Tak seorang pun bisa
menolongnya. Nabi sendiri yang memerintahkan metode
hukuman seperti ini.'
Dengan geram, aku jawab: 'Samira tidak bersalah
karena perbuatan cabul. Ia hanya jatuh cinta dengan
217
orang Barat! Para ulama telah memutuskan bahwa lakilaki
diizinkan kawin dengan perempuan asing, perempuan
dari agama lain, tapi kita perempuan dilarang! Ini gila!
Hukum ini dan penafsirannya dibuat oleh laki-laki, untuk
laki-laki!'
Nura mencoba menenangkanku, tapi aku sudah siap
melawan setiap inci tirani yang tak wajar ini, yang
sekarang menimpa salah satu anggota keluarga kami
yang tercinta: Samira
Sehari sebelumnya, laki-laki di keluarganya dan para
ulama telah menjatuhi Samira hukuman kurungan di
ruangan yang gelap sampai ia dinyatakan mati. Samira
berumur dua puluh dua tahun. Kematian akan datang
perlahan pada orang yang begitu muda dan kuat.
Kejahatannya apa? Ketika sedang bersekolah di
London, ia bertemu dan jatuh cinta dengan orang yang
beragama lain. Sejak kami mulai dapat mengerti, kami
perempuan Saudi diajarkan bahwa perempuan Muslim
yang memiliki ikatan dengan seorang lelaki non-Muslim
berarti berbuat dosa: jika suaminya beragama Kristen
atau Yahudi, agama anak mereka tidak bisa dijamin.
Karena di dalam keluarga di Timur Tengah
keputusan terakhir berada di tangan suami, anak-anak
mungkin akan dibesarkan sebagai orang Kristen atau
orang Yahudi. Seorang istri atau seorang ibu tak dapat
berkata apa pun.
Setiap Muslim diajarkan bahwa Islam adalah agama
terakhir dari Allah untuk umat manusia. Oleh karena itu,
Islam adalah agama yang lebih tinggi dari agama lainnya.
Kaum Muslim tidak diizinkan, secara sadar, hidup di
bawah kepemimpinan non Muslim. Karena itu pula,
mereka tidak diizinkan memiliki sebuah hubungan yang
mengarah ke keadaan seperti itu. Sekalipun begitu,
218
banyak laki-laki Saudi kawin dengan perempuan
beragama lain tanpa sanksi apa pun. Hanya saja,
perempuan Saudi akan membayar harga tertinggi bila
mereka berhubungan dengan non-Muslim. Para ulama
mengatakan bahwa perkawinan laki-laki Muslim dengan
perempuan dari agama lain dapat diizinkan, karena anakanak
mereka akan dibesarkan menurut Islam, agama
ayah.
Memikirkan ketidakadilan semacam itu, membuatku
berteriak marah. Aku dan saudariku mengerti bahwa
pengenaan hukum rajam atas hidup Samira akan
menimbulkan tragedi besar saat itu. Dan kami, teman
masa kecilnya, tak berdaya untuk menyelamatkannya.
Samira adalah sahabat tersayang Tahani sejak mereka
berusia delapan tahun. Ia anak tunggal. Ibunya
menderita kanker indung telur, dan meskipun sudah
diobati, ia tidak bisa lagi memiliki anak. Yang
mengejutkan, ayah Samira tidak menceraikan istrinya
yang menjadi mandul itu, yang biasanya dilakukan oleh
mayoritas laki-laki Saudi.
Aku dan saudari-saudariku tahu bahwa jika
perempuan terkena penyakit serius, mereka akan
dikesampingkan oleh suami mereka. Stigma sosial atas
perceraian sangat menyakitkan, dan trauma finansial dan
emosional akan menghinggapi perempuan. Jika anak-anak
dari perempuan yang bercerai tidak lagi menyusu, anakanak
itu juga akan diambil dari mereka. Masih beruntung
jika perempuan yang bercerai memiliki orangtua yang
sangat mencintai mereka dan menerima mereka kembali
di rumah, atau ada anak laki-laki tertua yang memberi
mereka tempat berlindung. Tanpa dukungan keluarga,
mereka akan hancur, karena tak ada janda atau
perempuan lajang yang bisa hidup sendiri di negeriku.
Memang ada panti-panti milik negara yang dibangun
219
khusus untuk menampung perempuan seperti ini, namun
hidup jadi suram dan setiap waktu terasa kejam. Masih
cukup beruntung jika ada janda yang memiliki
kesempatan untuk menikah lagi dan biasanya itu terjadi
pada perempuan yang sangat cantik atau bernasib balk.
Sebagaimana hal lain di masyarakat Saudi, kegagalan
perkawinan dan kesalahan perceraian ditimpakan pada
perempuan.
Ibu Samira adalah salah satu perempuan yang
beruntung, suaminya benar-benar mencintainya dan tidak
berfikir untuk menyingkirkannya pada saat yang sangat
dibutuhkan. Ia bahkan tak menikah lagi untuk
mendapatkan anak laki-laki. Ayah Samira adalah laki-laki
yang dianggap aneh dalam masyarakat kami.
Samira dan Tahani adalah sahabat karib. Dan karena
Sara dan aku tidak terlalu jauh jarak umurnya dengan
Tahani dan Samira, kami juga jadi kawan sepermainan.
Kami bertiga cemburu pada Samira dalam banyak
hal, karena ayahnya melimpahkan semua kasih sayang
pada anak satu-satunya. Tidak seperti sebagian besar
laki-laki Saudi generasinya, ia adalah laki-laki dengan
pikiran modern dan berjanji pada putrinya bahwa ia telah
bebas dari adat kuno yang dipaksakan pada perempuan di
negeri kami.
Samira iba merasakan kepedihan atas buruknya
perlakuan ayah kami. Dalam setiap krisis ia menunjukkan
empati yang kuat pada kami. Mataku perih saat ingat air
mata Samira bercucuran menyaksikan perkawinan
pertama Sara. Ia memeluk leherku, merintih bahwa Sara
akan mati dalam kekuasaan suaminya! Dan sekarang dia,
Samira, terkunci dalam penjara tergelap, bahkan pelayan
pun dilarang berbicara saat mereka mendorongkan
makanan melalui lubang khusus di bawah satu-satunya
pintu. Ia tak akan pernah mendengar suara manusia lain.
220
Dunianya benar-benar hanya suara nafasnya sendiri.
Tak tahan aku memikirkannya. Aku pergi menemui
Sara dan mengusulkan bagaimana kalau Karim dan Asad
memberi bantuan. Tahani mengangkat kepalanya dengan
penuh harap. Sara menggelengkan kepalanya pelan. Asad
telah melakukan penyelidikan. Baik paman atau bekas
suami tidak mau mencabut hukuman keras itu sampai
Samira meninggal. Ini adalah persoalan antara keluarga
dan Tuhan.
Di tahun pernikahanku, Samira telah merencanakan
masa depannya dengan cermat. Sejak masih sangat muda
ia telah memiliki cita-cita untuk menjadi insinyur. Tak ada
perempuan di Arab Saudi mencapai gelar itu, karena
pekerjaan yang dianggap pantas untuk kami perempuan
adalah bidan, guru, atau pekerja sosial untuk anak-anak
dan perempuan.
Tambah lagi, pelajar perempuan Saudi dilarang
berhubungan dengan guru laki-laki, sehingga ayah Samira
menggaji guru pribadi dari London untuk putrinya. Setelah
bertahun-tahun konsentrasi dan belajar di rumah, Samira
diterima oleh sekolah teknik di London.
Ayahnya, yang bangga dengan putrinya yang cantik
dan pintar, menemani istri dan putrinya pergi ke London.
Ayah dan ibu Samira memberi Samira tempat
tinggal pribadi. Dua pelayan perempuan dan sekretaris
berkebangsaan Mesir dipekerjakan untuk tinggal bersama
putri mereka. Mereka mengucapkan selamat tinggal dan
kembali ke Riyadh. Tentu saja, tak seorang pun yang
mengira mereka tak akan pernah saling bertemu lagi.
Bulan-bulan berlalu, seperti kita duga, Samira
sangat pintar di sekolahnya.
Setelah empat bulan di London, Samira bertemu
Larry, seorang mahasiswa pertukaran pelajar dari
221
California.
Keduanya Saling tertarik, seperti kata mereka,
karena Larry tinggi, maskulin dan pirang, dengan
semangat Californianya, sementara Samira eksotik,
ramping, dan terpuruk dalam kebingungan yang tercipta
karena tekanan laki-laki di negeri kami.
Samira menulis surat ke Tahani, bahwa ia telah
jatuh cinta. Ia tahu seorang Muslimah dilarang menikah
dengan seorang Kristen. Larry beragama Katolik, dan tak
mau pindah agama menjadi Muslim, sebuah prosedur
yang akan membantu keadaan mereka.
Dalam sebulan, Tahani menerima surat kedua, surat
yang nekat; Samira dan Larry tidak bisa lagi terpisahkan.
Keduanya telah hidup bersama di London, dan mereka
akan lari ke Amerika untuk menikah. Kemudian,
Samira mengatakan, orang tuanya dapat membeli rumah
dekat putri mereka di Amerika Serikat. Ia sangat yakin
hubungan keluarga mereka yang sangat dekat tidak akan
rusak. Tapi ia terpaksa kehilangan kewarganegaraan
Saudinya. Kami tak akan pernah bertemu ia lagi di negara
kami, karena ia mengerti bahwa ia tak dapat kembali ke
negeri kami setelah skandal pernikahannya dengan orang
yang berbeda keyakinan.
Tragisnya, orangtua Samira tidak pernah tahu
dilema anaknya, karena mereka berdua dan seorang
sopirnya tewas seketika saat sebuah truk tangki minyak
menabrak sisi mobil mereka yang sedang melintasi
jalanan sibuk di Riyadh.
Di dunia Arab, ketika kepala keluarga (selalu lakilak)
i meninggal, kakak laki-laki tertua mengambil alih
kekuasaan atas urusan anggota keluarga yang masih
hidup. Setelah kematian ayah Samira, kakak ayahnya
yang tertua yang sekarang jadi penjaga.
222
Dalam sebuah keluarga, jarang ada dua orang lakilaki
memiliki karakter yang serupa. Bila ayah Samira
penuh kasih sayang dan kelonggaran, pamannya adalah
lelaki yang keras dan kaku. Sebagai orang yang sangat
taat beragama, ia kerap mengungkapkan
ketidaksukaannya pada kemandirian anak perempuan dari
adiknya. Karena merasa malu, ia tidak mau bicara pada
ayah Samira sejak Samira mendaftar di sebuah sekolah di
London.
Karena tidak suka pendidikan untuk anak
perempuan, menurutnya lebih baik anak perempuan yang
masih muda dinikahkan pada laki-laki yang
berpengalaman dan bijak. Ia baru saja menikahi anak
berusia tiga belas tahun, yang baru saja mendapat
menstruasi pertamanya beberapa bulan belakangan dan
merupakan anak perempuan dari laki-laki yang usianya
sepadan dengan dirinya.
Paman Samira adalah ayah dari empat orang putri
dan tiga putra; putri-putrinya sudah menikah pada saat
tanda puber pertama muncul. Mereka mendapat lebih
sedikit pendidikan dan itupun hanya pelajaran memasak
dan menjahit. Mereka hanya mendapatkan pelajaran yang
mencukupi dalam membaca Alquran.
Setelah orang tuanya meninggal, Samira
mendapatkan goncangan kedua. Ada perintah dari
pamannya, yang sekarang menjadi kepala keluarganya:
'Kembali ke Riyadh dengan pernerbangan paling
awal. Bawa semua barang milikmu.'
Ketakutan akan mendapatkan hidup yang kejam di
bawah asuhan pamannya menyebabkan Samira
mengumpulkan keteguhan hatinya dan tanpa pikir
panjang masuk ke jalan yang tak dikenalnya. Dalam apa
yang kemudian menjadi kesalahan fatalnya, Samira dan
Larry melarikan diri bersama-sama ke California.
223
Ketidakpatuhan yang menyolok dari seorang anak
perempuan membuat penjaga Samira yang baru terbakar
emosi. Pada saat itu, ia tidak mengetahui kekasih asing
Samira. Ia tidak mengerti dengan ketidakpatuhan
gadisnya, karena ia tidak memiliki pengalaman dengan
perempuan yang keras kepala.
Di akhir bulan itu, dengan tidak mengetahui di mana
Samira berada, ia membayangkan keponakannya sudah
meninggal, tubuhnya membusuk di negeri orang kafir.
Perburuannya tanpa hasil, sampai akhirnya, atas
desakan putra tertuanya, ia mengalah dan memakai jasa
agen detektif untuk mencari jejak anak tunggal adiknya.
Di suatu pagi, paman Samira yang kejam, marah
marah datang ke rumah Tahani, setelah mendapat
petunjuk dari seorang agen. Ia meminta kakakku, sebagai
teman terpercaya Samira, menunjukkan tempat tinggal
'keponakannya yang tidak beriman dan kekasih kafirnya'.
Ia menggambarkan situasi itu dengan mata terbuka
lebar. Tahani heran dengan kemarahan sang paman, yang
membentur-benturkan kepalanya ke dinding rumah
Tahani; berseru pada Allah agar membantunya
membunuh keponakannya. Dengan pengaduan sengit, ia
berjanji akan membalas dendam pada kekasih kafir
Samira. Ia mengutuk saat kelahiran anak saudaranya itu.
Ia berdoa pada Tuhan untuk mendatangkan bencana
pada keponakannya yang durhaka. Ia menyatakan bahwa
Samira akan menghancurkan kehormatan keluarga
beberapa generasi mendatang.
Karena takut dengan teriakan dan kekerasan, Tahani
melarikan diri dari rumah dan pergi ke kantor suaminya,
Habbib. Ketika keduanya pulang ke istana, paman Samira
baru saja pergi, namun bukan tanpa meninggalkan
peringatan pada para pelayan bahwa siapa pun yang
224
memberikan perlindungan pada keponakannya akan
merasakan kemurkaannya. Untuk menghilangkan
ketakutan Tahani, Habib mencari paman itu dan
menenangkan kemarahannya. Ia meyakinkan pria itu
bahwa keponakannya tidak pernah berhubungan lagi
dengan Tahani.
Terisolasi di negara lain, Samira tidak menyadari
bahwa pamannya, yang tidak pernah berhenti mencari
keponakannya, sekarang menyita semua surat keluarga.
Agar bisa memantau semua hubungan yang
dilakukan keponakannya, ia mengancam seluruh keluarga.
Suatu saat Samira pasti rindu untuk berhubungan dengan
keluarganya; ketika Samira si 'orang yang berdosa besar',
begitu julukan yang diberikan pamannya, telah lemah, ia
tak akan lolos dari mata waspada sang paman. Sang
paman hanya perlu menunggu.
Sementara itu, di California, Larry mulai tak yakin
akan cintanya, dan Samira bingung seperti orang hilang.
Ketakacuhan kekasihnya sangat menusuk hatinya;
ia menelfon Tahani dengan sangat ketakutan dan tak tahu
akan masa depannya. Apa yang harus dilakukannya? Ia
hanya memiliki sedikit uang dan tak punya banyak teman
di negara baru ini. Tanpa menikah dengan Larry, ia tak
akan diizinkan tinggal di Amerika. Habib, walaupun
membebaskan Tahani bersahabat dengan Samira,
menolak permintaan istrinya itu untuk mengirimi Samira
uang.
Hanya dengan beberapa ribu dollar yang tersisa di
rekening banknya, Samira, dalam keadaan putus asa,
menelpon bibi tersayangnya, adik bungsu ayahnya. Sang
bibi, karena takut dengan kekuasaan kakaknya, dengan
patuh melaporkan telfon keponakannya. Diberitahu
tentang kesulitan keponakannya, sang paman dengan
hati-hati merencanakan penangkapannya agar Samira
225
bisa kembali di bawah kekuasaannya.
Samira dibujuk ke Kairo dengan janji akan diterima
kembali dengan damai di keluarga yang telah
ditinggalkannya. Uang dikirim untuk biaya perjalanan
pulangnya. Samira menelpon Tahani dan dengan berurai
air mata menceritakan bahwa ia tak punya pilihan. Cinta
Larry sudah pupus, dan ia tak sudi membantunya secara
finansial. Ia belum menyelesaikan sekolahnya sehingga ia
tak bisa mencari penghasilan. Ia tak memiliki uang. Ia
menelpon ke kedutaan Saudi di Washington dan London.
Staf kedutaan tidak ramah. Setelah ia menjelaskan
situasinya, ia dengan kasar disuruh kembali ke
keluarganya. Lari dari kenyataan itu tidak mungkin; ia
harus kembali ke Arab Saudi.
Samira berkata pada Tahani, ia harap-harap cemas
kalau bibinya mengatakan yang sebenarnya, karena
mereka bersumpah bahwa saudara laki-laki mereka telah
melunak dan setuju membiayai pendidikannya di London.
Barangkali, setelah segalanya, pamannya akan
merawat anak tunggal adiknya ini dengan baik. Tahani,
yang yakin kalau kemarahan sang paman tak akan pernah
hilang, tak dapat memberi peringatan, karena ia sangat
tahu keadaan Samira.
Samira dijemput di Kairo oleh dua bibi dan dua
sepupu laki-lakinya. Mereka menenangkan kecemasan
Samira dengan membicarakan perjalanan kembali ke
London, segera setelah ia memperbaiki hubungan
keluarga. Dengan gembira, Samira menyimpulkan bahwa
semuanya akan berjalan baik.
Samira kembali ke Riyadh.
Ketika telepon dari Samira tak kunjung datang,
Tahani menjadi sangat depresi. Ia akhirnya menelpon
kerabat Samira, dan ia hanya mendapat kabar bahwa
226
Samira sedang demam dan merasa tidak cukup sehat
untuk menerima telpon dari temannya. Tahani mendapat
jaminan bahwa Samira akan menelponnya jika
kesehatannya sudah membaik.
Minggu kedua kepulangannya, salah satu bibi
Samira menjawab permintaan Tahani dengan
mengabarkan bahwa perkawinan Samira sudah diatur,
dan Samira berharap pada Tahani untuk berhenti
menghubunginya, karena calon suaminya tidak melihat
keuntungan bersahabat dengan teman masa kecil istrinya.
Samira akhirnya berusaha menghubungi Tahani.
Kata Samira, harapannya hancur seketika ia melihat
pamannya yang telah menunggu. Kemarahan sang paman
memuncak saat keponakannya yang 'tak beriman' itu
datang.
Sejak malam kepulangannya, Samira dikurung di
kamarnya, menunggu putusan dari pamannya. Tak ada
anggota keluarga yang berani mengajukan protes atas
perlakuan terhadapnya. Ia berbisik pada Tahani bahwa
perkawinannya sedang dipersiapkan. Ia akan menikah
dalam satu bulan ini. Samira takut dengan gagasan itu,
karena hubungannya dengan Larry sudah sangat jauh: ia
sudah tak lagi perawan.
Kami hanya sedikit mengetahui tentang perkawinan
itu, karena tak seorang pun di luar keluarga Samira yang
diundang. Kami tahu pasti itu bukanlah perkawinan yang
menggembirakan. Kami diberitahu kalau pengantin
prianya sudah berusia pertengahan lima puluh tahun dan
Samira adalah istrinya yang ketiga.
Kemudian, Habbib mendapat gosip tentang keluarga
itu dari salah satu sepupu laki-laki Samira. Ia mengatakan
bahwa pada malam pertama Samira melawan suaminya
dengan sekuat tenaga. Suaminya hampir saja tidak bisa
227
merenggut apa yang merupakan miliknya. Sang suami
bertubuh pendek, gemuk dan tidak terlalu jantan. Tentu
saja darah keperawanan sudah tak ada. Dalam
pertempuran sengit, ia tak memiliki waktu untuk
membuktikan keperawanan istrinya.
Ketika bertanya kepada bibi Samira, yang sekarang
menyesal karena telah ikut menjebak keponakannya,
Tahani mendapat jawaban bahwa pada awalnya sang
suami sangat cinta dengan harimau betina yang
ditangkapnya. Penghinaan dan pertahanan Samira yang
sangat berani tak banyak menghilangkan niatnya untuk
menaklukkan Samira dengan paksa. Namun, seiring waktu
berlalu, sang suami mulai jemu dengan sikap menghina
Samira yang kasar dan menyesal telah membawa Samira
ke rumahnya.
Samira membual pada bibinya bahwa kesulitan
hidup telah membuatnya berani meneriakkan rasa benci
ke wajah suaminya. Bermodalkan pengalaman bercinta
dengan lelaki sejati, Samira mengejek kemampuan
bercinta suaminya dan membandingkan dengan pacar
Amerikanya yang tinggi dan tampan.
Tanpa basa-basi, Samira dicerai dan diantar ke
depan pintu rumah pamannya. Dengan marah bekas
suami Samira mengatakan pada sang Paman bahwa
keluarga ini tak punya martabat dan sengaja
menikahkannya dengan seorang perempuan yang tak lagi
suci.
Secara rinci, ia menceritakan semua tindakan
Samira yang 'memalukan' yang menaiki ranjang
pengantin dengan ingatan ke laki-laki lain.
Marah tanpa dasar, sang paman mencari petunjuk
Alquran, dan menemukan ayat yang memperkuatnya
untuk mengurung orang yang membuat malu keluarga.
Bekas suami Samira, yang merasa sakit hati karena
228
kejantanannya dihina, selanjutnya bersumpah akan
memberitahukan ke semua orang kerendahan martabat
keluarga paman Samira, kecuali Samira dihukum secara
serius.
Habbib menyampaikan berita sedih pada Tahani
bahwa Samira telah dijatuhi hukuman kurungan di 'ruang
perempuan', sebuah hukuman yang sangat kejam.
Ruang itu terletak di lantai paling atas rumah
pamannya. Kamar itu tanpa jendela yang memang dibuat
untuk memenjara Samira. Jendelanya ditutup dengan
semen.
Penyekatan dilakukan untuk membuat teriakan tak
terdengar. Pintu dibuat secara khusus, dengan sebuah
lobang kecil di bawahnya untuk memasukkan makanan.
Sebuah lubang di lantai untuk tempat pembuangan
kotoran.
Jika ada pekerja asing yang curiga, ia akan diberi
tahu bahwa salah satu anggota keluarga menderita sakit
otak alias gila akibat kecelakaan; dikhawatirkan ia bisa
menyakiti dirinya sendiri atau mungkin orang lain di
keluarga ini.
Aku dan saudari-saudariku berkumpul untuk
menghibur Tahani, yang sangat berduka cita atas
pengurungan orang yang paling dekat di hatinya. Kami
semua merasa sakit, karena Samira merupakan salah satu
dari kami, perempuan Saudi yang tak memiliki penolong
untuk melawan ketidakadilan.
Sementara aku selalu merencanakan skema
penyelamatan, kakak-kakakku melihat situasi dengan
lebih jernih.
Mereka mendengar kisah perempuan lain dengan
kasus yang sama, dan mereka jadi tahu bahwa tak ada
harapan untuk membebaskan Samira dari isolasi itu.
229
Selama beberapa malam aku tak bisa tidur. Aku
terbawa oleh perasaan putus asa dan tak berdaya. Aku
juga mendengar rumor tentang perempuan terhukum
lainnya di negeriku yang menerima hukuman dikurung di
'ruang perempuan', namun aku tak pernah menduga
bahwa tangisan penderitaan itu berasal dari seseorang
yang kukenal, seorang perempuan yang menjadi harapan
dan jiwa bagi negeri kami, seorang perempuan yang
sekarang hidup dalam kegelapan, tanpa cahaya dan suara
untuk menopang hidupnya.
Aku terbangun di tengah malam karena mimpi
buruk. Ketentramanku hilang ketika aku menyadari bahwa
mimpi buruk itu nyata adanya; tak akan ada orang-orang
yang mengenal Samira dan fakta bahwa ia sekarang
menderita dan tak berdaya dalam penjara dan isolasi
total. Pertanyaan yang tak pernah berakhir berkeliaran
dalam otak-ku: Kekuasaan apa di bumi ini yang bisa
membebaskannya? Ketika aku menatap ke langit malam
padang pasir yang bertabur bintang, aku harus
menyimpulkan: tak seorang pun bisa.
230
18
Selasa, 28 Agustus 1980, adalah hari yang takkan pernah
kulupakan. Aku dan Karim baru saja kembali ke Riyadh
dari sebuah tempat peristirahatan di pegunungan yang
sejuk di Taif. Saat itu aku sedang bermalas-malasan di
sofa sementara salah satu pelayan Filipina memijat kakiku
yang terasa pegal. Anak-anak kami berada di perkemahan
di Dubai, Emirat, dan aku merasa hampa tanpa kehadiran
mereka.
Ketika aku melongok ke tumpukan surat kabar yang
terkumpulkan selama dua bulan kepergian kami, ada
sebuah artikel menarik dari halaman surat kabar terbaru.
Salah seorang kerabatku, gubernur Asir, Pangeran Khalid
al Faisal, baru-baru ini mengambil kebijakan untuk
mengendalikan membengkaknya biaya perkawinan di
propinsinya dengan membatasi harga mas kawin atau
mahar yang harus dibayar mempelai pria kepada
mempelai perempuan.
Sang Pangeran menetapkan 25.000 Riyal Saudi
($7.000) sebagai angka maksimal yang boleh diminta
orangtua pengantin perempuan. Dalam artikel disebutkan
231
bahwa instruksi itu disambut baik oleh para bujangan
yang sudah memenuhi syarat untuk menikah. Hal ini
dikarenakan pada tahun 1980, harga rata-rata pengantin
perempuan telah mencapai 100.000 Riyal Saudi
($27.000). Dengan harga semahal itu, banyak anak muda
di Arab Saudi yang tak mampu membeli seorang istri.
Artikel itu kubacakan kepada pelayan Filipina, tapi ia
tak begitu memerhatikan; ia tidak terlalu tertarik dengan
keadaan menyedihkan perempuan Saudi yang
diperjualbelikan. Sekadar bisa bertahan hidup sudah
merupakan beban yang sangat berat bagi sebagian besar
orang Filipina. Mereka pikir kami, perempuan Saudi,
sudah cukup beruntung dengan memiliki waktu luang
yang tiada kira dan uang belanja yang sangat banyak
untuk membeli apa pun yang diinginkan.
Sebagai ibu dua orang putri, aku tak begitu peduli
dengan harga seorang pengantin perempuan, karena bila
saat menikah datang pada anak-anak kami, harga
pengantin perempuan tak begitu menjadi perhatian. Aku
dan Karim sudah sangat kaya. Uang tak lagi membuatku
putus asa di setiap harinya. Tapi aku melihat para laki-laki
dalam keluargaku cenderung mengalami kemunduran.
Mereka berbicara fasih tentang kebebasan perempuan,
namun dalam kebijakan hukum yang mereka buat,
mereka justru mempertahankan tekanan tinggi terhadap
status quo dan keinginan kembali ke zaman primitif.
Aku baru puas bila mas kawin dihapuskan sama
sekali. Berapa lama lagi kami para perempuan tak
diperjualbelikan seperti properti?
Aku mulai resah dan gelisah, karena semua kakak
perempuanku, kecuali Sara, masih berada di luar negeri.
Kakak yang paling kucintai sedang menjalani masa akhir
kehamilannya yang keempat dan menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk tidur. Hidupku, yang kurencanakan
232
dengan baik sejak muda, tidak berjalan seperti yang
kubayangkan. Sebaliknya, aku justru terpaku dalam
rutinitas seperti yang dilakukan kakak-kakakku dan putriputri
kerajaan lain yang menjadi sahabatku.
Karena anak-anak sarapan paginya disuapi para
pelayan dan dijaga sepanjang hari, aku biasanya baru
bangun di siang hari. Setelah memakan buah-buahan
segar, aku akan berendam di dalam bak mandi dengan
sangat santai. Setelah berpakaian, aku akan bergabung
dengan Karim atau, jika ia sedang sibuk, dengan kakakkakakku
untuk makan siang yang terlambat. Kami akan
bermalas-malasan dan membaca-baca setelah makan.
Kemudian aku dan Karim akan tidur siang sejenak.
Sesudah itu, ia akan kembali ke kantor atau
mengunjungi sepupunya, sementara aku menghabiskan
waktu dengan anak-anak.
Aku menghadiri pesta-pesta yang diadakan kaum
perempuan di sore hari dan kembali ke istana sebelum
pukul delapan malam. Aku dan Karim bersepakat makan
malam bersama anak-anak untuk mengetahui aktifitas
mereka seharian. Kami hampir selalu menghadiri pesta
makan malam, karena kami termasuk kelompok terpilih
yang suka pergi bersama pasangan. Secara umum, kami
hanya berkumpul dengan anggota keluarga kerajaan, tapi
pada kesempatan tertentu, juga dengan orang asing
kalangan atas, para menteri luar negeri, dan keluargakeluarga
pengusaha kaya Arab Saudi. Karena belum diberi
kebebasan sosial, kami sebagai generasi yang lebih muda
memutuskan untuk mendapatkannya dengan kekuasaan.
Kami tahu, kelompok-kelompok agama marah
melihat kami bergaul dengan orang asing, namun mereka
tak melakukan apa-apa untuk menekan Khalid, Raja
pujaan kami yang saleh.
233
Dalam pertemuan sosial seperti itu, para perempuan
berpakaian wah, karena mereka hanya memiliki sedikit
kesempatan untuk memamerkan perhiasan dan pakaian.
Aku dan Karim sering keluar hingga jam dua atau
tiga pagi. Rutinitas ini jarang terganggu kecuali kalau
kami sedang keluar negeri.
Satu pertanyaan yang selalu menghantuiku: untuk
apa semua ini?
Aku tak lagi bisa menyangkal kenyataan ini. Aku,
Sultana yang berapi-api, telah menjadi orang biasa,
perempuan Saudi yang tumpul dan tanpa gairah; tak ada
sesuatu yang penting mengisi hari-hariku. Aku benci
kemalasan dan kehidupan mewahku. Tapi aku tak tahu
langkah apa yang bisa kuambil untuk menghilangkan
kebosananku.
Setelah kakiku dipijat, aku ingin sekali berjalan-jalan
di taman. Dalam merancang taman, aku merujuk pada
taman indah Nura. Tak ada yang bisa membuatku lebih
damai kecuali di bawah teduhnya hutan kecil yang selalu
disirami dan dirawat dengan penuh semangat oleh dua
belas orang pekerja dari Sri Langka. Kami tinggal di salah
satu padang pasir paling panas di dunia, namun rumah
kami dikelilingi oleh taman hijau yang subur. Dengan
banyaknya uang dihabiskan untuk mendatangkan air
berlimpah dari kota pelabuhan untuk siram-siram empat
kali sehari, kami orang Saudi yang kaya bisa melepaskan
diri dari sengatan pasir merah yang menunggu secuil
kesempatan untuk merusak kota kami dan menghapuskan
jejak kami di bumi. Pada waktunya, padang pasirlah yang
akan menang, namun sekarang kami adalah tuan di
negeri sendiri.
Aku berhenti beristirahat di sebuah gazebo yang
khusus dibangun untuk putri kami tertua, Maha, yang
akan segera merayakan ulang tahun kelimanya. Maha
234
adalah bocah pemimpi yang menghabiskan waktu berjamjam
bersembunyi di dalam alat mainan yang tertutupi
tumbuh-tumbuhan merambat, melakukan permainan
rumit dengan teman-teman imajinasinya. Ia mirip aku
waktu masih kecil. Hanya saja, ia beruntung tak
mengalami revolusi kepribadian berat seperti ibunya,
karena Maha mendapatkan cinta ayahnya dan tak perlu
harus memberontak.
Aku memetik bunga-bunga yang menjalar di atas
tempat favorit Maha. Aneka macam mainan Maha
dibiarkan bertumpuk tak beraturan. Aku tersenyum heran
betapa sifatnya sangat berbeda dengan adiknya, Amani,
yang sekarang berusia tiga tahun. Amani sangat
perfeksionis, mirip dengan bibinya, Sara.
Ketika aku berfikir tentang anak-anakku, aku
merasakan tekanan yang sangat kuat. Aku mengucapkan
rasa syukur pada Allah karena seorang putra dan dua
putriku sehat. Namun aku menitikkan air mata ketika
ingat kenyataan bahwa aku tak lagi bisa melahirkan anak.
Setahun yang lalu, saat aku melakukan pemeriksaan
rutin di Rumah sakit dan Pusat Penelitian Raja Faisal, aku
didiagnosa mengidap kanker payudara. Aku dan Karim
terkejut, karena kami pikir penyakit itu hanya menimpa
orang yang sudah berumur. Sebelum itu, aku tak pernah
kena penyakit apa pun dan melahirkan dua anak
terakhirku dengan mudah. Dokter yakin bahwa sekarang
aku sudah bebas dari sel berbahaya itu, namun aku
kehilangan satu payudara. Selanjutnya aku diperingatkan
agar tidak hamil lagi.
Sebagai tindakan pencegahan agar tak berhasrat
memiliki anak lagi, yang akan membahayakanku, maka
dengan persetujuan Karim, aku melakukan operasi
sterilisasi. Aku sangat takut seandainya aku tak bisa hidup
terus dan melihat ketiga anakku tumbuh dewasa.
235
Aku resah dengan pikiran tentang sebuah keluarga
kecil. Saat itu, di Arab Saudi, jarang ada perempuan yang
berhenti melahirkan anak; hanya umur yang akan
menghentikannya; tak ada yang lain.
Suara Karim menyela pikiranku yang sedang kacau.
Aku melihatnya berjalan dengan cepat melintasi
rumput tebal. Dalam setahun terakhir, kami lelah
bercekcok, akibat penyakit yang menekan hidup kami.
Tiba-tiba aku memutuskan untuk menjadi Sultana yang
dulu, gadis yang bisa membuat suaminya tertawa lepas
dan gembira.
Aku tersenyum melihat kaki-kakinya yang panjang
dan atletis, terbungkus dalam thobe nya yang ketat.
Memandangnya masih membuat hatiku bahagia.
Ketika ia sudah dekat, aku menjadi tahu, pikirannya
sedang kacau. Aku mencari-cari penyebabnya. Ia perlu
beberapa saat untuk mengungkapkan apa yang
menyusahkannya. Aku memberi isyarat dengan tangan
untuk menyuruhnya duduk di sampingku. Aku ingin duduk
serapat mungkin, sehingga tubuh kami bisa bersentuhan,
asalkan tak ada yang melihat.
Karim membuatku kecewa karena ia duduk di ujung
terjauh gazebo. Ia tak membalas senyum sambutanku.
Pasti sesuatu yang berbahaya telah menimpa anak kami!
Aku melompat dan bertanya ada berita buruk apa. Ia
tampak terkejut karena aku dapat meraba kabar yang tak
menyenangkan. Kemudian Karim mengucapkan kata-kata
yang tak pernah kuduga bisa terdengar dari mulutnya.
'Sultana, sejak beberapa bulan yang lalu, aku telah
membuat keputusan, keputusan yang sangat sulit. Aku
tidak mendiskusikan ini denganmu, karena kamu sedang
sakit.'
Aku mengangguk, tidak tahu apa yang sedang
236
menungguku, meskipun aku takut mendengarnya.
'Sultana, kamu istri yang paling penting dalam
hatiku dan akan selamanya begitu.'
Aku masih belum bisa menduga pesan yang ingin
disampaikan suamiku, namun aku yakin kata-katanya
menunjukkan bahwa ia sedang mempersiapkan aku untuk
menerima berita yang mungkin tak sanggup aku pikul.
Tanpa sadar air mata mengalir di wajahku. Aku tak ingin
ia mengungkapkan apa yang akan segera menjadi
kenyataan.
'Sultana, aku laki-laki yang masih bisa menurunkan
banyak anak. Aku ingin sepuluh, dua puluh, sebanyak
mungkin anak yang menurut Allah pantas bagiku.'
Ia berhenti sejenak namun rasanya sangat lama.
Aku menahan nafas ketakutan.
'Sultana, aku akan menikah lagi. Istri keduaku itu
hanya akan berperan melahirkan anak. Aku tak
menginginkan apa pun, selain anak. Cintaku selalu hanya
untukmu.'
Bunyi yang bertalu-talu di kepalaku membuatku tak
bisa mendengar apa-apa. Aku terperangkap dalam realitas
gelap yang tak kupercaya. Tak pernah, tak pernah, tak
pernah kubayangkan kemungkinan seperti itu.
Karim menunggu reaksiku. Pertama-tama aku tak
bisa bergerak. Nafasku akhirnya kembali ke tubuhku
melalui hembusan yang dalam dan keras. Maklumat yang
disampaikannya perlahan merasuk ke dalam otakku dan
mulai hidup. Saat kekuatanku pulih, aku menjawabnya
dengan serangan tiba-tiba yang membuat kami jatuh
berguling di lantai.
Dalamnya luka yang kurasakan, tidak bisa
diekspresikan dengan kata-kata. Aku ingin Karim
memohon maaf padaku ketika aku mencakar wajahnya,
237
menendang kunci pahanya, dan mencoba dengan putus
asa membunuhnya.
Karim berjuang agar bisa berdiri. Aku berubah
menjadi kasar dan kuat akibat kegilaan yang tiba-tiba
merasukiku. Untuk mengendalikanku, Karim harus
menekanku ke tanah dan duduk mengangkangi tubuhku.
Teriakanku memecah suasana. Sebutan-sebutan
yang kuberikan pada suamiku menyebabkan para pelayan
yang berkumpul menjadi kaku. Seperti hewan liar, aku
meludahi wajah suamiku. Kulihat ia merasa heran dengan
amukan yang ia picu.
Karena takut dengan apa yang disaksikan, para
pelayan berlarian ke berbagai tempat dan bersembunyi
dalam bangunan dan di balik rerumputan.
Akhirnya kemarahanku berakhir. Aku diam setengah
mati. Akal sehatku sudah pulih. Aku katakan pada Karim
bahwa aku ingin cerai. Aku takkan pernah bisa menerima
penghinaan berupa suami yang menikah lagi. Karim
menjawab, tak masalah bercerai asalkan anak-anak
diserahkan padanya dan dibesarkan oleh istri kedua. Ia
tak akan pernah mengijinkan anak-anak meninggalkan
rumahnya.
Sekilas aku melihat kehidupan yang ada di
hadapanku. Dengan menikah lagi, Karim jauh dari
martabat dan sopan-santun laki-laki yang beradab.
Sebagian besar laki-laki dan perempuan mengerti
batas-batas yang dapat ditanggung. Dalam filosofiku, aku
tak memiliki watak untuk ikut berpesta pora yang
berlebih-lebihan.
Karim bisa mengeluarkan kata-kata tipu daya yang
disukainya. Tapi aku mengerti implikasi kalau ia menikah
lagi. Ia sungguh tak bermaksud mempertahankan anak
anak.
238
Persoalannya tetap sederhana. Kami sudah menikah
selama delapan tahun. Ia hanya ingin mendapatkan surat
izin untuk melakukan hubungan seksual dengan
perempuan lain. Jelas, suamiku sudah bosan memakan
hidangan yang sama dan berhasrat mencari makanan
baru yang lebih eksotik sesuai dengan seleranya.
Aku marah besar karena Karim menganggap aku
adalah perempuan yang tidak cukup pintar untuk
menerima penjelasannya yang manis. Ya, aku memang
akan menerima apa yang ditakdirkan Allah untukku,
namun tidak jika berkaitan dengan suamiku di dunia.
Kukatakan pada Karim untuk enyah dari hadapanku;
karena hari ini aku tak mau ada pembunuhan.
Untuk kali pertamanya, aku benar-benar mengalami
perasaan tidak suka terhadap suamiku. Wajahnya bijak
dan baik; namun isi perutnya licik dan egois. Aku telah
tidur di sampingnya selama delapan tahun; namun ia tibatiba
menjadi orang asing yang tak kukenal sama sekali.
Aku menyuruhnya menghilang dari pandanganku.
Muak melihat ia hanyalah kerangka manusia tanpa otak.
Aku melihatnya berjalan menjauh, dengan kepala
menunduk, dan bahu turun. Bagaimana mungkin satu jam
sebelumnya aku sangat mencintainya? Namun sekarang
aliran cintaku melemah. Aku menyukai sifat Karim yang
hebat, menghargainya lebih dari laki-laki lain dalam
masyarakat kami. Tapi, menyedihkan, inti kehidupannya
tak lebih dari kebanyakan laki-laki.
Ya, kami telah melalui satu tahun yang sulit. Ya,
perkawinan bersifat membatasi dan kadang
menjengkelkan. Kami telah menikmati tujuh tahun masa
yang sangat bahagia dan hanya selama setahun
menderita kekacauan dan perubahan. Mungkin saja,
sedikit kesenangan segar, perempuan baru yang tidak
239
cerewet, masuk ke dalam mimpi suamiku.
Parahnya, ia laki-laki yang bisa mengancam pada
orang yang melahirkan anak-anaknya. Tanpa malu, ia
menyanjung-nyanjung istri kedua dan menetapkan
kebahagiaan bagi anak-anakku yang tersayang. Itu tentu
saja mengingatkanku akan realitas dominasi laki-laki di
tempatku.
Ketika telah muncul rencana dalam otakku, aku
kasihan pada suamiku. Ia lupa telah menikah dengan
perempuan yang suka memberontak. Tak mudah anakanakku
terlepas dari tanganku.
240
19
Tak seperti kebanyakan suami-suami di Saudi, Karim
menyimpan paspor keluarga di tempat yang mudah
dijangkau istrinya. Dan aku orang yang pintar meniru
tanda-tangannya. Stempel pribadinya tersimpan di atas
meja tulis di ruang kerjanya.
Pada saat aku menghimpun pikiran dan kembali ke
rumah, Karim sudah pergi. Jadi, ia penakut juga. Aku
yakin ia akan menginap di istana ayahnya selama satu
atau dua malam.
Mendadak pikiranku melayang ke Norah. Aku marah
membayangkan mertuaku tersenyum-senyum melihat
keadaanku yang sulit ini. Ia pasti telah memilihkan istri
kedua untuk anak sulungnya. Sampai saat itu aku belum
tahu siapa yang akan menjadi istri barunya; mungkin ia
sepupu kerajaan yang masih kanak-kanak, karena kami
cenderung menikah dalam satu keluarga besar Aku
dengan tenang menyiapkan koper dan mengambil uang
simpanan ratusan ribu dolar dari peti.
Seperti kebanyakan keluarga kerajaan, Karim
241
memiliki harta simpanan sebagai persiapan menghadapi
kemungkinan munculnya revolusi yang sering terjadi
secara tak terduga di negeri yang diperintah oleh monarki.
Kami telah membicarakan cara menyelamatkan
hidup jika si lemah menumbangkan si kuat. Aku
memanjatkan doa yang kejam agar penganut Syiah yang
minoritas di Provinsi Timur menggulingkan para pemimpin
Sunni kami. Bayangan kepala Karim yang ditusuk
menimbulkan senyuman di mukaku yang cemberut.
Setelah mengemas semua perhiasanku ke dalam sebuah
tas kecil, aku mempersiapkan surat-surat
perjalananku tanpa kesulitan. Akhirnya aku siap.
Aku tidak bisa memercayai saudari-saudariku,
karena mereka sangat mungkin tergoda untuk
membocorkan kepergianku pada suami-suami mereka.
Dan para laki-laki itu kompak; Karim akan segera
diberitahu.
Aku panggil pelayan kepercayaanku, karena ia pasti
orang pertama yang akan ditanya Karim. Aku katakan
padanya, jika suamiku bertanya tentang aku, bilang saja
aku pergi ke Jeddah selama beberapa hari.
Aku menelpon pilot langgananku dan
memberitahukan padanya bahwa kami sekeluarga akan
terbang ke Jeddah satu jam lagi; ia sudah harus ada di
bandara tepat pada waktunya. Aku menelpon para
pelayan di Jeddah dan memberi tahu mereka bahwa aku
akan mengunjungi seorang teman di kota itu; mungkin
aku akan datang ke rumah. Bila Karim menelpon dan ingin
bicara denganku, katakan padanya bahwa aku sedang
berada di rumah teman dan aku akan menelpon balik
sesegera mungkin.
Kebohonganku itu dimaksudkan untuk mengulurulur
waktu agar Karim tidak mengetahui pelarianku
242
selama mungkin.
Ketika aku sedang dalam perjalanan ke bandara,
aku melihat dengan takjub keramaian orang di jalan-jalan
Riyadh di hari Kamis malam. Kota itu dipenuhi oleh para
pekerja asing, karena orang-orang Saudi tidak mau
melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar. Suatu hari orangorang
yang kurang mampu ini akan bosan dengan
perlakukan buruk dari kami; bangkai kami akan menjadi
makanan sekumpulan anjing liar yang berkeliaran di kotakota
kami.
Ketika pilot Amerika melihat bayangan hitam
melangkah ke arahnya, yang tak lain aku sendiri, ia
tersenyum dan melambaikan tangan. Ia telah
mengantarku ke banyak perjalanan. Ia mengingatkanku
pada pilot-pilot ramah dan bersahabat yang
menerbangkan aku dan ibuku untuk menemui Sara
beberapa tahun yang lalu. Kenangan itu membuat hatiku
tak tenang dan jadi rindu pada pelukan ibu yang
menentramkan.
Ketika masuk ke dalam pesawat, kukatakan pada
pilot bahwa rencana berubah; salah satu anak kami sakit
di Dubai, dan aku baru saja menerima telepon dari Karim
yang menyuruhku agar pergi menemui anak itu dan
membatalkan penerbangan ke Jeddah. Karim sendiri akan
menyusul besok, jika sakitnya benar-benar
mengkhawatirkan.
Aku dengan mudah sekali berbohong ketika
kukatakan pada pilot itu bahwa kami rasa anak bungsu
kami hanya rindu rumah dan kehadiranku akan
membuatnya tenang. Aku tertawa ketika aku bilang
bahwa anak-anak telah meninggalkan rumah selama tiga
minggu, waktu yang terlalu lama untuk seorang anak kecil
kami.
Tanpa bertanya lebih lanjut, pilot itu mengubah jalur
243
penerbangan. Ia telah menerbangkan keluarga kami
selama bertahun-tahun dan mengenal kami sebagai
pasangan bahagia. Ia tak punya alasan untuk meragukan
perintahku.
Segera setelah sampai di Dubai, aku menyuruh pilot
untuk tinggal di hotel yang biasa ia tinggali, Hotel
Sheraton Dubai. Aku akan menelponnya besok atau lusa
untuk memberitahukan rencanaku selanjutnya.
Kukatakan padanya bahwa ia bebas tugas untuk
sementara waktu karena Karim tidak memerlukan dia dan
pesawatnya dalam beberapa hari. Kami memiliki tiga Lear
jet; salah satunya selalu siap untuk digunakan Karim.
Anak-anak gembira luar biasa melihat ibunya datang
tanpa terduga. Pimpinan Summer Camp dari Inggris
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan simpati ketika
kukatakan bahwa nenek anak-anak sakit keras.
Aku akan membawa pulang anak-anak secepatnya
bersamaku ke Riyadh. Pimpinan itu terburu-buru pergi ke
kantornya untuk mengambil paspor anak-anak.
Ketika aku menjabat tangan laki-laki itu sebagai
tanda perpisahan, aku katakan bahwa aku tidak bisa
menemukan para pelayan yang menemani anak-anak ke
Dubai. Mereka tak menjawab teleponku; aku rasa mereka
sedang makan malam. Maukah Anda menelpon mereka
esok pagi dan memberitahukan kepada mereka bahwa
aku menyuruh pilot, Joel, menunggu mereka di Hotel
Sheraton Dubai. Mereka harus segera berangkat dan
menemui pilot itu dengan surat ini. Bersamaan dengan itu
aku mengulurkan sebuah amplop berisi surat yang
dialamatkan pada pilot Amerika tersebut.
Dalam surat itu aku meminta maaf karena
menggunakan jasanya dengan cara yang curang; aku
cantumkan kata-kata tambahan untuk Karim yang
244
menceritakan bagaimana aku membohongi si pilot itu.
Aku tahu Karim akan sangat marah kepadanya.
Tetapi kemarahannya akan segera reda jika ia tahu
situasinya.
Pilot itu, Joel, adalah pilot kesayangan Karim. Ia
pasti tak akan kehilangan pekerjaannya.
Aku dan anak-anak naik ke dalam limosin yang
menunggu, yang akan mengantar kami ke bandara.
Penerbangan langsung ke London akan berangkat
satu jam lagi. Aku akan menggunakan kebohongan apa
pun untuk mendapatkan empat kursi di pesawat.
Ternyata aku tak perlu berdosa pada Allah. Hampir
tak ada penumpang; sebagian besar orang terbang
kembali ke Teluk pada akhir musim panas, bukannya
berangkat pergi meninggalkan wilayah ini. Anak-anak
mengantuk, dan tak banyak bertanya; aku katakan
kepada mereka bahwa mereka akan mendapat kejutan di
akhir perjalanan.
Ketika anak-anak tidur, dengan tegang aku membolak-
balik halaman sebuah majalah. Tak ada isinya yang
menarik perhatianku. aku sedang memikirkan langkah
selanjutnya dengan sangat hati-hati. Sisa hidupku
tergantung pada kejadian-kejadian beberapa minggu ke
depan. Perlahan, aku merasa seseorang dengan maksud
tertentu sedang menatap langsung ke arahku.
Apakah pelarianku dari Karim sudah diketahui?
Aku melihat ke seberang kursi. Seorang perempuan
Arab berumur sekitar tigapuluh tahun menatap tajam
padaku. Ia menggendong gadis kecil berusia sekitar tiga
atau empat tahun. Aku lega melihat orang yang
membuatku kalut ternyata seorang perempuan, seorang
ibu. Tatapan tajamnya membuatku bertanya-tanya. Aku
berdiri, menyelinap di antara kereta dorong dan duduk di
245
kursi kosong di sampingnya. Aku bertanya padanya ada
masalah apa. Apakah aku telah mengganggunya?
Wajah dinginnya mulai memudar, dan ia
menyemprotkan kata-kata ke arahku: 'Aku ada di bandara
ketika kamu datang, kamu dan anak-anakmu.' Ia
menatap jijik pada anak-anakku. 'Kamu hampir saja
menabrak kami ketika kamu check-in di penjualan tiket!'
Ia melihat dengan benci ke mataku ketika ia menyebut
kebangsaanku: 'Kalian pikir, orang Saudi bisa membeli
dunia?'
Hari yang melelahkan telah menguras kekuatanku.
Namun air mataku yang jatuh lebih mengejutkan
diriku ketimbang perempuan itu. Sambil terisak-isak, aku
menepuk bahunya dan mengatakan padanya aku minta
maaf. Aku sedang mengalami masalah besar sehingga
harus mengejar-ngejar penerbangan. Dengan air mata
yang mengalir di pipiku, aku kembali ke tempat dudukku.
Perempuan itu gampang iba, karena ia tak
membiarkanku pergi begitu saja setelah aku
memperlihatkan kesedihan. Ia dengan hati-hati
meletakkan anaknya ke kursi dan berlutut di kursi
sampingku.
Badanku menjadi kaku, kemudian aku berbalik,
namun ia terus bergerak menghadapkan wajahnya ke
wajahku dan berkata: 'Tolong, maafkan aku. Aku juga
sedang mengalami masalah besar. Jika kukatakan
padamu apa yang terjadi pada anak perempuanku di
negaramu, mungkin sekali di tangan beberapa laki-laki di
negaramu, kau akan mengerti mengapa aku sangat benci
dengan orang Saudi."
Setelah melalui begitu banyak hal menakutkan
ketimbang yang bisa ditanggung oleh orang dalam
hidupnya, aku tak ingin lagi mendapatkan gambaran
246
ketidakadilan dalam pikiranku. Tak kupercaya, aku
mengucapkan kata-kata 'aku minta maaf. Perempuan itu
tampaknya mengerti kalau aku sedang dalam puncak
kegalauan, sehingga ia bersedia pergi dari sisiku.
Namun perempuan itu bersikeras ingin menceritakan
peristiwa mengerikan yang menimpanya, dan sebelum
penerbangan berakhir, aku mengetahui penyebab luka
hatinya. Setelah mendengar ceritanya, aku semakin benci
terhadap masyarakat patriarkhis yang mengancam semua
perempuan, bahkan anak-anak, yang berani menginjak
tanah Arab Saudi, apa pun kebangsaan mereka.
Perempuan itu bernama Widad; ia berasal dari
Libanon. Kekacauan yang terus-menerus akibat perang
sipil di negeri kecil yang dahulu indah itu telah memaksa
warganya mencari pekerjaan di Arab Saudi dan negaranegara
Teluk. Suami Widad termasuk orang yang
beruntung karena mendapat pekerjaan sebagai eksekutif
di salah satu bisnis yang sedang berkembang di Riyadh.
Setelah merasa mapan, ia membawa istri dan anaknya
yang masih kecil ke ibu kota padang pasir ini.
Widad senang hidup di Riyadh. Perang di Libanon telah
menghapuskan keinginannya untuk kembali ke tempat
kelahirannya itu di mana peluru beterbangan dan banyak
orang tak berdosa mati. Ia bahagia hidup di tempat yang
baru. Ia bisa mengontrak sebuah rumah yang bagus,
membeli perabotan, dan semua anggota keluarga bisa
bersatu kembali. Widad sangat terkesan dengan sidikitnya
kejahatan di negeri kami. Dengan hukuman yang sangat
berat terhadap orang-orang yang bersalah, hanya ada
sedikit orang yang berani berbuat jahat di Arab Saudi,
pencuri yang tertangkap akan kehilangan tangan, dan
seorang pembunuh atau pemerkosa akan kehilangan
kepalanya. Dengan pikiran tenang seperti itu, ia lalai
menjaga anak perempuannya dari bahaya orang asing.
247
Dua bulan lalu, Widad mengadakan pesta kecil
dengan teman-teman perempuannya. Sama seperti
perempuan Saudi, di negeri kami istri-istri orang asing tak
punya banyak kesibukan. Widad menyajikan makanan
ringan, dan tamu-tamunya bermain kartu. Dua dari
perempuan-perempuan itu membawa anak-anak mereka,
sehingga anak perempuan Widad benar-benar gembira
bermain di taman.
Setelah para tamu pergi, Widad membantu dua
pelayan India-nya membersihkan rumah untuk
menyambut suaminya pulang malam itu. Telepon
berbunyi, dan Widad bercakap-cakap cukup lama dari
biasanya. Ketika ia melongok keluar melalui jendela, ia
tak melihat apa-apa. Ia memanggil salah satu pelayannya
dan menyuruhnya membawa masuk putrinya. Putri Widad
tak ditemukan. Setelah mencari-cari dengan rasa cemas,
tamu terakhir ingat bahwa anak itu sedang duduk-duduk
di pinggir trotoar di depan rumah sambil menggendong
bonekanya. Suami Widad pulang, dan turut mencari
sampai ke tetangga. Tak seorang pun melihat putrinya.
Setelah berminggu-minggu melakukan pencarian,
Widad dan suaminya hanya bisa mengira bahwa putri
tunggal mereka telah diculik dan kemungkinan besar
dibunuh. Ketika semua harapan terhadap putri
kesayangannya hilang, Widad merasa tak bisa lagi tinggal
di Riyadh. Ia pun kembali ke keluarganya di Libanon yang
hancur karena perang. Untuk melanjutkan hidup,
suaminya tetap bekerja di Riyadh dan tinggal di rumah
yang sama.
Sepuluh hari setelah Widad sampai di Beirut, ia
mendengar ketukan keras di pintu apartemennya. Takut
dengan pertempuran milisi yang baru saja terjadi di
tempat tetangganya, ia berpura-pura bahwa di rumahnya
tak ada orang hingga ia mendengar teriakan tetangganya
248
yang menyampaikan kabar dari suaminya di Riyadh.
Tetangga itu baru saja menerima telepon dari suami
Widad. Teleponnya sudah diputus, namun tetangga itu
telah mencatat pesan yang sulit dipercaya untuk Widad.
Widad harus naik kapal ke Cyprus dan segera pergi
ke kedutaan Saudi di negeri itu. Visanya untuk masuk
kembali ke Arab Saudi sudah menunggu. Ia harus segera
kembali secepat mungkin ke Riyadh. Putri mereka masih
hidup!
Perlu tiga hari perjalanan kapal dari Jounieh di
Libanon ke Larnaca di Cyprus. Di sanalah visanya bisa
distempel, baru kemudian perjalanan diteruskan dengan
naik pesawat ke Riyadh. Pada saat Widad sampai di
Riyadh, teka-teki menghilangnya anak mereka
diungkapkan.
Setelah reda rasa terkejutnya karena saat pulang ke
rumah mendapati putrinya berdiri di pintu gerbang, suami
Widad membawa putrinya itu ke klinik untuk memastikan
apakah putrinya telah diperkosa, sebuah peristiwa yang
paling ia takutkan. Setelah dilakukan pemeriksaan
menyeluruh, hasilnya mengerikan. Dokter mengatakan
pada suami Widad bahwa anaknya tidak menderita
serangan seksual, tetapi baru saja menjalani operasi
besar. Salah satu ginjalnya telah diambil. Luka bekas
operasinya buruk, dan infeksi terjadi karena lukanya tak
bersih.
Para staf rumah sakit saling berspekulasi ketika melakukan
pemeriksaan. Mereka bertanya-tanya tentang tipe
donor dan prosedur operasi. Hampir pasti anak ini tidak
menjalani operasi di Arab Saudi; karena pada saat itu
operasi pencangkokan ginjal belum umum dilakukan di
kerajaan Saudi.
Setelah polisi mengadakan penyelidikan, mereka
249
berkesimpulan bahwa anak ini telah dibawa ke India oleh
seorang Saudi yang sangat kaya, yang anaknya butuh
transplantasi ginjal. Mungkin saja orang kaya itu telah
menculik lebih dari seorang anak untuk kemudian dipilih
satu yang paling cocok. Tak seorang pun mampu
menceritakan kejadian sebelum pengambilan ginjal,
karena sang anak hanya bisa mengingat mobil panjang
hitam dan bau tak sedap dari saputangan yang ditutupkan
ke mulutnya oleh seorang laki-laki besar. Ia baru
terbangun setelah merasakan sakit yang amat sangat. Ia
ditempatkan dalam sebuah kamar dengan perawat yang
tak bisa berbicara bahasa Arab; ia tak melihat orang lain.
Ketika ia hendak dilepaskan, matanya ditutup kain,
dinaikkan ke mobil lama sekali dan tanpa diduga-duga
diturunkan di depan pintu rumahnya.
Tak diragukan lagi, orang yang telah menculik anak
ini pastilah sangat kaya, karena ketika ayahnya melompat
dari mobil untuk memeluknya, anak itu menunjukkan
sebuah tas kecil penuh dengan uang lebih dari dua puluh
ribu dollar dan perhiasan mahal yang banyak.
Dapat dimengerti, Widad menganggap hina negeriku
dan terhadap kekayaan minyak yang telah membentuk
sebuah masyarakat yang menganggap harta mereka
dapat mengatasi semua rintangan hidup. Mereka
mengambil bagian tubuh yang suci dari seorang anak kecil
yang tak berdosa dan meninggalkan uang untuk
menghilangkan kemarahan orang-orang yang terluka!
Ketika Widad melihat pandanganku yang
menyangsikan ceritanya, ia buru-buru memperlihatkan
padaku anaknya yang sedang tidur dan membuka luka
merah panjang yang dengan jelas menunjukkan
kedalaman moral yang akan disepakati oleh beberapa
orang.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, me250
rasa ngeri.
Widad menatap gadis kecil yang sedang tidur itu
dengan penuh kasih; kepulangan anaknya tak lebih dari
sebuah keajaiban. Kata-kata perpisahan dari Widad
menghapus kebanggaanku yang rentan terhadap
bangsaku: 'Aku masih simpati terhadap perempuan Saudi.
Selama tinggal sebentar di Arab Saudi, aku telah melihat
cara hidup kalian. Jelas, uang bisa membuat lancar
segalanya, tapi orang-orang seperti bangsa Saudi tak
akan bertahan lama.' Ia berhenti sejenak merenung,
sebelum kemudian melanjutkan: 'Walaupun benar bahwa
kesulitan uang telah mendorong orang-orang asing datang
ke Arab Saudi, kalian orang Saudi tetap dibenci oleh
semua orang yang mengenal kalian.'
Aku lihat Widad terakhir kali di bandara internasional
London, saat ia memeluk hangat anak kesayangannya.
Setelah melakukan beberapa pemeriksaan medis pada
putrinya di London, Widad lebih memilih mengambil
risiko terkena bom musuh-musuh Libanon ketimbang
menghadapi kemunafikan dan kejahatan yang tak dapat
dibayangkan dari orang-orang di negeriku, Saudi.
Aku dan anak-anak menginap semalam di London.
Kami menyeberangi Channel dengan kapal feri dan tiba di
Perancis di hari berikutnya. Dari sana kami pergi naik
kereta api menuju Zurich. Ketika aku mengambil seluruh
uang dari rekening putraku di bank Swiss, aku tinggalkan
anak-anak di hotel selama beberapa jam. Dengan uang
lebih dari enam juta dollar di tangan, aku merasa aman.
Aku menyewa mobil dan sopirnya untuk pergi ke
Jenewa; dari sana kami kembali terbang ke London dan
kemudian ke Kepulauan Channel (Channel Islands). Di
sana, aku mendeposito uang ke sebuah rekening atas
namaku, dan menyisakan uang tunai yang kuambil dari
peti di Riyadh untuk biaya pengeluaran kami. Kemudian
251
kami terbang ke Roma, di sana aku menyewa sopir untuk
mengantar kami kembali ke Paris.
Di Paris, aku menyewa seorang pegawai rumah
tangga, seorang sopir dan seorang pengawal. Kemudian,
atas nama tertentu, aku menyewa sebuah rumah di
daerah pinggiran kota Paris. Dengan perjalanan yang
berliku-liku itu, aku yakin Karim tak akan pernah bisa
menemukan kami.
Sebulan kemudian, aku terbang ke Frankfrut,
sementara pengawasan anak-anak kuserahkan pada
pegawai rumah tangga. Di sana, aku masuk ke sebuah
bank dan mengatakan bahwa aku berasal dari Dubai dan
ingin mendepositokan uang dalam jumlah besar. Aku
mendapat perlakuan istimewa dan dikawal menuju kantor
menejer bank. Di sana aku mengeluarkan sejumlah besar
uang dari tasku dan meletakkannya di atas meja menejer
Ketika menejer terkejut melihat uang itu, kukatakan
padanya bahwa aku ingin menelpon suamiku yang sedang
berbisnis di Arab Saudi. Tentu saja aku bukan sekadar
ingin membayar biaya telpon dan meletakkan lima ratus
dollar di tangannya. Dengan cepat menejer itu berdiri dan
hampir saja kakinya terkilir ketika ia mempersilakanku
untuk menelpon selama yang kubutuhkan. Ia menutup
pintu dan bilang bahwa jika membutuhkannya, ia berada
di sebuah kantor, setelah tiga ruang ke bawah.
Aku menelpon Sara. Aku tahu bayinya sekarang
sudah lahir, dan kemungkinan besar ia berada di rumah.
Aku bernafas lega ketika salah seorang pelayan
mengatakan ya, nyonya ada di rumah. Sara berteriak
gembira ketika mendengar suaraku. Aku segera bertanya
kepadanya apakah teleponnya disadap, dan ia
mengatakan tak tahu. Dengan suara terburu-buru, ia
menambahkan bahwa Karim sangat khawatir dan
melacakku dari Dubai sampai London, tapi tak
252
mendapatkan jejak apa-apa. Pada keluarga besar, Karim
menceritakan apa yang terjadi dan benar-benar menyesal.
Ia tak menginginkan apa pun kecuali aku dan anakanak
kembali ke rumah. Karim bilang, kami harus bicara.
Aku minta Sara menyampaikan sebuah pesan
singkat pada suamiku. Aku ingin ia tahu bahwa aku
merasa jijik padanya; ia tak akan pernah melihat kami
lagi. Lagi pula, aku sedang mengurus kewarganegaraanku
dan anak-anak di negara lain. Setelah aku merasa aman
di negara baruku, aku akan memberitahu saudarisaudariku
tentang kehidupan baruku, tapi Karim tak boleh
tahu di mana kami berada. Untuk membuat lebih
khawatir, kuminta Sara untuk mengatakan pada Karim
bahwa Abdullah, putranya, tak ingin lagi berhubungan
dengan ayahnya.
Dengan cara itu, aku memberi pelajaran pada
Karim. Aku gembira, mengetahui Sara melahirkan anak
laki-laki dan keluargaku yang lain berada dalam keadaan
sehat. Sara bilang bahwa ayah dan Faruq sangat marah;
keduanya menyuruhku kembali ke Riyadh dan menuruti
apa yang diinginkan Karim, karena istri berkewajiban
tunduk pada suami. Aku tak mengharapkan lagi sesuatu
dari kedua orang itu.
Sara mencoba melunakkanku dan berkata bukankah
lebih baik tinggal bersama madu daripada menjalani hidup
di tempat pengasingan. Aku bertanya padanya apakah ia
akan menerima hidup seperti itu dengan Asad.
Ia diam tak menjawab.
Selesai menelpon, aku memasukkan kembali uangku
ke dalam tas dan keluar dari bank tanpa pemberitahuan
lebih lanjut dari sang menejer. Aku merasa menyesal
telah melakukan tipu daya, namun aku tahu, jika
menelpon dari telepon bayaran, aku bisa membahayakan
253
diriku, karena operator mungkin akan segera
memberitahukan negara penelpon pada mesin perekam
tersembunyi, yang terhubung ke Karim.
Ketika merenungkan kata-kata Sara, wajahku
tersenyum lebar. Rencanaku berhasil. Namun aku pikir
lebih baik membiarkan Karim merasakan penderitaan
yang dalam. Ia perlu beberapa waktu untuk tahu bahwa
aku tak akan pernah menerima keberadaan istri yang
banyak, tak peduli harga yang harus kubayarkan.
Sebenarnya, anak-anak tak tahu apa-apa tentang
drama kehidupan kami. Secara meyakinkan, aku ceritakan
bisnis ayah mereka yang harus pergi ke Timur selama
beberapa bulan. Karena itu, daripada tinggal di Riyadh
dan menderita kebosanan, ayah menyarankan kita untuk
menikmati waktu yang menyenangkan di pinggir kota
Perancis. Abdullah heran mengapa ia tak pernah
menerima telepon dari ayahnya. Untuk mengatasi ini aku
buat dia sibuk dengan pelajaran dan aktifitas sosial.
Pikiran anak muda lebih cepat beradaptasi dari yang kita
bayangkan. Kedua putri kami masih terlalu kecil untuk
memikirkan keadaan yang menakutkan.
Mereka menghabiskan hari dengan berjalan-jalan.
Yang terasa hilang adalah ketidakhadiran ayah mereka.
Aku melakukan yang terbaik untuk menggantinya.
Aku menghibur diriku dengan memikirkan alternatif
alternatif.
Aku tak bisa menerima bila anak-anak harus hidup
dengan orangtua mereka yang kacau balau terus
menerus. Hidup tanpa ibu tidak lazim. Jika Karim menikah
lagi, sangat mungkin aku akan membunuhnya. Dan aku
tak mungkin mengasuh anak-anakku tanpa kepala, karena
sudah pasti kepalaku akan dipisahkan dari tubuhku
setelah aku membunuh ayah mereka! untuk sesaat aku
254
memikirkan mata pisau tajam pedang algojo dan ngeri
jika suatu hari akan merasakan dinginnya pedang itu. Aku
tahu aku beruntung berasal dari keluarga kerajaan,
karena aku, seperti Faruq beberapa tahun yang lalu,
dengan mudah bisa melewati situasi hukum dan etika
yang sulit tanpa campur tangan para penjaga agama.
Kalau aku bukan keluarga kerajaan, aku akan mendapat
lemparan batu yang mengakhiri hidupku akibat tindakan
seperti yang kulakukan ini. Kami keluarga kerajaan
menjaga dan menyimpan skandal di dalam dindingdinding
istana kami; tak satupun orang di luar keluarga
yang akan tahu tentang pelarianku. Hanya Karim yang
bisa menyebabkan kematianku, dan tak peduli apa pun
tindakanku, aku tahu dengan pasti bahwa suamiku tidak
memiliki nyali untuk menumpahkan darahku.
Aku menelpon Sara sekali sebulan. Selama jauh dari
keluarga dan negeraku, hari-hariku terasa gelisah. Tetapi
ada keuntungan yang didapat: ketetapan hati dan
kesabaranku akan membatalkan rencana Karim untuk
mengacaukan kehidupan kami dengan beristri lagi.
Setelah lima bulan hidup di pengasingan, aku setuju
berbicara dengan Karim melalui telepon. Aku terbang ke
London untuk menelpon. Dari pembicaraan itu aku yakin
bahwa Karim sangat sedih, sangat ingin sekali bertemu
denganku dan anak-anak. Ia sekarang akan memasuki
perangkapku yang kedua.
Kami merencanakan pertemuan di Venice di akhir
pekan depan. Suamiku benar-benar kaget melihatku
ditemani empat pengawal Jerman yang kekar. Kukatakan
pada Karim, aku tak lagi memercayai kata-katanya; ia
mungkin saja menyewa penjahat yang kejam untuk
menculikku dan membawaku kembali ke Riyadh untuk
menghadapi cara tak adil sistim hukum di negara kami
terhadap istri yang tak patuh! Wajahnya memerah. Ia
255
bersumpah wajahnya merah karena malu. Tapi
menurutku, ia gusar karena tak mampu mengendalikan
istrinya.
Kebuntuan kami berakhir dengan kesepakatan. Aku
hanya akan kembali ke Riyadh jika Karim menandatangani
dokumen hukum yang menyebutkan bahwa sepanjang ia
dan aku terikat pernikahan, ia tak akan menikah lagi. Jika
ia melanggar janji, aku akan diceraikan, dan mendapatkan
hak pengasuhan anak dan separuh kekayaannya. Tambah
lagi, di bawah kendaliku, aku berhak menyimpan uang
yang kuambil dari rekening putraku di Swiss. Karim harus
mengganti dana milik Abdullah. Di samping itu, ia akan
mendepositokan satu juta dollar atas nama masingmasing
putri kami di rekening bank Swiss. Aku akan
menyimpan sendiri pasporku dengan surat-surat yang
selalu di perbaharui sehingga aku bisa bepergian tanpa
larangan.
Kukatakan pada Karim bahwa setelah ia
menandatangani kertas-kertas penting itu, aku akan tetap
di Eropa dengan anak-anak sebulan lagi. Aku telah
memperingatkannya dengan kebulatan tekadku; mungkin
saja hasratnya padaku akan lenyap setelah ia
pertimbangkan. Aku tak tertarik untuk mengulangi lagi
nyanyian yang sama. Karim mengerinyit atas kata-kataku,
yang kusampaikan dengan keras dan jarang didengarnya.
Aku menemani Karim ke bandara. Ia jelas tidak
senang. Tapi aku sendiri tak begitu puas, tak seperti yang
sebelumnya kubayangkan. Hal ini dikarenakan permainan
terbesar dalam kehidupanku telah menghasilkan
kemenangan yang memilukan. Aku merasa tak begitu
gembira memaksa seorang laki-laki melakukan apa yang
benar.
Satu bulan kemudian aku menelpon Karim untuk
mendengar keputusannya. Ia mengaku bahwa aku adalah
256
kekuatannya, hidupnya. Ia ingin keluarganya kembali,
dengan semuanya seperti dulu. Terus-terang kukatakan
padanya bahwa ia jelas saja tidak bisa berharap
memutuskan cinta dengan pisau dingin ketidakacuhan dan
kemudian menginginkan perkawinan tanpa cacat.
Kita adalah pasangan paling beruntung yang
memiliki cinta, keluarga dan kekayaan tak terbatas. Ia
yang merusak semua itu, bukan aku.
Aku kembali ke Riyadh. Suamiku menunggu, dengan
bibir bergetar dan senyum ragu-ragu. Abdullah dan kedua
putriku berlari senang melihat ayah mereka. Melihat
kebahagiaan anak-anak, kegembiraanku pun pulih
perlahan-lahan.
Aku merasa menjadi orang asing di rumahku, tanpa
gairah dan tidak bahagia. Jika melihat ke belakang
setahun yang lalu, terlalu banyak yang terjadi pada diriku.
Aku membutuhkan tujuan yang nyata, sebuah tantangan.
Aku memutuskan, aku akan kembali ke sekolah; sekarang
sudah ada universitas untuk perempuan di negaraku. Aku
akan mencari kehidupan normal dan meninggalkan
rutinitas kosong putri-putri kerajaan.
Sedangkan terhadap Karim, aku hanya bisa
menunggu waktu untuk menghapus kenangan buruk
perilakunya. Aku telah melewati sebuah transisi dalam
perjuangan mempertahankan perkawinanku dari
kehadiran perempuan lain. Karim telah menjadi figur
utama dalam hidupku sampai ia melemahkan fondasi
perkawinan kami dengan mengatakan akan menikahi
perempuan lain. Bagian penting dari cinta kami sudah
rusak. Sekarang ia hanya menjadi ayah dari anak-anakku,
dan sedikit lebih dari itu.
Aku dan Karim mulai membangun kembali rumah
tangga dan memberikan ketentraman pada anak-anak
kami, karena kami sangat berharga bagi mereka. Ia
257
mengatakan benar-benar merasa kehilangan cinta kami.
Ia berani menebus kesalahannya di mataku. Ia berkata,
jika aku tetap tak dapat memaafkan tingkah lakunya
dulu, kita semua dan anak-anak mungkin akan kehilangan
kegembiraan di masa-masa selanjutnya. Aku hanya
berkata sedikit tapi aku tahu kalau yang dikatakannya itu
benar.
Trauma perang pribadi sudah berlalu, namun rasa
damai jauh dari manis. Aku sering mengenang luka
emosional yang kudapat dalam hidupku; dan sedihnya,
semua luka itu ditimbulkan oleh laki-laki. Akibatnya, aku
tak bisa menjadi orang yang sangat menghargai lawan
jenisku itu.
258
20
Tiba-tiba, Agustus 1990.
Sebuah pesta makan malam sedang berlangsung di
rumah kami di Jeddah ketika kami mendengar berita
mengejutkan bahwa dua tetangga kami terperangkap
dalam perjuangan melawan kematian saat melintasi
perbatasan negara kecil, Kuwait. Berita itu diteriakkan
oleh putra kami, Abdullah, yang sedang mendengarkan
BBC melalui radionya. Aku dan Karim sedang menjamu
dua puluh tamu dari lingkaran eksklusif. Setelah tenang
beberapa saat, bunyi riuh yang sukar dipercaya bergema
di seluruh ruangan.
Beberapa orang Saudi, termasuk angota keluarga
kerajaan yang terlibat dalam negosiasi antara Kuwait dan
Irak, benar-benar percaya bahwa Saddam Hussein akan
menginvasi Kuwait. Karim hadir pada konferensi yang
berakhir dengan kebuntuan pada hari itu, 1 Agustus 1990,
259
di Jeddah. Putra Mahkota Kuwait, Sheikh Saud Al Abdullah
Al Salem Al Sabah, baru saja kembali ke Kuwait dengan
harapan perang dapat dihindari.
Ketika putra kami berteriak bahwa pasukan Irak
sudah dahulu masuk ke kota Kuwait, terbuktilah adanya
serangan itu. Aku ingin tahu apakah keluarga besar Al
Sabah bisa menyelamatkan diri. Sebagai seorang ibu,
pikiranku tertuju pada anak-anak yang tak berdosa.
Aku lihat wajah Karim di ruangan yang penuh sesak.
Di balik wajahnya yang tenang, ia sangat marah.
Irak telah melanggar janji mereka; akibatnya, para
pemimpin pemerintahan kami harus memainkan peran
untuk meminimalkan bahaya. Mata coklatnya berkilat. Aku
tahu bahwa ia, bersama-sama dengan keluarga Al Saud
yang hadir, akan segera pergi memenuhi panggilan
tergesa-gesa konferensi keluarga.
Aku sering mendengar Karim berbicara tentang
kekejaman rezim Baath di Irak. Ia mengatakan berulang
kali bahwa bangsa Irak pada dasarnya agresif dan
cenderung melakukan kekerasan dalam kehidupan pribadi
mereka. Ia pikir hal itu bisa menjelaskan persetujuan
tanpa protes rakyat Irak terhadap sebuah negara polisi
yang brutal.
Aku sendiri tak tahu banyak tentang politik di
wilayah itu, karena berita-berita di Saudi disensor dengan
sangat ketat, dan para lelaki tidak banyak
mengungkapkan aktifitas politik pada para istri mereka.
Namun pendapat Karim dibenarkan oleh sebuah cerita
yang aku dengar dari orang Irak. Beberapa tahun yang
lalu, ketika sedang makan malam di luar di kota London,
aku, Karim, Asad, dan Sara mendengar dengan kaget
seorang kenalan berkebangsaan Irak membual bahwa ia
telah membunuh ayahnya karena bercekcok soal uang.
260
Si anak itu mengirimi ayahnya penghasilan yang
didapatnya dari berinvestasi di Paris. Ayahnya yang duda
terpikat dengan seorang perempuan desa dan
menghabiskan uang kiriman dari anaknya untuk membeli
hadiah mahal bagi istri barunya itu. Ketika kembali ke Irak
untuk berkunjung, si anak tahu bahwa uangnya telah
dihabiskan. Ia tahu apa yang harus ia lakukan, yaitu
menembak mati ayahnya.
Dengan teriakan keras, Karim protes terhadap
tindakan yang tak masuk akal itu. Orang Irak itu terkejut
melihat suamiku yang bingung dan tidak percaya, dan
merespon: 'Ayahku telah menghabiskan uangku! Uang itu
milikku!' Dalam pandangan laki-laki itu, ia memiliki alasan
kuat untuk membunuh ayahnya.
Karim tak bisa membayangkan tindakan orang Irak
itu dan merasa jijik sehingga, tidak seperti perilakunya
yang biasanya lembut, ia melompat ke arah lelaki itu dan
menyuruhnya meninggalkan meja kami. Orang Irak itu
pergi dengan terburu-buru. Karim bergumam bahwa
tindakan seperti itu sudah biasa di Irak, namun akalnya
tak bisa memahami bagaimana masyarakat Irak
membiarkan seorang anak membunuh ayahnya.
Karim, seperti sebagian besar laki-laki Saudi, sangat
memuja dan menghormati ayahnya. Tak pernah
terpikirkan olehnya untuk meninggikan suaranya atau
bahkan membelakangi ayahnya. Dalam banyak
kesempatan, aku lihat Karim meninggalkan ruangan
dengan berjalan mundur.
Seperti kebanyakan orang Arab, maaf harus kuakui,
aku adalah perokok berat, namun aku tak pernah
diizinkan merokok di depan ayah Karim.
Sebagai bagian dari sebuah monarki yang
ketinggalan zaman, Karim menaruh banyak perhatian
terhadap gerakan-gerakan di Timur Tengah yang berhasil
261
mengusir keluarga kerajaan dari singgasana. Dalam
sejarah Arab diungkapkan bagaimana para Raja dibuang
dengan kasar, dan banyak dari mereka yang mati dengan
lubang peluru di tubuh mereka. Sebagai salah satu
anggota keluarga kerajaan, Karim merasa takut jika
kemungkinan tersebut terjadi di negeri kami.
Tambah lagi, seperti kebanyakan orang Arab, Karim
merasa sangat malu dengan tontonan seorang Muslim
berperang melawan Muslim lainnya. Karena sebagian
besar dari kami orang Saudi telah meletakkan senjata
sejak wilayah kami diubah dari negeri para suku menjadi
sebuah kerajaan yang bersatu. Membiarkan darah
mengalir bukanlah cara yang dipilih para lelaki kami untuk
melawan musuh; membeli kekuasaan dianggap cara
menang yang lebih beradab.
Namun, sekarang, hidup kami dihadapkan dengan
drama perang yang sesungguhnya. Ketika para lelaki
dengan tergesa-gesa turut campur dalam pengambilan
keputusan diplomasi yang penting, kami para perempuan
menyuruh Abdullah membawa radionya ke ruang duduk.
Beritanya hanya sepotong-sepotong, tapi bergantiganti
dari yang buruk ke yang semakin buruk bagi bangsa
Kuwait yang malang. Sebelum kami lelah, kami
mengetahui bahwa Kuwait sudah diduduki, negara kami
sudah diserbu oleh ribuan pengungsi. Kami merasa diri
kami jauh dari bahaya dan tak memikirkan keselamatan
pribadi kami atau bahaya untuk negara kami.
Minggu berikutnya keyakinan terhadap pengamatan
kami mulai goyah. Ketika tentara Saddam ditarik ke
perbatasan negara kami, berkembang rumor bahwa
Saddam akan menelan dua tetangganya dalam sekali
santapan.
Orang-orang Saudi di wilayah timur mengungsi
bersama-sama dengan orang-orang Kuwait. Kami
262
menerima telepon dari anggota-anggota keluarga yang
gelisah, yang menyampaikan berita bahwa Riyadh sudah
dipenuhi ribuan orang yang panik. Banyak orang Saudi
segera merasa bahwa Riyadh tidak aman; penerbangan
dan jalan-jalan menuju Jeddah macet. Kekacauan
meledak di kerajaan kami yang tenang.
Aku dan Sara gemetar mendengar bahwa
perempuan-perempuan Kuwait, yang diizinkan
mengendarai dan tidak memakai cadar, juga ikut
memenuhi jalan raya dan jalan kecil di ibu kota kami.
Tak seorang perempuan Barat pun dapat
membayangkan perasaan kami yang bercampur aduk.
Kami sedang menerjang sebuah badai dan, ketika kami
merasa gembira campur takjub, saat itu juga kami merasa
cemburu bahwa saudari-saudari kami sesama Arab boleh
mengendarai mobil dan menampakkan wajah mereka di
negeri kami!
Apakah pokok-pokok kehidupan kami, cadar dan
adat Saudi, sekarang dianggap tak lebih dari sebuah
kekacauan, yang mudah dibuang di tengah panasnya
permusuhan? Hidup tampak mudah bagi perempuan
perempuan Kuwait, sama sekali bertolak belakang dengan
beban yang harus kami tanggung menghadapi kekuasaan
lelaki. Kepedihan karena cemburu mengalir di urat nadi
kami. Meskipun kami bersimpati pada perempuan
perempuan yang kehilangan negara ini, rumah dan orangorang
yang mereka cintai, kami jelas merasa sebal pada
orang-orang yang menyiarkan situasi puritan kami yang
tak masuk akal. Betapa kami sangat menginginkan hakhak
seperti yang telah mereka dapatkan dengan begitu
mudah.
Di bulan Agustus yang muram itu, aku mendapat
konfirmasi dari Karim soal rumor terbaru bahwa Raja kami
setuju tentara asing masuk ke negara kami. Aku
263
membayangkan bahwa hidup kami akan berubah.
Dengan kedatangan tentara Amerika, ada harapan
bagi impian paling ambisius para tokoh feminis di Saudi.
Tak satupun lelaki Saudi yang pernah
membayangkan melihat perempuan berpakaian militer
dan menjaga benteng pertahanan terakhir kekuasaan lakilaki,
Arab Saudi. Itu tidak mungkin! Para ulama terkejut
sekali dan berbicara keras tentang datangnya bahaya di
negeri kami.
Gangguan terhadap kehidupan kami tidak pernah
bisa diukur. Tak ada gempa bumi yang bisa menggoncang
kami lebih dari ini.
Sementara aku senang dengan perubahan ini, dan
yakin dengan manfaat yang ditimbulkannya, banyak
perempuan Saudi yang marah karena jijik. Mereka adalah
orang-orang yang kuanggap bodoh, yang resah terhadap
kemungkinan perempuan asing ini mencuri suami mereka.
Aku pikir kegelisahan itu wajar, karena sebagian besar
perempuan Saudi merasa ragu bercampur takut ketika
suami mereka pergi ke luar negeri, sedikit dari mereka
yang percaya bahwa suami mereka akan tetap setia di
tengah-tengah godaan perempuan-perempuan Barat yang
pirang. Banyak dari temanku menentramkan hati mereka
dengan pikiran bahwa hanya seorang pelacur atau
perempun aneh yang mempromosikan dirinya, yang akan
mempertimbangkan hidup bersama dengan laki-laki asing,
sesuatu yang merupakan sebuah kemunduran moral. Dari
bisik-bisiknya, perempuan-perempuan Saudi mengatakan
pernah membaca berita bahwa perempuan-perempuan
Amerika ini dizinkan masuk tentara semata-mata untuk
melayani laki-laki dan memenuhi kebutuhan seksual
mereka.
Perasaanku berkecamuk menyikapi perempuanperempuan
super ini yang datang dan pergi sesuai
264
kemauan mereka di negara yang bukan milik mereka.
Kami tidak tahu banyak tentang tentara perempuan
Amerika, karena negara kami menyensor semua berita
tentang para perempuan yang menentukan nasib mereka
sendiri agar tak berpengaruh terhadap warga negara Arab
Saudi. Bila sesekali kami melakukan perjalanan ke luar
negeri, kami hanya menuju pusat-pusat perbelanjaan,
bukan ke pangkalan militer. Ketika Asad membawakan
Sara kopian majalah dan surat kabar Amerika dan Eropa
yang tak disensor, kami heran melihat tentara perempuan
sungguh menarik. Banyak dari mereka adalah seorang
ibu. Pemahaman kami tidak mampu untuk
membayangkan kebebasan seperti itu. Keinginan kami
sangat sederhana: melepaskan penutup wajah,
mengendarai mobil dan bekerja. Negeri kami sekarang
menjadi tempat yang dipenuhi oleh orang-orang berjenis
kelamin sama dengan kami yang dipersiapkan dengan
baik untuk menghadapi laki-laki dalam pertempuran.
Perasaan kami, perempuan Arab terombang ambing.
Pada satu saat kami membenci semua perempuan
asing, orang Amerika dan Kuwait, yang ada di negeri
kami.
Namun pada saat yang sama, perempuan-perempuan
Kuwait menghangatkan hati kami dengan pertunjukkan
mereka menentang tradisi kuno berabad-abad supremasi
laki-laki. Meskipun masih konservatif, mereka tidak
mengalah pada adat masyarakat yang keranjingan dengan
dominasi laki-laki. Rasa cemburu datang dan pergi ketika
kami menyadari bahwa bagaimanapun juga mereka
mengangkat status sebagai perempuan Muslim dalam
setiap sikap mereka, sementara kami perempuan Saudi
tak berbuat banyak untuk memuliakan kehidupan kami
kecuali dengan mengeluh. Di mana letak kesalahan kami?
Bagaimana mereka berjuang agar bisa melepas cadar
265
mereka dan memperoleh kebebasan mengendarai mobil
dalam waktu yang bersamaan?
Kami merasakan sakit cemburu namun juga kegembiraan
luar biasa. Bingung dengan semua yang terjadi
di sekeliling kami, kami, para perempuan bertemu setiap
hari untuk membahas perubahan sikap dan kesadaran
universal tiba-tiba berkenaan dengan malapetaka yang
menimpa perempuan Saudi. Di masa dulu, sangat sedikit
perempuan yang mau mengungkapkan keinginan mereka
tentang pembaharuan Islam di Arab Saudi, karena
kemungkinan berhasilnya begitu kecil dan hukuman
menantang status quo terlalu berat.
Bagaimanapun, negara kami adalah rumah Islam;
kami orang Saudi adalah 'penjaga agama Islam.' Untuk
menutupi rasa malu atas penindasan yang dipaksakan,
kami katakan dengan bangga warisan kami yang unik
pada saudari-saudari kami Kuwait: kami perempuan
perempuan Saudi adalah penjunjung tinggi simbol agama
Islam di seluruh dunia. Tetapi, tiba-tiba, perempuan kelas
menengah Saudi melemparkan belenggu yang mengekang
mereka. Mereka pun menghadapi para fundamentalis dan
berteriak pada dunia untuk membebaskan mereka
sebagaimana dunia telah membebaskan perempuan
perempuan Kuwait!
Aku kaget ketika Sara terburu-buru masuk ke dalam
istana sambil berteriak. Aku sedang memikirkan bahan
kimia yang memenuhi udara dan dihirup oleh anakanakku!
Apakah pesawat musuh yang mengangkut born
kimia telah luput dari pengawasan pasukan yang menjaga
negeri kami? Aku berdiri diam, menahan nafas, belum
memutuskan akan pergi kemana dan apa yang akan
kulakukan. Kemungkinan besar aku akan menggeliat di
lantai, memikirkan gagasan terakhirku. Aku memaki
266
diriku! Aku seharusnya mengikuti nasehat Karim dan
membawa anak-anak ke London, jauh dari kemungkinan
mati perlahan yang menyakitkan.
Kata-kata Sara akhirnya menghapus ketakutanku,
dan berita yang dikatakannya berdering seperti perayaan
di telingaku. Asad baru saja menelfonnya; Saudi, ya
perempuan Saudi benar-benar mengendarai mobil dan
turun ke jalan-jalan di Riyadh.
Aku berteriak senang; Aku dan Sara berpelukan dan
menari-nari. Putri bungsuku mulai terisak-isak takut
ketika ia masuk ke dalam ruangan dan melihat ibu serta
bibinya berteriak dan bergulingan di lantai. Aku
menenangkan ketakutannya dengan memeluknya di
pangkuanku dan meyakinkan dia bahwa apa yang kami
lakukan hanyalah ungkapan dari perasaan gembira; doaku
sudah terjawab. Kehadiran orang Amerika telah
mengubah kehidupan kami menjadi menakjubkan!
Karim menerobos masuk dengan tatapan mata
suram. Ia ingin tahu apa yang terjadi; ia bisa mendengar
teriakan kami dari taman.
Apakah ia tidak tahu? Para perempuan telah
menghancurkan rintangan pertama, mereka menuntut hak
mereka untuk mengendarai mobil! Respon Karim
menenangkan reaksi kami. Aku tahu opininya tentang
masalah ini; ia akan mengatakan, dalam agama tak ada
larangan tentang hal ini. Seperti banyak laki-laki Saudi, ia
menganggap tidak diizinkannya perempuan untuk mengendarai
merupakan sesuatu yang absurd.
Dengan rasa lelah, sekarang suamiku
mengemukakan hal yang tak masuk akal. 'Ini benar-benar
jenis tindakan yang kami tak ingin dilakukan perempuan!
Kita telah bertengkar sengit dengan orang-orang fanatik
agar ada kelonggaran! Ketakutan terbesar mereka adalah
kelonggaran yang diberikan hanya akan membuat
267
perempuan maju terus menuntut hak. Mana yang lebih
penting bagimu, Sultana,' teriak Karim, 'apakah memiliki
tentara untuk melindungi hidup kita dari ancaman orang
Irak atau memilih mengendarai mobil saat ini?'
Aku sangat marah pada Karim. Beberapa kali ia protes
menentang adat bodoh yang merantai perempuan
Saudi di rumah mereka, dan sekarang ketakutannya pada
orang-orang fanatik memunculkan jiwa pengecutnya ke
permukaan. Betapa aku ingin sekali menikah dengan
seorang ksatria, seorang laki-laki dengan nyala api
kebajikan memandu hidupnya.
Dengan marah, aku menjawab bahwa kami
perempuan tidak bisa 'mencuri-curi keadaan'. Kami harus
mengambil kesempatan sekecil apa pun yang ada di
hadapan. Sekaranglah saatnya bagi kami, dan Karim
harus berpihak pada kami. Tentu saja, singgasana tak
akan jatuh hanya karena kami perempuan mengendarai
mobil di jalan-jalan di kota kami!
Kali ini suamiku marah pada semua perempuan dan
mengatakan padaku dengan suara keras bahwa insiden ini
akan menunda hak-hak perempuan selama berpuluhpuluh
tahun. Ia menyatakan, kegembiraan kami akan
berubah menjadi duka cita ketika kami menyaksikan
hukuman yang akan dijatuhkan pada orang-orang yang
begitu bodoh. Saat yang tepat akan datang bagi
perempuan untuk mengendarai, ia mengingatkan, namun
ini bukanlah saatnya untuk drama seperti itu. Katakatanya
mengambang di udara ketika ia pergi. Seorang
laki-laki telah bicara!
Karim telah mencuri kegembiraan kami yang baru
sesaat. Aku menggeram seperti kucing di belakangnya,
dan bibir Sara bergetar ketika ia menarik kembali
senyumnya. Ia menolak kata-kata Karim dengan jijik. Ia
mengingatkanku bahwa para laki-laki di keluarga kita
268
berbicara simpati terhadap hak-hak perempuan, tapi
kenyataannya mereka tidak terlalu jauh berbeda dengan
para ekstrimis. Semua laki-laki seperti beban yang berat
di kepala perempuan. Padahal kami ingin beberapa beban
berat itu diangkat. Suami dan ayah kami adalah keluarga
kerajaan yang memerintah negeri ini; jika mereka tidak
bisa membantu kami, siapa yang lagi?
'Orang Amerika!' Aku berkata sambil tersenyum.
'orang Amerika!'
Kata-kata Karim terbukti benar. Empat puluh tujuh
orang perempuan pemberani yang berdemonstarasi
menentang larangan informal mengendarai menjadi
korban kambing hitam para mutawa (Polisi Syariat).
Mereka perempuan dari kelas menengah, para pengajar
perempuan lain atau para pelajar pemikir dan para
pelaku. Akibat dari keberanian mereka, hidup mereka
hancur oleh tindakan yang mereka lakukan; paspor
diambil, kehilangan pekerjaan dan keluarga mereka
diusik.
Ketika sedang berbelanja di mall lokal, Aku dan Sara
mendengar pelajar-pelajar sekolah agama yang masih
muda sedang mengajak para laki-laki Saudi untuk
menentang perempuan-perempuan tersebut dengan
mengatakan mereka adalah pemimpin kejahatan dan
menjalani hidup sebagai pelacur; mereka telah dicela di
masjid dengan celaan seperti itu oleh para laki-laki yang
mempunyai akal untuk mengetahui!
Aku dan kakakku berdiri di jendela toko untuk
mendengar anak muda itu, yang dengan keras
menyatakan bahwa godaan yang datang dari Barat akan
menyebabkan kehormatan semua orang Saudi hancur!
Aku ingin menemui para perempuan itu, untuk
bergabung dalam kebesaran mereka. Ketika aku
269
kemukakan ide itu pada Karim, reaksinya menutup
kemungkinan itu. Ia mengancam untuk mengurungku di
rumah jika aku mencoba melakukan pemberontakan
seperti itu. Pada saat itu aku benci suamiku, karena aku
tahu ia dapat melakukan ancamannya. Ia tiba-tiba sangat
cemas pada negara, secemas ia pada malapetaka yang
dapat ditimbulkan oleh kami perempuan terhadap
keluarga kerajaan.
Dalam beberapa hari aku membangun keberanianku
dan mencoba menemui perempuan-perempuan pemberani
itu. Aku kembali ke mall. Ketika aku lihat sekelompok lakilaki
di sebuah bundaran, aku katakan pada sopir Filipinaku
untuk pergi ke mereka dan mengatakan ia adalah seorang
Muslim (ada beberapa Muslim Filipina di Saudi Arab),
kemudian meminta kertas dan nomor telepon 'perempuan
yang berdosa (fallen) itu. Ia mengatakan ingin menelepon
ayah atau suami mereka agar mereka memprotes tingkah
laku istri atau anak mereka.
Ia kembali dengan kertas di tangan; aku memperingatkannya
agar tak memberitahu Karim.
Untungnya, tidak seperti pelayan-pelayan Arab,
orang orang Filipina cendrung menghindari konflik
keluarga kami dan tidak memberitahukan kebebasan kecil
yang kami rasakan kepada suami kami.
Kertas itu berisi daftar tiga puluh nama dan nomor
telepon. Tanganku gemetar ketika aku memencet angka
pertama. Hanya tiga panggilan yang dijawab setelah
menelpon berminggu-minggu. Tak peduli apa yang aku
katakan, mereka menjawab bahwa aku pasti menekan
nomor yang salah. Serangan yang diterima begitu bertubitubi
sehingga keluarga-keluarga itu memilih menolak atau
tak menjawab telepon.
Dalam perjalanannya pergi ke luar negeri, Faruq
mampir berkunjung. Ia dan keluarganya, empat istri dan
270
sembilan anak, akan pergi ke Paris untuk beberapa
minggu. Abangku itu mengatakan ia ingin berjuang
melawan orang-orang Irak. Namun hari-harinya sudah
penuh dengan tanggung jawab bisnis yang benar-benar
lebih penting bagi negara kami daripada orang lain yang
berseragam (pasukan sekutu). Ia, Faruq, harus
melakukan tugasnya dan pergi meninggalkan Arab Saudi.
Aku tahu abangku pergi untuk menghindari perang
dengan aman. Aku tak bergairah hari itu untuk
menantang sikap pengecutnya; aku hanya tersenyum dan
mengatakan semoga perjalanannya selamat.
Topik pembicaraan tentang bolehnya perempuan
mengendarai dimulai ketika Faruq mengisyaratkan dengan
diam-diam bahwa salah satu perempuan yang memprotes
itu telah dihukum mati oleh ayahnya karena membuat
malu keluarga. Sang ayah berfikir bahwa dengan
mengeksekusi putrinya, orang-orang yang fanatik akan
meninggalkannya dan keluarga yang masih hidup akan
aman. Faruq benar-benar tersenyum; betapa aku
membenci abangku ini. Ia cocok benar dengan negeri
yang membiarkan perempuan ada di kakinya. Ia akan
berjuang sampai akhir untuk membuat perempuan tetap
pada posisi terendah, karena laki-laki seperti dia akan
sangat gentar terhadap perempuan yang kuat dan
memiliki karakter.
Ketika aku bertanya pada Karim, ia mengatakan tak
tahu tentang peristiwa itu, dan menyuruhku agar tak
memikirkannya. Itu bukan urusan kita. Ia bilang, dirinya
tak terkejut, karena keluarga ikut menderita bersama
para perempuan pengacau itu. Ia dengan puas diri
menyatakan, 'aku sudah katakan itu padamu,' ingatnya
tentang prediksinya di hari percekcokan sebelumnya. Aku
merasa Karim sudah mencurangiku dengan kata-katanya
tentang kebebasan perempuan; sebenarnya, cara
271
berfikirnya tak jauh lebih baik dari Faruq. Apakah tak ada
seorang laki-laki pun di negeriku yang ingin
membebaskan belenggu perempuan?
Rumor kematian perempuan muda tersebut tersebar
cepat di negeri kami, dan sampai hari ini, nasib
kematiannya belum bisa disangkal atau dibenarkan; nasib
seperti itu menggantung di hadapan kami, para
perempuan, sebuah ancaman terselubung pengorbanan
terakhir menunggu para perempuan pemberani.
Perang yang begitu kami takutkan datang dan pergi.
Para laki-laki tentara kami berjuang dan mati,
namun aku dengar dari Karim bahwa banyak dari mereka
yang tidak berperang dengan gagah berani. Dalam
kenyataannya, jika terungkap keadaan yang sebenarnya
tentang tentara kami, negara-negara sekutu merasa perlu
mencari taktik untuk memastikan bahwa kami orang Arab
tidak diserang. Suamiku memerah wajahnya karena malu
ketika ia mengatakan bahwa orang-orang Saudi melarikan
diri, bukannya mengejar musuh. Satu-satunya yang
membuat bangga adalah para pilot kami, yang berperang
dengan mempertahankan kehormatan.
Asad berpendapat bahwa kita tidak perlu merasa
malu tapi senang dengan kemudahan ini. Militer yang kuat
akan membahayakan para pimpinan kita; singgasana
tidak bisa bertahan dengan mesin militer yang jitu. Di
dunia Arab, militer yang hebat akan menjatuhkan
monarki; karena masyarakat ingin mengeluarkan suara
menyangkut kebijakan-kebijakan di negeri mereka.
Keluarga kami telah menyaksikan peristiwaperistiwa
seperti itu; karenanya, lebih baik kami
mempertahankan sebuah organisasi orang-orang yang tak
mau berperang namun bisa dikendalikan. Tentu saja,
keluarga kami yang berkuasa sengaja membuat tentara
Saudi ceroboh, jauh dari kemampuan maksimum.
272
Akhirnya, peristiwa perang dipakai untuk
menggagalkan keyakinan kami akan perubahan sosial
perempuan Saudi. Pertempuran yang membuat matamata
Barat di seluruh dunia melihat kekacauan di
masyarakat kami berakhir terlalu cepat. Kekuatan musuh
kami yang mulai memudar, Saddam, mencabut perhatian
pada keadaan kami yang menyedihkan dan mengalihkan
rumor janji bantuan ke kaum Kurdi yang juga berada
dalam keadaan sulit, yang merana di pegunungan
bersalju.
Di akhir perang, para lelaki di negara kami menjadi
lebih rajin beribadah, karena mereka telah diselamatkan
dari ancaman tentara yang menginvasi dan perempuan
yang merdeka.
Siapa yang bisa menjawab: ancaman mana yang lebih
menakutkan mereka? Perang atau perempuan yang
merdeka?
273
Suara azan berkumandang memenuhi udara,
membangkitkan hati setiap Muslim. Orang-orang yang
beriman dipanggil untuk melakukan Salat. 'Allah Maha
Besar, Tiada Tuhan Selain Allah dan Nabi Muhammad
Utusan Allah, Tegakkanlah Salat, Tegakkanlah Salat. Allah
Maha Besar; Tiada Tuhan Selain Allah.'
Hari menjelang malam; lingkaran kuning besar baru
saja tenggelam. Bagi Muslim yang beriman, inilah saatnya
untuk melakukan Salat Maghrib. Aku berdiri di balkon
kamar tidur dan melihat suami dan putraku meninggalkan
pekarangan istana kami, saling berpegangan tangan,
berjalan menuju masjid. Aku melihat banyak laki-laki
berkumpul, saling menyapa dengan semangat
persaudaraan.
Kenangan-kenangan masa kecilku bergejolak dalam
pikiranku, dan aku menjadi gadis kecil lagi, tidak
mendapatkan cinta ayah yang hanya dikhususkan untuk
putranya yang sangat berharga, Faruq. Hampir tiga puluh
tahun berlalu, namun sampai sekarang tak ada yang
274
berubah. Hidupku telah sampai ke lingkaran penuh.
Ayah dan Faruq, Karim dan Abdullah, kemarin,
sekarang dan esok. Kebiasaan-kebiasaan immoral diwarisi
dari ayah ke putranya. Laki-laki yang kucintai, laki-laki
yang kubenci, menyerahkan warisan memalukan dalam
perlakuan-perlakuan mereka terhadap perempuan.
Mataku mengikuti gerakan-gerakan darah daging
yang kucintai, darahku yang sangat berharga; suami dan
putraku berpegangan tangan memasuki masjid, tanpa
aku.
Aku benar-benar merasa sebagai orang yang paling
kesepian yang pernah hidup.
275
Setelah Perang Teluk 1991 berakhir, muncul keinginan
untuk mewujudkan perdamaian di wilayah yang penuh
kekacauan, Timur Tengah. Para pemimpin dunia tak hentihentinya
mengajukan usulan-usulan pada mereka yang
berkuasa untuk menghentikan kekerasan yang terus
berkecamuk.
Di samping menginginkan perdamaian, banyak para
pemerhati Timur Tengah menginginkan perubahan di
dalam tradisi-tradisi kuno yang tidak memiliki landasan
agama, namun dipakai para bapak atau suami untuk
membelenggu kaum perempuan. Apabila momentum
perdamaian berhembus dalam gerakan diplomatik
Presiden George Bush, impian yang sulit dipahami tentang
kebebasan perempuan masih merana. Para penguasa
Barat tidak terlalu tertarik untuk menegakkan panji-panji
keadilan bagi mereka yang tak memiliki prestis politik:
kaum perempuan.
Perang Teluk untuk membebaskan Kuwait juga
276
terbukti merupakan perang yang semakin tajam antara
laki-laki dan perempuan di Arab. Apabila perempuan
melihat harapan bagi perubahan sosial, laki-laki
merasakan bahaya perubahan masyarakat yang sedikit
berbeda dari dua abad yang lalu. Para suami, ayah, dan
anak laki-laki, tidak mau menentang kekuatan agama
radikal yang menekan hak-hak perempuan. Suara
kebebasan perempuan melemah akibat serangan balasan
dari para ekstremis agama, yang mempertahankan
kekuasaannya setelah pasukan asing datang ke wilayah
itu. Ancaman perselisihan yang lebih sengit telah dipakai
oleh para ekstremis agama untuk menyebarkan ketakutan
ke seluruh negeri. Menyedihkan, di tahun 1992, Sultana,
bersama dengan perempuan Saudi lain, telah dipaksa
mundur kembali ke barak masa lampau.
Sekarang, untuk kali pertamanya dalam sejarah,
mereka yang kaya dan kuat, menjadi target operasi dari
para Polisi Syariah. Mereka dirazia dan ditahan
sebagaimana warga Saudi lainnya. Para warga biasa,
bukannya prihatin dengan hilangnya kebebasan semua
warga negara, justru tertawa dan mengabaikan
pengawasan melekat terhadap kaum ningrat dan warga
kaya oleh para mutawa. Kebebasan mengendarai mobil,
melepaskan cadar, atau mengadakan perjalanan tanpa
izin suami/bapak adalah impian-impian yang hilang di
tengah-tengah perhatian yang lebih tertuju pada kekuatan
yang mengancam jiwa, yakni ancaman yang semakin
besar dari ekstrimis agama di wilayah itu. Siapa yang
tahu, kapan kesempatan lain, seperti perang, akan datang
untuk melakukan perubahan sosial bagi perempuan di
Arab?
Ketika masyarakat modern sibuk berusaha memperbaiki
keadaan hidup, para perempuan di seluruh dunia
masih menghadapi ancaman otentik berupa penyiksaan
277
atau kematian akibat kendali primitif dari laki-laki. Kelim
jubah perbudakan perempuan telah dijahit dengan benang
kuat ketetapan hati laki-laki untuk mempertahankan
kekuasaan historis mereka atas perempuan.
Di musim semi 1983, aku bertemu dengan seorang
wanita Saudi yang mengubah kehidupanku selamanya.
Anda mengenalnya dengan nama Sultana. Kami saling
tertarik, lalu bersahabat hampir seketika itu juga.
Semangat hidup dan gelora jiwanya yang
mengagumkan telah mengubah persepsiku yang tak benar
sebagai orang Barat tentang "perempuan di dalam
bungkus kain hitam," jenis manusia yang saat itu sulit
kupahami.
Sebagai orang Amerika yang tinggal di sekitar Saudi
sejak 1978, saya telah bertemu dan bergaul dengan
banyak perempuan di sana. Tetapi di hadapanku, mereka
semua menggambarkan topeng-topeng kekalahan yang
ternoda. Dengan hidup di kota-kota sebagai pedagang
yang kaya, atau Keluarga Kerajaan, terlalu nyaman bagi
mereka untuk mengubah keseimbangan kehidupan
mereka yang rumit. Perempuan desa badui menanggung
kehidupan yang tak terperikan, namun mereka merasa
memiliki martabat yang luar biasa. Sungguh, saat
bertemu denganku, mereka mengeluh, bersimpati pada
seseorang seperti diriku yang "terpaksa" harus
berpetualang sendirian di dunia yang kejam, tanpa
perlindungan atau bimbingan laki-laki. "Haram ," kata
mereka, sambil menepuk-nepuk punggungku,
mengungkapkan keputusasaan mereka melihat orang
seperti aku.
Di balik lapisan kepuasan atau simpati,
tersembunyilah keadaan mereka yang sebenarnya.
Sultana telah memperlihatkan padaku kemarahan
278
yang hampir mendekati putus asa, yang bersembunyi
dalam pikiran banyak perempuan Saudi di balik cadar
mereka. Dengan perspektif baru inilah, aku menjadi yakin
bahwa perempuan Saudi baru berbuat sedikit untuk
mempengaruhi kebudayaan mereka: yang terjadi justru
sebaliknya, kebudayaan Saudi telah membentuk mereka.
Di musim gugur 1988, Sultana memintaku, seorang
temannya, untuk menulis sejarah hidupnya. Banyak yang
telah terjadi di dalam kehidupan masa mudanya dan di
dalam kehidupan perempuan Saudi lainnya yang ia
anggap perlu diperbaiki. Tetapi aku masih berpegang pada
akal sehat. Aku ungkapkan keraguanku, apa untungnya
bagi dia melakukan usaha beresiko seperti itu. Aku juga
tergoda dengan pikiran pribadi yang lain dan dalih
pasivisme yang memang absah: aku cinta Timur Tengah;
para teman tersayangku di wilayah itu; aku tahu banyak
perempuan Saudi yang bahagia.
Keraguan dan penolakanku untuk melakukan kerja
penulisan itu tidak memiliki akhir, karena secara pribadi
aku bosan dengan kritisisme terus-menerus dari para
jurnalis Barat yang membuat pemberitaan tentang negeri
yang sekarang menjadi rumahku. Tak bisa dipungkiri,
orang-orang Muslim terisolasi karena laporan negatif
tanpa akhir dari pers dunia. Ada banyak sekali artikel dan
buku yang sangat kritis terhadap Timur Tengah, dan aku
tidak ingin bergabung beramai-ramai "menampar Arab,"
bersama-sama dengan mereka yang mencari
kesejahteraan ekonomi di tanah negeri kaya minyak itu.
Kukatakan pada Sultana, "Tidak, aku tidak ingin
mengecam." Aku justru ingin menunjukkan kebaikan,
keramahtamahan, dan kedermawanan orang Arab.
Sultana, Putri yang berjuang demi hak perempuan
(feminis), memaksa mataku melihat kebenaran yang
kasat mata. Meskipun memang benar banyak hal baik di
279
Arab Saudi, di dalam masyarakatnya tak ada perayaan
kehidupan hingga para perempuannya bebas hidup tanpa
ketakutan. Sultana menunjukkan hal yang mencolok:
"Jean, sebagai perempuan, sikapmu itu salah ternpat!"
Sultana tidak bisa menerima kekalahan: Ia terus
menjelaskan adanya kecurangan terhadap perempuan. Ia
adalah tipe perempuan yang lebih baik dari aku. Ia tidak
meingingkari risiko kehidupan atau mencari bahaya di
dalam apa yang ia cari.
Sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah hidupnya,
Sultana mengatasi semua rintangan, termasuk sikap
melawanku yang keras kepala. Setelah aku membuat
keputusan berbelit-belit, aku baru tahu, di dalam hatiku
tidak ada jalan lain. Barat Kristen dan Timur Islam
disatukan oleh sebuah ikatan yang dapat menahan
ketakutan yang kurasakan dalam gagasan menulis buku
biografi ini. Ini memang sebuah buku yang dimaksudkan
seperti itu.
Penulisan buku ini membutuhkan banyak
pengorbanan: keselamatan Sultana dan keluarganya;
ketakutan bahwa teman-temanku di Arab belum
mengetahui buku ini; tetapi, terutama, aku menghadapi
hilangnya cinta, dukungan, dan persahabatan dari
Sultana, orang yang masih menawan dan menginspirasiku
dengan semangatnya yang menyala-nyala. Sedihnya, saat
buku ini diketahui umum, kami tidak bisa lagi jalan
bebarengan. Teman terkasihku itu akan terkunci jauh
dariku di belakang gelapnya kesunyian. Harus
kutambahkan, ini adalah keputusaan saling-asih kami.
Memperlihatkan persahabatan kami secara terus
terang, akan mendatangkan malapetaka bagi banyak
orang, terutama Sultana.
Pada pertemuan kami yang terakhir di bulan Agustus
1991, kegembiraanku terhantui oleh rasa sia-sia yang
280
jahat. Sebaliknya, Sultana merasa gembira dan
menyatakan dirinya lebih baik mati daripada hidup dalam
penjajahan. Kata-katanya memberiku kekuatan untuk
menghadapi badai yang mendekat: "Hingga fakta-fakta
yang hina ini diberitahukan pada publik, tidak akan ada
yang menolong; buku ini seperti langkah awal seorang
bayi yang tidak akan pernah dapat lari tanpa usaha
pertama yang berani untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Jean, aku dan kamu yang akan mengaduk-aduk abu dan
menghidupkan api pertama. Katakan padaku, bagaimana
dunia akan datang membantu kita jika ia tidak mendengar
teriakan kita? Dalam jiwaku kurasakan; inilah permulaan
perubahan untuk kita, perempuan."
Bertahun-tahun aku tinggal di di Timur Tengah.
Selama tiga tahun, aku membaca dan membaca lagi
catatan dan buku harian Sultana. Kami mengadakan
pertemuan-pertemuan rahasia di banyak kota-kota besar
dunia. Saat aku tunjukkan draft terakhir buku ini, ia
membacanya dengan sangat gembira dan sekaligus duka.
Setelah membaca kalimat terakhir, temanku itu
mulai menangis. Dan ketika telah tenang, ia menyatakan
bahwa aku telah secara sempurna menangkap semangat
yang ia miliki, pengalaman hidupnya, seolah-olah aku
sendiri yang menjalaninya, seolah-olah aku telah
mendapatinya selama bertahun-tahun. Kemudian ia
memintaku mengisi blanko kosong hidupnya yang tidak
termuat dalam catatan hariannya. Inilah yang Sultana
inginkan supaya Anda pembaca ketahui:
Ayah Sultana masih hidup. Ia memiliki empat istri
dan empat istana di enam kota favoritnya di seluruh
dunia. Ia memiliki banyak anak dari istri-istrinya yang
masih muda. Sedihnya, hubungannya dengan Sultana
tidak melembut bersamaan dengan waktu. Ia jarang
mengunjungi anak-anak Sultana yang perempuan. Ia
281
hanya bangga dengan anak dan cucu laki-lakinya.
Faruq belum mengalami kedewasaan dan
kebiasaannya masih sama dengan seorang anak kecil
yang dimanja. Ia kejam kepada anak-anaknya yang
perempuan, meniru perlakuan ayahnya pada saudara
saudara perempuannya. Sekarang, Faruq memiliki empat
istri dan gundik yang tak terhitung jumlahnya. Akhir-akhir
ini, ia dimarahi oleh Raja karena melakukan korupsi yang
berlebihan, tetapi tak ada tindakan untuk membatasi
perilakunya.
Sara dan Asad abadi dalam kebahagiaan perkawinan
mereka. Sampai hari ini, mereka adalah orangtua dari
lima anak. Siapa tahu ramalan Huda tentang enam anak
akan benar. Hanya Sara, dari saudari-saudari Sultana,
yang tahu terbitnya buku ini.
Saudari-saudari Sultana dan keluarganya baik-baik
saja.
Omar tewas dalam kecelakaan mobil di jalan raya
Dammam. Keluarganya di Mesir ditanggung hidupnya oleh
ayah Sultana.
Ayah Randa membeli sebuah villa di selatan
Perancis, tempat Randa sekarang menghabiskan sebagian
besar waktunya. Ia belum menikah lagi setelah diceraikan
oleh ayah Sultana. Rumor di dalam keluarga menyebutkan
bahwa Randa memiliki kekasih orang Perancis, tetapi
kebenarannya masih diragukan.
Sultana tidak pernah lagi mendengar kabar Wafa; ia
membayangkan Wafa tinggal di sebuah desa dengan
banyak anak, menjalani sebuah kehidupan yang begitu
takut dengan perempuan muda berpendidikan.
Marci kembali ke Filipina dan merealisasikan cita-cita
hidupnya. Ia bekerja sebagai perawat sementara di
Riyadh. Tetapi ia pernah menulis surat pada Sultana yang
282
mengabarkan rencananya untuk bekerja di Kuwait; tak
tahan dengan pembatasan di Arab Saudi, katanya.
Sultana belum mendengar kabar dari Marci sejak itu. Ia
sangat berharap bahwa Marci tidak diperkosa atau
terbunuh dalam invasi Irak, nasib yang biasa menimpa
banyak perempuan muda yang cantik.
Huda meninggal beberapa tahun lalu. Ia
dimakamkan di padang pasir di Arabia, jauh dari tempat
asalnya, Sudan.
Yang paling menyedihkan, Samira masih terkunci di
ruang perempuan. Tahani mendengar dua tahun lalu
bahwa Samira telah menjadi gila. Para pelayan
memberitakan bahwa ia telah berteriak berhari-hari dan
mulai mengucapkan ricauan yang tak dapat dipahami
orang. Ia terkadang terdengar bersedu-sedu, dan
menghabiskan makanan dalam nampan sehari, sehingga
ia masih hidup. Keluarga bersumpah, gadis itu akan
dilepaskan jika si paman yang memenjarakannya mati,
namun sekarang orang tua itu masih baik-baik saja di usia
senjanya. Bagaimanapun, kebebasan tidak akan berguna
lagi bagi Samira.
Sultana meraih gelar master di bidang filsafat dua
tahun lalu. Meski tidak menggeluti profesi itu, ia
menyatakan bahwa pengetahuan yang ia peroleh telah
memberinya sebuah kedamaian batin dan rasa menyatu
dengan dunia. Dalam studinya, ia menemukan bahwa
banyak orang telah selamat dari ketidakadilan yang parah.
Menurutnya, kemajuan manusia bergerak lambat, tetapi
jiwa-jiwa pemberani terus mendorong maju, dan ia
bangga menjadi salah satunya.
Hubungan Karim dan Sultana masih terikat oleh adat
dan sating cinta dari anak-anak mereka. Ia menyesal,
cinta mereka tidak pernah pulih sepenuhnya setelah
peristiwa istri kedua.
283
Enam tahun lalu Sultana terkena penyakit kelamin:
setelah banyak penderitaan, Karim mengaku telah
berpartisipasi dalam petualangan seks mingguan dengan
orang asing. Beberapa pangeran lapis atas mengirim
pesawat setiap minggu untuk menjemput para pelacur di
Paris dan kemudian diterbangkan ke Arab Saudi.
Seorang germo memilih gadis-gadis yang paling
cantik dari seluruh dunia yang sedang magang di Perancis.
Setiap hari Selasa para pelacur itu naik pesawat ke
Arab; hari senin berikutnya mereka yang letih
diterbangkan keluar. Karim menceritakan tempat-tempat
khusus di kota-kota besar Arab Saudi yang menjadi
tempat bagi ratusan pelacur. Kebanyakan para pangeran
lapis atas Keluarga Kerajaan diundang untuk berpartisipasi
dan merasa bebas memilih perempuan-perempuan
pelacur itu.
Bagi para laki-laki ini, perempuan ada hanya sebagai
objek kenikmatan atau sarana melahirkan anak.
Setelah takut dengan penyakit kelamin, Karim berjanji
akan menghindari kencan mingguan. Tetapi Sultana
berkata ia tahu bahwa Karim tak kuasa menghindari
pesta-pesta seperti itu, dan terus memperturutkan dirinya
tanpa malu. Cinta mengagumkan mereka telah hilang
kecuali dalam kenangan; Sultana menyatakan, ia akan
tetap bertahan dengan suaminya dan melanjutkan
perjuangannya demi anak-anak perempuannya.
Sultana berkata bahwa bagian tersedih dari
hidupnya adalah terus menyaksikan bentuk-bentuk hitam
perlakukan terhadap dua anak perempuannya, yang
sekarang terbungkus dalam jubah dan cadar hitam.
Meski telah bertahun-tahun berjuang, adat-adat itu
masih saja melekat pada generasi baru wanita Saudi, dan
menentukan peran mereka dalam masyarakat
284
sebagaimana yang sudah-sudah.
Kehadiran pasukan Amerika selama Perang Teluk
yang memberi harapan kebebasan di mata Sultana, hanya
membuat para para mutawa semakin kuat; mereka
sekarang bangga menguasai Raja yang bertahta.
Sultana memintaku mengatakan kepada pembaca
seperti ini: semangat perlawanannya masih berkobar
sebagaimana ditunjukkan dalam seluruh halaman buku
ini. Namun pemberontakannya harus tetap dirahasiakan,
karena meski ia berani menjalani semua cobaan hidup, ia
tidak tahan jika harus kehilangan anak-anaknya. Siapa
yang tahu, hukuman yang akan diberikan kepada orang
yang berani meneriakkan kehidupan tersembunyi dari
para perempuan di negeri tempat dua kota suci Islam itu?
Takdir Sultana terbentuk di bulan Januari 1902
ketika kakeknya, Abdul Azis, berjuang dan memperoleh
kembali tanah-tanah Arab Saudi. Sebuah dinasti telah
lahir. Putri Sultana Al Saud akan tetap berada di samping
suaminya, Pangeran Karim Al Saud, di Rumah Kerajaan
bani Saud, Kerajaan Arab Saudi.
285
APENDIK A
Hukum-Hukum
di Arab Saudi
Hukum kriminal di Arab Saudi diambil secara kaku dari
ajaran Islam. Kata Islam berarti 'berserah diri pada
kehendak Allah'. Konsep yang paling penting dalam Islam
adalah Syariah, atau "jalan," yakni cara hidup total sesuai
dengan yang ditetapkan oleh Allah. Semua masyarakat
yang beragama Islam diharapkan menjalankan hidupnya
sesuai dengan nilai-nilai tradisional yang diatur oleh
Muhammad, utusan Allah, yang lahir 570 Masehi dan
wafat 632 Masehi.
Sangat sulit bagi sebagian besar orang Barat untuk
memahami kepatuhan total umat Muslim pada hukum
Alquran dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari
mereka. Alquran, bersama-sama dengan tradisi yang
dibangun oleh Muhammad, adalah hukum di Arab Saudi.
Saat tinggal di Arab Saudi, aku suatu waktu pernah
meminta pada seorang sarjana Islam, yang hidup sebagai
pengacara, untuk menggambarkan aplikasi keadilan di
Arab Saudi yang berakar dari ajaran Nabi. Penjelasannya
membantu menghilangkan kesalahpahamanku, dan aku
pikir para pembaca tertarik juga:
1. Ada empat sumber utama Syariah: Alquran, yakni
ayat-ayat yang diwahyukan oleh Allah melalui nabinya,
286
Muhammad; Sunnah atau tradisi Nabi; Ijma' atau
kesepakatan para Ulama; dan yang terakhir Qiyas,
atau sebuah metode untuk membuat ketentuan hukum
baru.
2. Raja Arab Saudi tidak bebas dari peraturan yang
ditetapkan oleh Syariah.
3. Sistim pengadilan sendiri sangat rumit. Sebuah
keputusan dapat ditinjau dengan oleh pengadilan
banding. Pengadilan ini biasanya terdiri dari tiga
anggota, dan akan menjadi lima jika hukumannya
berkenaan dengan hukuman kematian atau
pemotongan tangan. Raja adalah penengah terakhir
dalam pengadilan pembanding akhir dan berhak
memberi pengampunan.
4. Kejahatan dikelompokkan menjadi tiga bagian; Hudud,
Ta'zir, Qisas. Hudud adalah kejahatan yang dicela oleh
Allah; hukumannya diambil dari Alquran. Kejahatan
Ta'zir hukumannya diserahkan pada penguasa.
Kejahatan Qisas memberi si korban hak untuk
membalas.
KEJAHATAN HUDUD
Kejahatan Hudud termasuk mencuri, minum alkohol,
penistaan agama, persetubuhan di luar nikah dan
perzinahan.
Orang yang diketahui bersalah karena mencuri
dihukum dengan membayar denda, penjara atau potong
tangan kanan. (Tangan kiri akan dipotong jika tangan
kanan sudah dipotong.)
Orang yang diketahui bersalah karena mabuk,
menjual atau membeli minuman beralkohol, menghirup,
menyuntik obat-obatan atau mencampur obat-obatan
dihukum dengan delapan puluh cambukan.
287
Orang yang diketahui bersalah menistakan Islam
dihukum sesuai dengan keadaan. Kekerasan hukuman
bervariasi tergantung pada apakah orang itu Muslim atau
non-Muslim. Hukum cambuk adalah hukuman yang umum
bagi Muslim.
Orang yang diketahui bersalah bersetubuh di luar
nikah adalah dicambuk. Laki-laki dicambuk berdiri dan
perempuan duduk. Wajah, kepala, dan organ-organ vital
orang yang bersalah itu dilindungi. Cambukan yang
biasanya berjumlah empat puluh kali, namun jumlah ini
bisa bervariasi sesuai keadaan.
Perzinahan adalah kejahatan yang paling serius. Jika
pezina itu sudah menikah, laki-laki atau perempuannya
akan dihukum lempar batu sampai mati (rajam), potong
kepala atau tembak. Rajam adalah metode yang biasa di
gunakan untuk hukuman. Bukti dari kejahatan ini harus
ditetapkan dengan pengakuan atau dilihat oleh empat
orang saksi.
KEJAHATAN TA'ZIR
Kejahatan Ta'zir sama dengan pelanggaran hukum
ringan di Amerika. Tidak ada hukuman yang ditentukan,
namun setiap orang dinilai menurut pertimbangan
individu, sesuai dengan keseriusan kejahatan dan duka
cita yang dipertunjukkan oleh kejahatan itu.
KEJAHATAN QISAS
Jika orang yang diketahui bersalah karena kejahatan
terhadap individu atau keluarga, keluarga yang dirugikan
memiliki hak untuk balas dendam, dan hukumannya
dilaksanakan secara pribadi.
Jika terjadi pembunuhan, si keluarga korban
memiliki hak untuk membunuh si pembunuh dengan cara
288
yang sama sebagaimana orang yang mereka cintai
dibunuh, atau dengan cara apa pun yang mereka pilih.
Jika anggota keluarga tidak sengaja terbunuh
(seperti karena kecelakaan lalu lintas), keluarga
almarhum berhak meminta ganti rugi uang. Di masa lalu
unta digunakan sebagai alat pembayar ganti rugi;
sekarang diganti dengan harga yang sesuai. Ada
seperangkat kerusakan sesuai dengan berbagai macam
keadaan: pembayaran itu berkisar antara 120.000 sampai
300.000 Riyal Saudi ($45.000—$80.000). Jika perempuan
yang terbunuh, ganti ruginya separuh laki-laki.
Jika orang memotong bagian tubuh orang lain,
keluarga atau korban boleh melakukan tindakan yang
sama terhadap orang yang bersalah itu.
SIAPA YANG BOLEH MEMBERIKAN KESAKSIAN
DALAM BERITA ACARA KRIMINAL
Saksi harus berakal sehat, sudah dewasa dan
muslim.
Non-muslim tidak boleh memberikan kesaksian
dalam pengadilan kriminal. Perempuan juga tidak
dibolehkan kecuali itu untuk persoalan pribadi yang tidak
boleh dilihat laki-laki. Sebenarnya, kesaksian perempuan
tidak dihargai sebagai fakta tapi lebih hanya sekadar
anggapan.
Pengadilan boleh memutuskan apakah kesaksian itu
valid sesuai dengan keadaannya.
MENGAPA PEREMPUAN DILARANG MEMBERIKAN
KESAKSIAN DALAM BERITA ACARA KRIMINAL
Ada empat alasan yang diberikan mengapa
kesaksian perempuan tidak valid di pengadilan Saudi.
289
1. Perempuan lebih emosional dari laki-laki dan,
akibatnya, akan mendistorsi kesaksian mereka.
2. Perempuan tidak ikut berpartisipasi dalam
kehidupan publik, sehingga mereka tidak mampu
memahami apa yang mereka lihat.
3. Perempuan benar-benar didominasi oleh laki-laki,
orang yang dengan kasih Allah dikaruniai
keunggulan; oleh karena itu, perempuan akan
memberikan kesaksian sesuai dengan apa yang
dikatakan pada mereka oleh laki-laki.
4. Perempuan itu pelupa, dan kesaksian mereka tak
bisa dianggap dapat diandalkan.
290
APENDIK B
Istilah
Abaaya : jubah hitam panjang yang dipakai setelah
pakaian dalam perempuan.
Abu Dhabi : kota yang terletak di Uni Emirat Arab
Al Sa'ud : keluarga yang memerintah kerajaan Arab
Saudi.
Asir : nama tradisional untuk daerah barat daya
Arab Saudi.
Baath : gerakan politik yang dimulai di Syria dan
menyebar ke Irak. Persatuan Arab adalah
inti doktrinnya.
Bahrain : sebuah bangsa kepulauan yang
dihubungkan dengan Saudi Arabia oleh
jalan lintasan yang ditinggikan melewati
rawa-rawa.
Bedouin : suku asli Arab, masyarakat nomaden
padang pasir.
Dammam : kota di Saudi Arabia tempat minyak kali
pertama ditemukan tahun 1938.
Dar'iyah : kota tua Riyadh.
Dubai : Kota yang terletak di Uni Emirat Arab.
291
Empty Quarter: padang pasir luas yang terletak di tenggara
Arab Saudi. Nama Arabnya Rub al
Khali.
Gutra : kain tutup kepala yang dipakai laki-laki
Arab.
Haj : naik haji atau ziarah, salah satu rukun
Islam. Perjalanan ke Mekkah adalah citacita
hidup sebagian besar umat Islam.
Semua Muslim diwajibkan melakukan
perjalanan ini jika mereka telah mampu.
Halawa : upacara mencukur semua bulu tubuh.
Hijaz : nama tradisional untuk wilayah barat
Arab. Jeddah, yang terletak di Laut
Merah, adalah termasuk wilayah Hijaz.
Houmous : masakan Arab yang terbuat dari semacam
kacang panjang atau buncis, biasanya
disendok dengan sepotong roti yang
berlubang ditengahnya.
Hudud : kejahatan serius yang dicela Allah dalam
Alquran.
Ibn : berarti 'anak dari' (Khalid ibn Faisal;
Khalid anak Faisal)
Igaal : tali hitam yang dipakai melingkari kain
penutup kepala pakaian orang Arab lakilaki.
Ijma : kesepakatan pendapat ulama.
Jeddah : kota indah di Saudi Arabia yang terletak
di Laut Merah. Jeddah terkenal dengan
populasi ekspatriatnya, yang suka
berenang dan menyelam di air yang asli.
Jerusalem : kota suci ketiga Islam, yang sekarang
dikuasai Israel.
292
Alquran : kitab suci orang Islam yang berisi ayatayat
Allah yang diwahyukan pada Nabi
Muhammad.
Kurdi : kelompok etnik yang melakukan usaha
ekspansi melintasi perbatasan, 18
persennya berkebangsaan Irak, dengan
tujuan mernbentuk negara sendiri.
Kelompok ini terus berjuang untuk
mendapatkan otonomi.
Kutab : metode kelompok untuk mengajar anakanak
perempuan di Timur Tengah.
Laban : minuman seperti dadih yang menyegarkan
dan berasal dari Timur Tengah.
Madinah : kota suci kedua Islam, yang disebut 'kota
Nabi', dan di sanalah Nabi Muhammad
dimakamkan.
Makkah : kota suci Islam tempat Tuhan
menyampaikan wahyunya pada nabi
Muhammad. Kota ini adalah tujuan jutaan
umat Islam setiap tahun.
Malaz : wilayah kediaman di Riyadh yang terkenal
sebagai tempat tinggal orang-orang kaya
Saudi.
Manama : ibu kota Bahrain, sebuah negara
kepulauan yang terhubung dengan Saudi
Arabia melalui jalan lintasan yang
ditinggikan.
Mena Nouse : hotel terkenal di Kairo yang sering
ditempati turis.
Mismaak : sebuah benteng di Riyadh yang digunakan
oleh bani Rashid dalam pertempuran
tahun 1902 yang mengembalikan
kekuasaan pada bani Saud.
293
Mutawa : Polisi Syariah.
Najd : nama tradisional untuk wilayah Arabia
tengah. Riyadh terletak di lokasi ini.
penduduknya umumnya dikenal
berperilaku konservatif. Keluarga Saud
berasal dari adalah Najd.
Nasiriyah : Wilayah kediaman penduduk Riyadh yang
beranggotakan keluarga-keluarga
kerajaan dan orang-orang paling kaya
Saudi.
Qisas : kejahatan yang dilakukan terhadap
seseorang. Korban atau keluarga korban
bisa membalas si terhukum dengan
kejahatan yang sama yang telah
dilakukannya.
Qiyas : metode metode menetapkan sebuah hukum
baru.
Ramadhan : bulan puasa yang dilakukan selama
sebulan oleh Muslim di seluruh dunia. Di
bulan inilah Alquran diturunkan.
Riyadh : ibukota Arab Saudi.
Riya : mata uang Arab Saudi
Sher : hukum Allah untuk orang-orang yang
beragama Islam.
Syiah : cabang Islam yang pecah dari mayoritas
Sunni dalam hal pengganti Nabi
Muhammad.
Souq : pasar penduduk asli Arab atau bazaar.
Sunnah : tradisi umat Islam yang diamanatkan oleh
Nabi Muhammad.
Sunni : kelompok Islam mayoritas yang ortodoks.
Arab Saudi berpenduduk 95 % Sunni.
294
Sarah : bab-bab dalam Alquran. Terdapat 114
surat dalam Alquran.
Taff : desa tempat peristirahatan di pegunungan
dekat Mekkah, Arab Saudi.
Ta'zir : kejahatan pelanggaran hukum ringan.
Thobe : pakaian panjang seperti jas yang dipakai
laki-laki Saudi. Secara tradisional, thobe
terbuat dari katun putih, namun selama
bulan-bulan musim dingin laki-laki sering
memakai thobe dengan bahan yang lebih
tebal dan warna yang lebih gelap.
(Segera setelah anak laki-laki mulai bisa
berjalan, ia diberi pakaian thobe dan
penutup kepala seperti yang dikenakan
ayahnya).
Ulama : Ilmuan atau sarjana agama Islam yang
mengatur kehidupan beragama di Arab
Saudi.
Yaman : sebuah negeri yang terletak di bagian
barat daya jazirah Arab. Di masa lalu,
orang-orang Yaman banyak menyediakan
kebutuhan tenaga kerja manual untuk
Arab Saudi. Ketika pemerintah Yaman
tetap setia pada Saddam Hussein selama
Perang Teluk, hampir sebagian besar
pekerja dari wilayah ini dipaksa keluar
dari kerajaan.
295
APENDIK C
Kronologi
570 Nabi Muhammad lahir di Mekkah Arab Saudi.
610 Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah dan
mengangkatnya sebagai Rasul.
622 Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Peristiwa yang dikenal dengan Hijrah ('Hijriah') ini
merupakan saat krisis hebat misi Muhammad di
muka bumi. Kalender Islam dimulai dari saat itu
dan disebut Hijriah.
632 Nabi Muhammad wafat di Madinah.
650 Kodifikasi Al-quran.
1446 Bani Saud, nenek moyang Sultana, meninggalkan
kehidupan nomaden di padang pasir dan tinggal di
Dar'iyah (Riyadh kuno).
1744 Muhammad Al Saud membangun kerjasama
dengan Muhammad Al Wahhab, seorang guru
agama yang menganut pemahaman terhadap
Alquran secara kaku. Kombinasi kekuatan seorang
prajurit dan seorang guru menghasilkan tali sistim
yang kaku mengenai hukuman pada masyarakat.
1802-6 Putra-putra Muhammad Al Saud dan Muhammad
Al Wahhab, terinspirasi oleh ajaran Alquran,
296
menyerang dan menguasai Mekkah dan Madinah.
Mereka kejam, membunuh secara besar-besaran
semua penduduk laki-laki Taif, sebuah
perkampungan di dekat Mekkah. Dengan
kemenangan ini, sebagian besar orang Arab
bersatu di bawah satu otoritas.
1843-65 Bani Sa'ud memperluas kekuasaannya menuju
Selatan sampai Oman.
1871 Turki Utsmani mengambil kendali atas Provinsi
Hasa.
1876 Kakek Sultana, Abdul Aziz Ibnu Saud, pendiri
kerajaan, lahir.
1887 Kota Riyadh direbut oleh Bani Rashid
1891 Bani Saud melarikan diri dari Riyadh menuju Empty
Quarter (padang pasir luas yang terletak di
tenggara Arab Saudi. Nama Arabnya Rub al Khali)
1893-94 Bani Saud berjalan melintasi padang pasir
menuju Kuwait.
September 1901. Abdul Aziz, yang saat itu berumur dua
puluh lima tahun, bersama dengan tentaranya,
meninggalkan Kuwait menuju Riyadh.
Januari 1902. Abdul Aziz dan anak buahnya merebut
Riyadh. Kerajaan bani Saud baru dimulai.
1912 Ikhwan (Persaudaraan) ini didirikan berdasarkan
faham Wahabisme, yang tumbuh dengan sangat
cepat dan menjadi kunci kekuatan Abdul Aziz ibnu
Saud.
1915 Abdul Aziz ibnu Saud memasuki perjanjian dengan
pemerintah Inggris untuk menerima £5000 per
bulan guna melawan Turki.
1926 Abdul Aziz menyatakan dirinya sebagai Raja Hijaz
di Masjid Besar Makkah.
297
1932 Penyatuan dua kerajaan, Hijaz dan Najd, dengan
nama Kerajaan Arab Saudi. Kerajaan ini menjadi
negeri kedua belas terbesar di seluruh dunia.
Mei 1993. Amerika Serikat memenangkan konsesi (atas
Rusia) untuk mencari minyak di Arab Saudi.
1933 Arab Saudi berperang melawan Yaman;
perdamaian diadakan satu bulan kemudian.
15 Mei 1934. Sebagai serangan balas dendam terhadap
perang Yaman, Raja Abdul Aziz diserang di masjid
suci Makkah oleh tiga orang Yaman bersenjata
pisau. Anak tertuanya, Saud, berdiri di depan
ayahnya dan ia terluka.
20 Maret 1938. Minyak ditemukan di Dammam, Arab
Saudi.
1939 Perang di Eropa mengakibatkan produksi minyak
berhenti.
1944 Produksi minyak di kerajaan Arab Saudi meningkat
sampai 8 juta barrel pertahun.
14 Februari 1945. Presiden Rosevelt bertemu Raja Abdul
Aziz di atas USS Quincy.
17 Februari 1945. Perdana Mentri Inggris, Winston
Churchill, bertemu Raja Abdul Aziz di atas USS
Quincy.
Desember 1946. Orangtua Sultana menikah di Riyadh,
Arab Saudi.
14 Mei 1948. Radio Mekkah, stasiun radio pertama di
kerajaan Arab Saudi, mendapat tentangan sengit
dari para Ulama.
14 Mei 1948. Negara Israel dibentuk dan perang Arab-
Israel pertama dimulai.
1952 Raja Abdul Aziz melarang impor alkohol untuk non-
Muslim.
298
9 November 1953. Raja Abdul Aziz, kakek Sultana,
wafat pada usia tujuh puluh tujuh tahun. Anak
sulungnya, Saud yang berumur lima puluh satu
tahun, menggantikannya menjadi Raja. Saudara
tirinya Faisal menjadi Putra Mahkota.
1957 Osama bin Laden lahir di Arab Saudi dari ibu orang
Saudi dan ayah orang Yaman. Osama adalah anak
ke tujuh belas dari 51 anak Muhammad bin Laden,
seorang laki-laki tak berpendidikan yang dipercaya
keluarga kerajaan Saudi dalam kontrak-kontrak
pembangunan pemerintah Saudi. Meskipun latar
belakangnya sederhana, asosiasi Muhammad
dengan keluarga kerajaan membuatnya mampu
menumpuk kekayaan yang diperkirakan sampai
milyaran dolar.
Maret 1958. Karena kekacauan finansial di kerajaan,
pangeran Faisal mengambil kendali administrasi
Pemerintahan.
Desember 1959. Raja Saud memecat saudaranya dari
tugas-tugas administrasi dan mengambil kendali
Pemerintah.
1962 Perbudakan dihapus di Kerajaan Arab Saudi.
Sebagian besar budak terus tinggal dengan
keluarga yang dulu memiliki mereka.
1963 Sekolah anak perempuan pertama dibuka;
kelompok-kelompok keagamaan rusuh.
3 November 1964. Raja Saud turun tahta dan
meninggalkan kerajaan menuju Beirut.
Faisal dikukuhkan menjadi Raja, dan saudara
tirinya Khalid, menjadi Putra Mahkota.
1965 Walaupun diprotes, stasiun televisi pertama dibuka
di Riyadh.
September 1965. Pangeran Khalid ibnu Musaid,
299
keponakan Raja Faisal, terbunuh ketika ia
memimpin protes bersenjata menentang
pembukaan stasiun televisi.
1966 Perang Tujuh Hari dimulai antara Israel dan
tetangga-tetangga Arabnya. Arab Saudi ikut
mengirim pasukan.
Februari 1969 . Mantan Raja yang diberhentikan, Saud
ibnu Abdul Aziz, wafat di Atena setelah
menghabiskan lebih dari 15 juta dollar setiap tahun
di masa pengasingannya.
6 Oktober 1973. Perang dimulai antara Israel dan
tetangga-tetangga Arabnya. Arab Saudi mengirim
pasukan.
20 Oktober 1973. Militer Amerika yang sangat marah
ikut membantu Israel. Raja Faisal mengumumkan
perang suci dan mengembargo minyak untuk
Amerika.
25 Maret 1975. Raja Faisal dibunuh oleh keponakannya
pangeran Faisal ibnu Musaid, saudara pangeran
yang terbunuh pada kerusuhan tahun 1965. Putra
Mahkota Khalid dinyatakan sebagai Raja. Saudara
tirinya Fadh diangkat sebagai Putra Mahkota yang
baru.
1977 Raja Khalid mengeluarkan dekrit pemerintah yang
melarang perempuan melakukan perjalanan ke luar
rumah mereka kecuali ditemani anggota keluarga
laki-laki. Perintah kedua adalah larangan
perempuan untuk belajar ke luar negeri. Dua dekrit
itu dikeluarkan karena insiden internasional yang
melibatkan Putri Misha'il, yang dieksekusi di depan
publik setelah bertemu dan jatuh cinta dengan
pelajar Saudi lain di Universitas Amerika di
Libanon. Kekasihnya juga dipenggal.
300
1979 Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik
dengan Mesir setelah negara ini berdamai dengan
Israel. Masjid Suci Mekkah diserang oleh para
ekstrimis di bulan November. Mereka memprotes
perempuan yang bekerja di luar rumah.
Pemerintah mendapatkan kembali kendali masjid
setelah sepuluh hari. Para menyerbu itu dieksekusi.
Di bulan-bulan selanjutnya, kebebasan untuk
perempuan Saudi dibatasi merespon ketakutan
pemerintah pada meningkatnya kegelisahan kaum
fundamentalis. Tentara Soviet menyerbu
Afghanistan.
1980 Osama bin Laden lulus dari Universitas King Abdul
Aziz di Jeddah. Setelah lulus, Osama meninggalkan
Arab Saudi menuju Afghanistan tempat ia
bergabung dengan Mujahidin untuk melawan
Soviet. Arab Saudi mengambil kendali penuh atas
ARAMCO dari Amerika Serikat.
1981 Arab Saudi menjadi anggota pendiri Gulf
Cooperation Council (Dewan Kerjasama Teluk).
]uni 1982 Raja Khalid wafat karena serangan jantung.
Fahd, saudara tirinya, dinyatakan sebagai Raja.
Saudara tiri Fahd, Abdullah diangkat menjadi Putra
Mahkota.
1986 Raja Fahd menambahkan gelar 'Penjaga Dua
Masjid Suci' pada namanya.
1987 Arab Saudi memulai lagi hubungan diplomatiknya
dengan Mesir.
1988 Osama bin Laden membentuk jaringan 'Al-Qaida'.
Al-Qaida bermarkas besar di Afghanistan dan
Peshawar, Pakistan.
1989 Uni Soviet menarik diri dari Afghanistan. Osama
bin Laden kembali ke Arab Saudi, diterima sebagai
301
pahlawan oleh keluarga, teman dan keluarga
kerajaan.
2 Agustus 1990 Kuwait diserbu oleh Irak. Pemerintah
Saudi memprotes invasi itu. Pada tanggal 8
Agustus, Irak mencaplok Kuwait sebagai propinsi
kesembilan belasnya. Menentang protes Osama bin
Laden, Raja Fahd mengizinkan tentara asing masuk
Saudi Arabia.
27 Februari 1991. Pasukan koalisi memasuki kota
Kuwait. Presiden Bush mendeklarasikan
pembebasan Kuwait. Osama bin Laden sangat
marah pada Arab Saudi karena terlibat dalam
serangan udara atas Irak dan angkatan darat yang
memerdekakan tetangga mereka, kuwait. Para
pemimpin agama di Arab Saudi ketakutan dan
memusuhi kehadiran tentara perempuan asing.
Tekanan terus meningkat untuk memaksa
pemerintah Saudi membatasi kehadiran pasukan
perempuan dari semua bangsa. Melalui khotbah
dari masjid-masjid, Osama bin Laden mulai
berbicara menentang keluarga kerajaan. Ia
mengeluarkan rekaman yang mengkritik penguasa
bani Saud. Mengetahui bahwa keluarga kerajaan
akan menangkapnya, Osama bin Laden melarikan
diri keluar dari Arab Saudi dan pergi ke Pakistan,
kemudian Afghanistan sebelum menetap di Sudan.
Ia menggunakan kekayaannya untuk memperkuat
organisasi Al-Qaida.
1992 Sebuah born meledak di sebuah hotel di Aden,
Yaman, yang diyakini sebagai bom pertama dari
sekian banyak born Al-Qaida yang berusaha
membunuh orang Amerika.
23 Februari 1993 Sebuah bom meledak di lantai dasar
WTC (World Trade Center), membunuh delapan
302
orang dan melukai kira-kira 1000 orang. Pelakupelakunya
segera di tangkap, diadili dan dihukum.
Salah satu penjahatnya Ramzi Yusef, memiliki
ikatan kuat dengan Osama bin Laden. Pada
tangggal 3 dan 4 Oktober: tentara Amerika Serikat
menyerang Mogadishu, Somalia, yang dicurigai
sebagai tempat latihan teroris Al-Qaida. Delapan
tentara terbunuh. Pada tanggal ini juga Dewan
Syuro dilantik. Dewan ini terdiri dari ketua dan
enam puluh anggota yang dipilih Raja Fahd.
Dikatakan bahwa Dewan Syuro tidak memiliki
kekuasaan nyata.
1994 Ketegangan antara Osama bin Laden dan keluarga
kerajaan memuncak. Pemerintah Saudi tidak
berhasil menghentikan Osama bin Laden berbicara
menentang mereka dan Kerajaan. Akhirnya
kewarganegaraan Saudinya dicabut. Beberapa
percobaan pembunuhan terjadi pada hidup Osama.
Ia yakin ia telah menjadi target keluarga Bani
Saud.
1995 Raja Fahd menderita stroke. Dari hari ke hari yang
menjalankan pemerintahan dipercayakan pada
Putra Mahkota Abdullah bin Abdul Aziz al Saud,
saudara tiri Raja Fahd. Dikatakan bahwa ada
ketegangan antara keduanya.
1996 Di bawah tekanan Amerika Serikat dan Arab Saudi,
pemerintah Sudan menyuruh Osama bin Laden
pergi. Ia pindah ke Afghanistan di mana ia
mengeluarkan Deklarasi Jihad melawan Amerika
Serikat, menyeru umat Muslim untuk membunuh
setiap orang Amerika. Bom mobil meledak di Kobar
Tower di Arab Saudi. Sembilan belas petugas
reparasi Amerika terbunuh. Ratusan terluka.
Tersangkanya Al-Qaida.
303
7 Agustus 1997 Bom besar meledakkan kedutaan
Amerika di Nairobi, dan Tanzania. Dua ratus tiga
puluh empat orang tewas (termasuk 12 orang
Amerika) dan lebih dari 5000 orang terluka. Teroris
Al-Qaida dikaitkan dengan bom ini.
1999 Untuk kali pertamanya dalam sejarah Arab Saudi,
dua puluh perempuan Saudi menghadiri sidang
Dewan Syuro.
2000 Kritik Internasional terhadap Kerajaan Saudi
meningkat. Kelompok Hak-Hak Asasi Manusia yang
berbasis di London, Amnesty International,
menggambarkan perlakuan Arab Saudi pada
perempuan sebagai 'tak dapat dibenarkan oleh
hukum atau standar moral apa pun. Pemerintah
Saudi bereaksi dengan sangat marah sekali. Pada 5
Oktober, bom bunuh diri menyerang USS Cole.
Tujuh belas tentara Amerika tewas. Tiga puluh
enam terluka. Diduga perbuatan Al-Qaida.
11 September 2001. Amerika diserang Al-Qaida. Lima
belas dari sembilan belas pembajak yang terlibat
berkebangsaan Saudi. Muncul ketegangan antara
Arab Saudi dan Amerika karena pemerintah Saudi
gagal bekerja sama penuh dengan para penyelidik
Amerika. Media Barat menyoroti Arab Saudi dan
sistimnya yang menindas perempuan. Pemerintah
Saudi bereaksi marah dan mendanai propaganda
secara luas untuk memuji-muji Bani Saud dan Arab
Saudi di media-media Barat. Ketika Media
membongkar fakta bahwa Arab Saudi
menghabiskan jutaan dollar setiap tahun untuk
membantu penyebaran ajaran kekerasan dari
Wahhabi, yang membuat jijik sebagian besar dunia
Muslim, sejumlah pemerintahan Barat dan media
outlet meminta keluarga Kerajaan Saudi
304
mengakhiri aliansi eksklusifnya dengan mahzab
Wahhabi yang fanatik. Sekali lagi, pemerintah
Saudi marah dan menolaknya. Pada bulan
Desember pemerintah Saudi mengambil langkah
yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu
memberikan kartu identitas untuk perempuan.
2002 Investor-investor Saudi menarik dananya dari
Amerika Serikat karena memprotes perkara hukum
yang diajukan oleh keluarga korban 9/11 yang
mengklaim bahwa pemerintah Saudi berkonspirasi
dengan Al-Qaida. Pemerintah Arab Saudi menolak
menyokong rencana presiden Bush untuk
menyerang Irak dan memberi kesaksian tentang
presiden Irak Saddam Hussein.
2003 Amerika Serikat mengumumkan penarikan hampir
semua tentaranya dari kerajaan Saudi, mengakhiri
kehadiran militer Amerika sejak tahun 1991. Kritikkritik
untuk keluarga kerajaan menyebar di seluruh
Kerajaan. Pada bulan September, lebih dari 300
intelektual Saudi (laki-laki dan perempuan)
menanda tangani petisi menuntut reformasi politik.
Pada Oktober, Arab Saudi menjadi tuan rumah
Konferensi hak-hak Azasi Manusia untuk kali
pertamanya. Pemerintah mengumumkan
konferensi ini akan mengadakan pemilihan pertama
dan hanya sekali ini selama setahun. Pada
November, Raja Fahd memberikan kekuasaan
penuh pada Dewan Syuro, yang memungkinkan
Dewan ini untuk memprakarsai pembuatan
undang-undang tanpa meminta izin dulu pada
Raja.
Januari 2004. Para Perempuan profesional Saudi
melepaskan cadar mereka dan menggempur
panggung perkumpulan internasional yang terdiri
305
dari 1000 laki laki di Forum Ekonomi Jeddah,
menuntut reformasi bagi perempuan. Para
pemimpin agama yang tertinggi di Arab Saudi
mengeluarkan pernyataan yang dahsyat, mencela
perempuan-perempuan itu, mengatakan
bahwa berkumpulnya laki-laki dan perempuan
tanpa memakai hijab yang islami sebagaimana
diperintahkan Allah adalah haram. Anggota
keluarga Al Saud mengatakan bahwa kebe-basan
masuk begitu cepat. Putra Mahkota Abdullah
mengingatkan bahwa ia 'tak akan mengizinkan
siapa pun turut campur dalam reformasi, baik itu
pertimbangan ultra-konservatif dan stagnasi atau
pertimbangan keliru para petualang. Pangeran
Sultan bin Turki bin Abdul Aziz Al Saud, yang
menuntut reformasi demokratis dalam kerajaan,
mengatakan bahwa ia dibujuk untuk menghadiri
pertemuan dengan anggota keluarga kerajaan
yang berkuasa di Jenewa. Selama pertemuan itu ia
diserang oleh lima orang laki-laki bertopeng, dibius
dan dibawa dengan paksa kembali ke Kerajaan
tempat ia dihukum sebagai tahanan rumah. Di
bawah tekanan demonstran yang tak pernah
terjadi sebelumnya, bom yang bertubi-tubi, usahausaha
pembunuhan dan problem-problem ekonomi,
banyak penduduk asing Saudi meragukan bahwa
keluarga kerajaan Saudi akan bisa bertahan tanpa
reformasi politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar